Berdayakan Desa Tanpa Rusak Hutan, Pria Kapuas Hulu Raih Penghargaan Internasional

Berdayakan Desa Tanpa Rusak Hutan, Pria Kapuas Hulu Raih Penghargaan Internasional
info gambar utama

Kelestarian hutan menjadi hal yang penting bagi kelangsungan hidup fauna maupun masyarakat baik yang hidup di dekat wilayah hutan. Namun karena alasan ekonomi biasnya masyarakat yang hidup dilingkungan hutan lebih memilih untuk menebang pohon atau mengeksploitasi hutan dengan cara-cara yang tidak berkelanjutan. Menyadari hal tersebut, seorang Dingo Markus seorang warga Desa Tanjung, Kecamatan Mentebah, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, berusaha mengubah kondisi dengan memberdayakan masyarakat tanpa merusak hutan. Upayanya tersebut kemudian berhasil membawanya meraih penghargaan internasional dari The Paul K. Feyerabend Foundation. Dingo terpilih sebagai salah satu tokoh terbaik dunia dari yayasan yang bermarkas di Swiss itu (co-winner).

Sebagaimana ditulis WWF Indonesia, Dingo berhasil mengubah pola pikir masyarakat sekitarnya untuk bisa hidup mandiri tanpa merusak hutan. Sebagai Kepala Desa, Dingo melihat bahwa banyak sekali praktek berladang masyarakat Desa Tanjung yang keliru dan mengakibatkan kerusakan hutan. Seperti membuka hutan untuk berladang namun setelah panen ladang bekas garapan ditinggalkan begitu saja. Padahal kawasan Desa Tanjung berada di daerah hutan lindung sekitar Pegunungan Muller yang dilarang untuk melakukan aktifitas pemanfaatan hutan. Itu sebabnya Dingo mulai melakukan perubahan secara strategis dengan mulanya mengajak keluarga dan aparatur desa untuk melakukan pertemuan antara tokoh masyarakat, agama dan tokoh adat.

“Banyak ide, tapi tak bisa diterapkan jika tidak dibarengi solusi yang tepat. Misalnya, warga dilarang membuka hutan. Kalau cuma dilarang, itu gampang. Tapi warga bisa marah kalau cuma dilarang tanpa ada solusi,” kata Dingo Markus.

Warga Desa Tanjung (Foto: Andi Fachrizal / Mongabay.com)
info gambar

Sehingga Dingo berusaha untuk mengembangkan potensi warganya dengan optimalisasi di beberapa sektor seperti perkebunan, pertanian, ekowsiata dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dengan berkolaborasi dengan WWF Indonesia. Antara Desa Tanjung dengan WWF akhirnya menjalankan Program Muller Schwaner yang melakukan konservasi berbasis Participatory Conservation Planning (Perencanaan Konservasi Partisipatif). Berkat kolaborasi ini Dingo Markus mendapatkan banyak informasi dan dapat menyampaikan aspirasi masyarakat Desa Tanjung kepada pemerintah. Hingga kemudian Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kapuas Hulu bisa memberikan bibit karet, gaharu dan buah-buahan.

Masyarakat Desa Tanjung kemudian dididik dengan teknik manajemen perkebunan karet seperti Internal Control System (ICS) untuk usaha bahan olahan karet (Bokar) bersih. Selain itu juga mulai terjadi pengusulan hutan desa, penguatan jaringan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dan para peteni terlibat dalam Aliansi Organik Indonesia. Selain tetap berkontribusi sesuai Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah (RPJMDes).

Lewat hutan desa seluas 2.520 hektar yang telah ditetapkan oleh SK Menhut tahun 2014 Dingo Markus bersama-sama dengan warga desa melakukan pemulihan kawasan hutan yang terdegradasi. Mereka menanam berbagai jenis pohon seperti pohon buah-buahan, karet, kopi dan pohon lainnya di Desa Tanjung. Sehingga mampu membawa desa berpenduduk 1.031 tersebut menjadi desa hijau yang mandiri. Bahkan berhasil menghindarkan wilayah tersebut berubah menjadi ladang sawit. Keberhasilan tersebut membuat sosok Dingo Markus menjadi sumber inspirasi bagi warga Desa Tanjung.

“Coba lihat anugerah Tuhan di depan mata. Air jernih yang mengalir, hutan yang lebat ditumbuhi berbagai jenis pohon. Semua ini adalah sumber kehidupan serta titipan anak cucu yang harus dijaga kelestariannya. Mereka membantu kami, kami membantu mereka,” kata Dingo Markus.

The Paul K. Feyerabend Foundation merupakan yayasan yang dibentuk di Swiss sejak bulan Maret tahun 2006. Yayasan ini mendorong pengembangan dan peningkatan kesejahteraan komunitas masyarakat lewat inisiatif-inisiatif yang menjunjung tinggi dan mendukung komunitasnya dengan kemampuannya sendiri dengan kekayaan hayati dan budaya.


Sumber : WWF Indonesia

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini