Saling Tertaut di Lautan

Saling Tertaut di Lautan
info gambar utama
by Akhyari Hananto Ketika terakhir kali ke Jakarta minggu lalu (saya gak sering-sering amat terbang ke Jakarta), sebelum mendarat saya melihat ke bawah, yakni pantai utara Jakarta. Terlihat Pelabuhan Tanjung Priok di bawah sana. Namun ada satu pemandangan yang tak saya lihat sebelumnya. Yakni adanya "daratan" baru hasil reklamasi . Awalnya saya tak yakin bangunan apa yang saya lihat tersebut. Hingga ketika saya melihatnya di TV saat mendarat di Soekarno-Hatta. Ternyata yang saya lihat adalah New Tanjung Priok, pelabuhan dan terminal peti kemas yang (saya baru tahu ternyata) dibangun di atas laut. Proyek ini ditargetkan selesai 2016, tahun depan, tepat saat pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (AEC) . Penggarapannya membawa dampak bagi pendalaman laut di New Priok hingga 16 meter, sehingga konon nantinya kapal terbesar di dunia berisi kontainer ukuran 18.000 TEUs (Twenty Foot Equivalent Units) bisa bersandar di sini. Inilah sejarah baru tak hanya bagi dunia perkapalan dan tanah air, tapi juga sektor ekonomi secara keseluruhan. Pada sekitar Juli 2007, saya pernah mengirim (mengekspor) Kacang Mete ke Lebanon sebanyak 26 ton melalui Pelabuhan Tanjung Mas Semarang. Dari pihak jasa cargo, mereka mengenakan biaya sangat tinggi (menurut saya) dan akan makan waktu cukup lama sampai ke Beirut. Saya geleng-geleng. Saya tahu sekali kenapa. Karena kapal dari Semarang harus ke Singapura dulu, tidak hanya transit, namun juga bongkar barang dan memuatnya ke kapal yang jauh lebih besar, digabungkan dengan kontainer-kontainer lain untuk tujuan Timur Tengah. Inilah yang menyebabkan biaya logistik ekspor kita begitu tinggi, dan eksportir harus menanggungnya dengan menaikkan harga produk. Inilah yang membuat kita tak hanya akan sulit bersaing, namun juga akan makin jauh tertinggal di belakang. Keberadaan New Priok nanti (semoga diikuti dengan Teluk Lamong di Surabaya) akan memungkinkan kapal-kapal raksasa bersandar di Indonesia, tak lagi harus bongkar muat di Singapura atau Hongkong kemudian dipindah ke kapal-kapal yang lebih kecil. Inilah moment yang akan mengubah peta logistik regional di Asia Tenggara, yang tentu akan membuat Singapura sebagai 'the leading export-import hub' di Asia Tenggara takkan bahagia.
Terminal kontainer PSA Singapura. Raksasa logistik Asia

Pelabuhan besar dengan kapasitas besar dan kedalaman alur laut yang dalam, adalah sebuah keniscayaan. Saya pernah melihat (dari dalam pesawat) kapal yang amat sangat besar antri di Jurong Port, Singapura. Semakin lama kapal-kapal berlomba dibuat semakin besar, tentu dengan pertimbangan ekonomi yang bisa difahami, kapasitas besar, daya angkut besar, hemat biaya logistik. Bayangkan kalau Indonesia tak mulai membangun pelabuhan yang punya kapasitas melayani kapal-kapal raksasa yang jumlahnya makin banyak tersebut, tentu kita akan makin jauuuuh tertinggal. Tentu, terminal Peti Kemas Teluk Lamong di Surabaya diharapkan dapat beroperasi penuh dalam waktu cepat, sehingga setidaknya, Indonesia akan segera punya 2 pelabuhan yang mampu disinggahi kapal kapal raksasa. Tentu, kita berharap pelabuhan-pelabuhan lain seperti Belawan (Sumut), Makassar, Balikpapan atau bahkan Batam bisa dibangun setingkat dengan New Priok nantinya. Inilah kabar yang sangat baik tak hanya bagi pelaku ekspor impor Indonesia, tapi juga sektor-sektor ekonomi yang lain. Teruslah membangun, Indonesiaku.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

Terima kasih telah membaca sampai di sini