Puisi-puisi Sutardji yang Berbunyi

Puisi-puisi Sutardji yang Berbunyi
info gambar utama

Sepisaupi
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi
sepisaunya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi
sepisaipa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi

sampai pisaunya kedalam nyanyi

Bait-bait puisi tersebut adalah karya seorang maestro puisi kontemporer, Sutardji Calzoum Bachri. Mungkin banyak dari kita yang belum mengenalnya. Sutardji merupakan salah satu pelopor sastrawan angkatan 1970-an. Menurut para pakar, puisi-puisinya punya bunyi-bunyian yang unik dan disebut-sebut sebagai karya yang membawa nafas baru dalam dunia perpuisian Indonesia.

Pria kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, Riau ini mulai aktif menuliskan sajak-sajaknya ketika berusia 25 tahun. Kala itu ia mengirimkan sajak dan esai sastranya ke surat-surat kabar seperti Kompas, Pikiran Rakyat, Haluan, Horison, dan Sinar Harapan. Pada tahun 1971, sajaknya berjudul "O" yang merupakan kumpulan puisinya yang pertama, muncul di majalah sastra Horison. Pada tahun berikutnya, di majalah yang sama, karyanya berjudul "Amuk" kembali dimuat. Sutardji di kemudian hari dikenal dengan "Kredo Puisi" yang menarik perhatian dunia sastra di Indonesia.

Apa itu kredo puisi?

Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kredo merupakan kata serapan dari bahasa Latin yang artinya pernyataan kepercayaan. Namun, dalam konteks sastra ini, kredo dipahami sebagai ungkapan persaksian yang mengandung wawasan estetik dalam puisi-puisi karya Sutardji.

"Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukanlah seperti pipa yang menyalurkan air. Kata-kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas. Kalau diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan alat untuk memotong atau menikam," begitu kata Sutardji.

Menurut Sutardji, menulis puisi itu ialah membebaskan kata-kata dan itu artinya mengembalikan kata pada mulanya. Pada mulanya adalah kata dan kata pertama adalah mantra. Dengan begitu, menulis puisi baginya adalah mengembalikan kata kepada mantra.

Selain menulis puisi, Sutardji juga sering tampil di atas panggung membacakan puisi kepada penonton. Di atas panggung ia menunjukkan totalitasnya dalam membaca puisi dan berusaha tidak hilang kontak mata dengan para penonton. Ia bahkan tak segan sampai berguling-guling sampai jumpalitan di atas panggung ketika berpuisi.

"Aku tidak pernah main-main sewaktu membikin sajak. Aku serius. Tapi, ketika tampil aku berusaha apa adanya, santau namun memiliki arti," ungkapnya.

Sutardji selalu berusaha tampil maksimal ketika membacakan puisinya
info gambar


Atas kreativitasnya ini, Sutardji pun sudah mendapatkan banyak penghargaan dan karyanya masuk ke dalam antologi-antologi mancanegara, antara lain Arjuna in Meditation yang diterbitkan di Calcutta, India; Writing from the World, Amerika; dan di Journal of Southeast Asian Literature 36 dan 37 tahun 1997 yang beberapa sudah diterjemahkan oleh Harry Aveling ke dalam Bahasa Inggris.

Sutardji menjadi sastrawan Indonesia pertama yang mendapatkan Penghargaan Penulis Asia Tenggara (The Southeast Asian (SEA) Write Awards) dari Kerajaan Thailand pada tahun 1979 karena karyanya yang dianggap baru. Dan dengan karya-karyanya yang unik tersebut Sutardji kerap disebut dengan "Predisen Penyair Indonesia".

Sutardji menjadi sastrawan Indonesia pertama yang meraih Penghargaan Penulis Asia Tenggara pada 1979 (foto: kemdikbud.go.id)
info gambar


Sumber : kemdikbud.go.id

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini