Misi Tanoker Menduniakan Egrang

Misi Tanoker Menduniakan Egrang
info gambar utama

Anak-anak generasi milenial mungkin sekarang sudah asing dengan permainan egrang. Ya, permainan yang menggunakan egrang atau tongkat panjang untuk berjalan ini sebenarnya perlahan sudah mulai dilupakan bahkan sejak tahun 90-an. Namun, sesungguhnya permainan egrang ini merupakan sebuah warisan budaya bangsa yang sarat akan pelajaran-pelajaran pembangun karakter terutama kesabaran dan kepercayaan diri. Setidaknya, dua hal penting itu yang hendak ditanamkan oleh Tanoker kepada anak-anak di daerah Ledokombo, Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Pada tahun 2009, Farha Ciciek dan suaminya Suporaharjo kembali ke kampung halaman Supo di Ledokombo setelah sekian lama menetap di Jakarta. Lalu suatu ketika putra mereka, Mokh Sadan Zero penasaran dengan egrang yang merupakan permainan masa kecil sang ayah. Supo pun kemudian membuatkan tiga pasang egrang dan mengajarkannya kepada anak-anak. Pun keduanya memperkenalkan egrang kepada anak-anak sekitar Ledokombo dengan mengadakan latihan dan perlombaan.

Ketika memperkenalkan egrang itu, Ciciek melihat ada sebuah masalah yang kompleks di Ledokombo, yakni karakter anak-anak para buruh migran di sana. "Kami menyebut mereka “yatim piatu” sosial. Semakin di telisik semakin banyak muncul Kasus-kasus. Diantaranya broken home dan berbagai dampak ikutannya. Sangat mungkin akan terjadi lost generation kalau begini terus. Kami kemudian mendekati dan menyapa anak-anak itu dan melakukan banyak hal bersama-sama dengan mereka," ujar Ciciek.

Salah satu sudut Rumah Belajar Tanoker Ledokombo (foto: Arifina Budi/ GNFI)
info gambar

Dari situlah kemudian Ciciek dan suami mendirikan sebuah komunitas belajar bernama Tanoker dengan egrang sebagai salah satu media pembelajarannya dan menjadi ikon komunitas ini. Suporaharjo mengatakan, Tanoker ini menjadi salah satu tempat bagi anak-anak di Desa Ledokombo untuk belajar hal-hal di luar pelajaran yang mereka dapatkan di sekolah.

"Kita ini kegiatannya merupakan bagian dari melengkapi kegiaan sekolah. Tanoker berusaha mendorong kecerdasan lainnya, misalnya menari, musik, kecerdasan pribadi, dan bagaimana anak-anak ini berhubungan baik dengan orang lain," ujar Supo kepada GNFI pada pelaksanaan Festival Egrang 15 Desember lalu.

Tanoker sendiri merupakan bahasa Madura yang artinya adalah kepompong. Seperti filosofinya, Tanoker punya impian untuk menjadikan anak-anak Ledokombo menjadi pribadi yang percaya diri dan berusaha keras untuk meraih keberhasilan, seperti bagaimana kita belajar bermain egrang. Lebih jauh lagi, Tanoker ingin menanamkan semangat nasionalisme dan pelestarian budaya oleh generasi muda.

"Kegiatan kami bersifat GLOCAL, global-local. Kami bersama-sama mencoba untuk membuat wilayah ini sebagai ruang untuk menumbuhkan budaya damai dan mengasah nasionalisme sekaligus humanisme lewat berbagai pengetahuan, permainan, tarian, drama, dan lagu/musik," ujar Ciciek.

Festival Egrang Tanoker

Pada 15 Desember 2016 lalu GNFI berkunjung ke Ledokombo dan menyaksikan salah satu kegiatan terbesar Tanoker yang sudah menahun dan dikenal masyarakat, yakni Festival Egrang. Festival yang sudah ketujuh kalinya ini seperti menjadi perayaan besar dan dinantikan oleh warga Ledokombo karena di ajang inilah mereka punya tempat untuk unjuk gigi, terutama para anak-anak Ledokombo.

Binar-binar kebahagiaan itu tampak di mata para warga yang berbondong-bondong datang ke arena festival yang dihelat di sepanjang Jalan Kantor Polisi, Simpang Tiga, Desa Ledokombo. Jalan aspal sepanjang hampir 2 kilometer itu akan menjadi arena cat walk para peserta parade egrang yang diikuti oleh sekolah-sekolah di Ledokombo dan beberapa komunitas. Pada parade egrang para peserta akan berjalan sepanjang 1 kilometer dan menampilkan kreasi tarian egrang mereka dengan kostum dan riasan yang unik. Tak hanya penonton yang antusias, para peserta pun berusaha menampilkan penampilan terbaiknya terutama di hadapan para juri meski terik matahari begitu panas.

Tak sekadar berjalan menggunakan egrang, para peserta parade egrang juga menampilkan atraksi-atraksi unik menggunakan egrang. Yang membuat takjub adalah anak-anak kecil berusia sekitar 5 tahun tampak sangat lincah menari-nari di atas egrang mengikuti irama musik yang diputar. Ya, pemandangan seperti ini akan sering kita temui karena anak-anak di Desa Ledokombo sejak kecilnya sudah dilatih untuk bermain egrang.

Sebanyak 19 peserta dari SD, SMP, dan komunitas di Ledokombo mengikuti lomba parade egrang (foto: GNFI)
info gambar

Tidak hanya anak-anak desa Ledokombo yang punya panggung di festival ini. Masyarakat binaan Tanoker yang menjadi produsen karya-karya seni pun diberi panggung untuk menunjukkan dan menjual hasil karya mereka di festival ini. Produk kreatifnya beragam, mulai dari hasil kerajinan tangan seperti tas, gelang, dompet hingga kuliner. Sementara itu, di luar festival juga banyak masyarakat Ledokombo yang membuka warung-warung makannya dan menjadi sasaran para pengunjung untuk sekedar beristirahat atau ikut menonton parade egrang.

Kami menemui Redy, salah satu relawan Tanoker yang juga menjadi panitia Festival Egrang ini. Ia sudah tiga kali menjadi tim sukses Festival Egrang dan menyaksikan betul bagaimana pelaksanaan festival dari tahun ke tahun. Redy berkisah, yang sibuk menyelenggarakan festival ini tidak hanya staf dari Tanoker melainkan juga para relawan dari luar Ledokombo dan tak terkecuali masyarakat sekitar.

"Relawannya ada sekitar 170 orang yang disaring ketat sama Tanoker. Kalau masyarakat di sini juga kita perbantukan, misalnya untuk menyiapkan makan siang panitia," kata Redy.

Pada lomba parade egrang peserta harus menampilkan tarian egrang kreasi mereka (foto: GNFI)
info gambar

Menurut Redy, setiap tahun Festival Egrang ini dikunjungi semakin banyak orang, tidak hanya yang berasal dari Jawa Timur melainkan juga dari daerah lain dan bahkan luar negeri. Untuk tahun ini pun spesial karena juri parade egrang dua di antaranya berasal dari Kanada dan Thailand.

"Tiap tahun ini beda-beda peringatannya, makanya waktu pelaksanaannya pun beda-beda. Kalau tahun-tahun awal itu sering diadakan di bulan Agustus karena memperingati hari kemerdekaan, nah kalau tahun ini kita geser ke Desember untuk memperingati hari hak buruh migran dan hari ibu. Di sini sebagian besar emang anak-anak buruh migran baik lokal maupun yang di luar negeri," kisah Redy.

Kata Redy, Tanoker sudah banyak membantu warga masyarakat Ledokombo. Beberapa karya kerajinan tangan yang sempat dipamerkan di Festival Egrang kemarin juga sudah punya pasar di luar negeri seperti Australia, Thailand, dan beberapa negara Eropa. Ini juga karena tak lepas dari bantuan Ciciek yang sudah memiliki banyak relasi di luar negeri. "Jadi kalau Bu Ciciek lagi kunjungan keluar negeri dia bawa beberapa kerajinan tangan warga Ledokombo kesana," jelas Redy.

Egrang yang menjadi awal mula Tanoker memeluk anak-anak di Ledokombo pun kini sudah turut dilestarikan oleh komunitas dan sekolah. Beberapa sekolah di Ledokombo sekarang punya ekstrakurikuler egrang. Ini menjadi bentuk dukungan sekolah kepada para murid untuk mengembangkan keterampilan nonakademis dan membantu meneruskan semangat Tanoker.

Ke depannya, Suporaharjo sendiri berharap festival ini akan benar-benar menjadi festival milik warga Ledokombo dan akan merambah ke Jawa Timur, Pulau Jawa, bahkan dunia internasional. Untuk saat ini, Festival Egrang sudah jadi agenda budaya tahunan Jember menyusul Jember Fashion Carnival yang sudah jauh mendunia, sebuah festival fashion terbesar ke-4 di dunia.


*

GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini