Obat Untuk Dua Penyakit Kronis Ini Bakal diproduksi Di Dalam Negeri

Obat Untuk Dua Penyakit Kronis Ini Bakal diproduksi Di Dalam Negeri
info gambar utama

Penyakit kronis seringkali membuat penderitanya kehilangan harapan hidup, selain karena proses pengobatan dan penyembuhannya lama, biaya dibutuhkan pun tidak murah. Itu mengapa ketika obat untuk penyakit kronis dapat diproduksi di dalam negeri, hal tersebut menjadi sebuah kabar gembira. Obat yang dimaksud adalah obat untuk gagal ginjal dan Tuberkulosis.

Obat Ginjal dan Tuberkulosis karya dalam negeri tidak lama lagi akan masuk tahap komersialisasi. Bio farma sebagai perusahaan negara dibidang farmasi mengembangkan obat tersebut dengan teknologi berbasis life science. Berkat pencapaian ini, Indonesia tidak lagi bergantung dengan bahan baku obat yang impor. Sehingga harganya akan lebih terjangkau.

Sebagaimana diberitakan oleh liputan6.com akhir Agustus lalu, peneliti senior Biofarma dr Maharani mengatakan bahwa produk teknologi life science dalam negeri yang akan pertama kali diimplementasikan adalah Erythropoietin (EPO) II. Obat tersebut merupakan obat untuk terapi anemia bagi penderita penyakit ginjal kronis yang telah dikembangkan oleh Adi Santoso dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI yang hasil Research Cell Bank (RCB) obat tersebut telah diserahkan pada Bio Farma pada akhir 2015 yang lalu.

RCB tersebut merupakan hasil konsorsium riset yang dimotori Bio Farma, dengan menggandeng LIPI dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Konsorsium tersebut terbentuk sejak 2012 namun penelitian EPO II telah dilakukan sejak tahun 2005.

Baca juga: Hasil Penelitian Dr. Adi Santoso Jadi Kabar Gembira untuk Penderita Gagal Ginjal dan Kanker

Bila obat ini telah diedarkan secara luas, untuk beberapa tahun ke depan, pasien kemoterapi dan penderita anemia berat akibat gagal ginjal kronis akan bisa menggunakan obat buatan dalam negeri. Tentu ini adalah kabar gembira di Tanah Air sebab selama ini EPO generasi pertama merupakan produk dalam negeri dan harus didatangkan dari luar negeri dengan harga yang relatif mahal.

Produk EPO II nantinya akan berbentuk injeksi dengan satuan International Unit atau IU. Obat generasi kedua ini keunggulan dibandingkan generasi pertama berupa waktu paruh penggunaannya yang lebih panjang, sehingga pemberian pada pasien cukup sekali sepekan. Berbeda dengan generasi pertama yang mengharuskan pengbatan dilakukan dua hingga tiga kali sepekan.

N. Nurlaela Arief, Head of Corporate Communication PT Bio Farma juga menjelaskan bahwa sebagai industri biotek plat merah, pihaknya akan langsung mengambil langkah dengan melakukan proses lanjutan dalam memproduksi EPO II.

"Rencananya, produksi akan berlangsung di pabrik baru Bio Farma di Jasinga, Bogor seluas 500 hektare yang dirancang dengan teknologi ramah lingkungan," kata Nurlaela.

Tidak hanya obat untuk gagal ginjal, beberapa obat lain yang berbasis teknologi life science juga akan diproduksi di dalam negeri oleh Bio Farma seperti Interferon, Immunoglobulin, dan Monoclonal Antibody, Ketiganya sudah masuk rencana produksi di perusahaan yang telah berusia lebih dari satu abad tersebut. Selain itu, Bio Farma juga berencana memproduksi produk berbasis darah dan alat-alat diagnosa.

Produk berbasis darah atau blood product seperti albumin memiliki kemampuan untuk mempercepat pemulihan dan menjaga kondisi sirkulasi darah pasien saat kondisi trauma, pembedahan, pendarahan, perawatan luka bakar, dan pertukaran plasma. Sementara globulin berfungsi sebagai agen kekebalan tubuh pasif yang mampu meningkatkan titer antibodi pada tubuh.

Kabar baik lainnya adalah rencana implementasi teknologi life science yang kedua oleh Bio Farma adalah antigen klon tuberkulosis (TB), yang akan diserahkan dari konsorsium riset TB kepada Kementerian Kesehatan dan selanjutnya diproses Bio Farma untuk pengembangan industri. Memang, Bio Farma selama ini telah memproduksi vaksin TB seperti BCG. Namun produk tersebut lebih kepada tindakan preventif (pencegahan), sedangkan antigen klon TB berfungsi sebagai tindakan kuratif (pengobatan).

Konsorsium TB dikoordinasi oleh Pusat Biomedik dan Teknologi Dasar Kesehatan Litbangkes RI. Hebatnya, pada konsorsium ini melibatkan lebih banyak universitas negeri. Bio Farma bersama LIPI, menggandeng Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, Universitas Gadjah Mada, Institur Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, Universitas Hasanuddin, Universitas Brawijaya, Universitas Mataram, Universitas Jember dan Unika Atma Jaya. Selain itu juga terdapat kerja sama dengan rumah sakit yakni RS Rotinsulu di Bandung.

Sumber : liputan6.com
Sumber Gambar Sampul : lindamcavanmep.org.uk/

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini