Meneladani Para Pahlawan di Era Digital

Meneladani Para Pahlawan di Era Digital
info gambar utama
"My life is nothing. Giving the future to those who want to see it…is everything"
-Nyx Ulric-

Kemajuan teknologi telah menciptakan banyak peluang dan perubahan-perubahan sosial ke arah yang baru. Potensi ekonomi dan perbaikan kualitas hidup meningkat tajam hanya dalam waktu kurang dari 100 tahun. Padahal 70 tahun yang lalu dunia seakan masih harus berhadapan dengan wabah penyakit, peperangan dan kemiskinan. Namun saat ini ketika teknologi telah memasuki dunia digital, semua itu hanya terasa seperti sebuah mimpi buruk yang hilang ketika kita terbangun. Kenikmatan yang ternyata tidak dapat diraih tanpa peran para pahlawan yang memberi kita kemerdekaan.

Teknologi digital memang telah membuat sebuah revolusi dihampir segala aspek. Bahkan tren ini terjadi dalam skala global tidak terkecuali di Republik Indonesia. Batas-batas negara yang satu dengan lainnya semakin menipis. Komunikasi antar masyarakat bisa dilakukan dalam waktu nyata atau real time lewat teknologi streaming meski berjarak beribu-ribu kilometer. Beberapa orang bahkan menyebutkan bahwa inilah masa depan itu. Masa dimana dahulu kita semua memimpikannya.

Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia dan saat ini mulai memasuki masa bonus demografi tentu saja mendapatkan dampak yang sangat besar dari kemajuan teknologi tersebut. Dengan perkapita yang telah melebihi angka $5.000 masyarakat Tanah Air didominasi oleh kalangan menengah yang telah memilik kemampuan untuk mengadopsi teknologi terbaru dalam kehidupan sehari-harinya. Meski hal ini memang belum merata namun adopsi teknologi seperti internet dan ponsel pintar ke seluruh Nusantara mungkin hanya tinggal menunggu waktu.

Pertanyaannya kemudian, apakah semua ini mampu untuk membuat Indonesia berdiri sebagai negara yang maju dan tampil dalam pergaulan internasional?

Tantangan yang dihadapi generasi muda Indonesia mungkin tidak berasal dari kendala teknologi atau alat. Tapi mungkin lebih karena kesiapan secara mentalitas. Sebagaimana diketahui, generasi muda Indonesia termasuk dalam Generasi Y, Z dan Millenial yang mereka memang telah hidup dalam kepungan teknologi dan pengetahuan. Sehingga generasi tersebut tidak lagi kesulitan untuk mendapatkan sumber daya dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Jual beli semakin mudah, akses edukasi telah tersedia dimana-mana, peluang bisnis terus terbuka dan sebagainya. Mungkin itu sebabnya generasi ini lebih banyak membutuhkan aktualisasi diri.

Menariknya, hasil dari teknologi tersebut, seperti sosial media telah menjadi wadah yang ampuh untuk menyediakan kebutuhan aktualisasi itu. Siapapun mampu untuk mengekspersikan dirinya dengan cara yang disukainya. GNFI sendiri mungkin salah satu wadah aktualisasi untuk para generasi muda yang berkenan untuk mendedikasikan diri dan mengerahkan semangatnya untuk menjadi generasi Indonesia yang optimis.

Namun sosial media bukan tanpa cela. Stereotipe sosial media misalnya yang mengatakan bahwa wadah ini membuat orang mudah terdistraksi, tidak fokus dan senang bermalas-malasan. Lebih dari itu, generasi yang telah terpapar sosial media dianggap cenderung narsistik. Bahkan majalah Time sempat menyebut generasi ini sebagai "Me, me, me Generation" atau generasi yang mementingkan saya, saya, dan saya.

Tentu hal ini akan berbanding terbalik jika kita ingin meneladani para pahlawan yang telah memberikan masa depannya untuk generasi penerus yakni kita. Generasi pengisi kemerdekaan.

Para pahlawan bergerak bukan untuk kepentingan pribadinya, tetapi untuk kepentingan bersama bahkan untuk bangsa dan negara sebagai sebuah nilai kohesi yang mereka percayai. Nilai yang pantas untuk diperjuangkan bahkan dengan nyawa sekalipun.

Kita sebagai generasi penerus tentu saja menghadapi musuh yang berbeda dibandingkan dengan para pahlawan kemerdekaan yang harus berjuang melawan penjajah kolonial Belanda. Saat ini musuh para generasi muda adalah permasalahan-permasalahan kesejahteraan dan keterbukaan kesempatan yang belum dinikmati secara merata oleh masyarakat Indonesia. Serta menjadikan negeri ini sebagai negara yang kuat dan tidak kembali diremehkan.

Pahlawan adalah sosok yang penuh optimisme, meski mereka sendiri tidak akan melihat bagaimana kesuksesan yang akan diraih oleh bangsa ini. Mereka merasa tidak memiliki harga bila dibandingkan dengan harapan yang ada di masa depan. Nilai bijaksana seperti ini tentu akan sulit dipahami terlebih diteladani bagi generasi saat ini yang cenderung mengedepankan kepentingan pribadi bahkan cenderung narsis.

Soetomo atau lebih dikenal sebagai Bung Tomo (Foto: watashiwatobimasu.wordpress.com)
info gambar
"Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu kita tidak akan menyerah kepada siapapun juga."
-Soetomo-

Kabar baiknya adalah, ternyata karakter buruk generasi penerus hanyalah sebuah stereotipe yang tidak terbukti. Sebab menurut penelitian, ternyata generasi yang telah hidup di lingkungan penuh teknologi cenderung lebih bekerja keras untuk mengembangkan dirinya sebagaimana diungkap oleh Forbes. Bahkan ekspektasi dirinya cenderung terlalu tinggi, sehingga lebih mudah untuk kurang puas terhadap pencapaian yang telah diraih. Dampaknya adalah, generasi Y, Z dan Millenial akan lebih perfeksionis dan high achiever. Memang, penelitian ini dilakukan di Amerika, namun ketika melihat gejala globalisasi, rasanya hasil ini tidak akan jauh berbeda bila melihat generasi Indonesia.

Tentu saja ini menjadi harapan ketika Indonesia menjadi negara yang memiliki angkargantungan yang cenderung menurun dari tahun ke tahun. Berdasarkan data World Bank, rasio ketergantungan antara generasi non-produktif dengan generasi produktif pada tahun 2015 telah mencapai angka 49 persen. Artinya, setiap 100 orang generasi produktif di Indonesia, akan menanggung 49 orang non-produktif. Itu artinya, setiap orang yang tidak produktif akan ditanggung oleh lebih dari satu orang. Berbeda dengan Jepang yang secara demografi telah menua dan nilai rasio ketergantungannya terus meningkat hingga kini mencapai 64 persen.

Rasio tersebut menunjukkan bahwa generasi produktif Indonesia hanya perlu menanggung beban orang-orang tua atau anak-anak yang tidak produktif kurang dari setengahnya saja. Sebut saja penghasilannya hanya berkurang setengah untuk membiayai orang tua atau anak. Sedangkan sisanya bisa digunakan untuk tabungan pribadi atau pengeluaran pribadi. Hal ini merupakan pintu besar untuk generasi muda untuk lebih bersikap oportunis demi keuntungannya sendiri. Namun saya yakin hal itu tidak terjadi di generasi Indonesia. Sebab telah banyak bukti bahwa generasi muda negeri ini telah banyak meneruskan kebijaksaanan para pahlawan.

Contoh mudah adalah kita bisa melihat semangat gotong royong dan kebersamaan untuk berbagi dilakukan dengan cara yang modern dan sangat bergaya anak muda lewat KitaBisa.com yang didirikan oleh Alfatih Timur. Seorang mahasiswa lulusan FEUI. Harapan lain juga terlihat dari upaya Andreas Sanjaya dengan iGrow untuk memberikan akses permodalan yang jauh lebih mudah untuk para petani sayur lewat sebuah website dan teknologi monitoring. Ada pula eFishery yang telah mampu merevolusi cara budidaya ikan air tawar dengan teknologi-teknologi digtal.

Terlalu banyak kisah sukses yang terjadi yang telah dibuktikan oleh generasi-generasi muda dengan cara-caranya sendiri. Sebuah aktivisme dengan cara yang lebih menyenangkan, keren dan praktis. Inilah beberapa tren karakter yang jamak ditemui di generasi muda saat ini sebagaimana diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan Inventure.

Kisah sukses tersebut tentu saja memiliki sebuah pola bahwa mereka semua adalah generasi melek teknologi yang lebih mau mengangkat nilai-nilai khas Indonesia, kebersamaan dan gotong royong. Tentu, kehebatan anak-anak muda tidak hanya terbatas dengan hal-hal yang berkaitan langsung dengan teknologi digital. Masih banyak bidang lain yang dapat dikembangkan potensinya untuk Tanah Air yang lebih maju. Sebab mereka sadar bahwa Indonesia sedang menapaki sebuah perjuangan menuju kemenangan bersama.

Mereka sudah, lalu kita apa?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini