Menjawab Tantangan Kedaulatan Pangan Dunia, Praktisi Agrikultur Asia Pasific Berkumpul di Jakarta

Menjawab Tantangan Kedaulatan Pangan Dunia, Praktisi Agrikultur Asia Pasific Berkumpul di Jakarta
info gambar utama

Krisis pangan merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh dunia dalam beberapa dekade kedepan. Harapan hidup yang terus meningkat dan jumlah penduduk yang bertambah, membuat peran agrikultur menjadi semakin penting. Oleh karena itu perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang industri agikultur diundang untuk berkumpul dalam Responsible Business Forum On Food and Agriculture 2017 yang berlangsung 14-15 di Jakarta.

Kurang lebih terdapat 650 partisipan yang hadir dalam forum tersebut membahas tentang bagaimana cara-cara yang efektif untuk menjawab tantangan pangan di masa mendatang, utamanya di Asia Pasifik. Sebab berdasarkan data populasi pada tahun 2015-2020 setengah populasi dunia akan terkonsentrasi di 9 negara yang mayoritas ada di Asia termasuk Indonesia di dalamnya. Dengan populasi besar tersebut World Bank merilis bahwa 70% malnutrisi terjadi di Asia.

"Kami secara kolektif harus mampu mengentaskan kelaparan global di tahun 2030. Sebagaimana disebutkan dalam SDGs (Sustainable Development Goals) bahwa untuk mencapai kedaulatan pangan harus didukung oleh agrikultur yang berkelanjutan. Implementasi SDGs harus dicapai dengan nilai-nilai integrasi universal sehingga no one left behind," ujar Menteri Pembangunan dan Perencanaan Republik Indonesia, Bambang Brodjonegoro saat memberi pidato pembukaan RBF 2017.

Upaya mengentaskan kelaparan tersebut juga disampaikan oleh Chairman & CEO, Golden Agri-Resources, Franky Widjaja yang mengungkapkan bahwa solusi permasalahan pangan di masa mendatang terletak pada bagaimana industri mampu turut mensejahterakan petani kecil. Petani kecil menjadi penting karena mereka juga adalah para produsen pangan. Di lain sisi, minat generasi muda terhadap dunia agrikultur terbilang rendah.

"Sampai saat ini di dunia terdapat 520 juta petani sedangkan 45 juta diantaranya ada di Indonesia. Sehingga perhatian pada para petani tersebut harus menjadi prioritas. Kita harus mampu membuat mereka menjadi happy farmers. Jika tidak, kita tidak akan bisa mendapat makanan," kata Franky.

Forum ini diharapkan menjadi sebuah forum yang mampu merumuskan sebuah aksi konkrit dalam mengentaskan problem pangan. Assitant Director General and Regional Representative for Asia and the Pacific at UN Food and Agriculture Organization (FAO), Kundavi Kadiresan menekankan bahwa forum ini bukanlah forum CSR yang hanya memberikan lip service.

"Meskipun Asia saat ini telah mampu mengurangi setengah dari masalah kelaparan dunia, mayoritas kelaparan masih terjadi di Asia. Jadi kita harus fokus pada apa yang kita bisa lakukan. Kita pun harus kritis tentang bagaimana economic growth dapat berpengaruh terhadap petani. Sebab saat orang-orang telah meninggalkan agrikultur. Dilain sisi kita juga tidak dapat hanya fokus terhadap komoditas nasi saja, kita perlu membicarakan tentang diversifikasi [pangan]. Ini tanggung jawab kita bersama." tekan Kundavi.

Menteri Perencanaan Pembangunan Republik Indonesia, Bambang Brodjonegoro saat memberikan pidato pembuka RBF 2017 (Foto: Bagus DR/GNFI)
info gambar

Di akhir sesi RBF 2017, para partisipan pun melakukan vote tentang solusi praktis apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas agrikultur dan meningkatkan kesejahteraan petani kecil di industri kokoa, minyak sawit, kopi, aquakultur dan perikanan, produk peternakan (dairy), padi-padian (grains), dan nasi.

Di industri kokoa para partisipan mayoritas merekomendasikan industri untuk melakukan peningkatan transparansi dan pengetahuan. Sedangkan dalam industri minyak sawit, para partisipan memandangan bahwa pemerintah di setiap negara yang terlibat harus mendukung terjadinya sertifikasi lahan untuk para petani kecil. Kemudian di industri kopi, rekomendasi mayoritasnya adalah bagaimana industri mampu mendorong permintaan konsumen terhadap proses produksi kopi yang sustainable.

Di industri aquakultur dan perikanan, rekomendasi yang mayoritas diterima adalah tentang bagaimana industri mampu mengintegrasikan para petani untuk meningkatkan kualitas produksi lewat akses finansial yang memadai. Selanjutnya pada industri produk peternakan para partisipan banyak yang merekomendasikan bahwa industri harus terlibat dalam peningkatan kemampuan kompetitif petani melalui investasi teknologi. Sedangkan di industri padi-padian rekomendasi yang diberikan adalah bahwa industri perlu melakukan perhatian pada riset dan pengembangan dalam hal agronomy (manajemen tanah dan produksi tanaman), nutrisi dan proses seusai panen. Dan yang terakhir pada industri nasi, para partisipan mayoritas mengajukan terjadinya promosi isu terkait perubahan iklim dan kelanggkaan sumber daya alam.

Rekomendasi-rekomendasi tersebut tentu saja tidak hanya untuk sekadar wacana tetapi juga diproses menjadi sebuah aksi nyata dari para pelaku industri. Sebagaimana ditegaskan oleh Presiden Indonesian Business Council for Sustainable Development, Shinta Kamdani.

"Para pemimpin bisnis memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan sistemik yang dibutuhkan untuk mewujudkan terjadinya kedaulatan pangan. Oleh karena itu dalam acara dua hari ini kami telah mengundang perusahaan-perusahaan baik lokal maupun multinasional untuk menyampaikan praktik-praktik terbaik [dalam agrikultur]. Itulah mengapa kami percaya Responsible Business Forum sangatlah penting." jelasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini