POTADS: Agar Orangtua Anak Sindroma Down Tidak Merasa Sendiri

POTADS: Agar Orangtua Anak Sindroma Down Tidak Merasa Sendiri
info gambar utama

Sindroma down atau down syndrome pertama kali ditemukan oleh John Langdon Down, seorang dokter berkebangsaan Inggris. Itu sebab kelainan ini dinamai dengan namanya. Dalam papernya di tahun 1866, Down menjelaskan tentang kemungkinan mengklasifikasi kelainan mental. Klasifikasi yang ia gunakan didasarkan pada kemiripan fisik dengan ciri ras bangsa-bangsa di dunia, yaitu melayu, kaukasian, etopia dan mongoloid.

Oleh Down, sindroma down diklasifikasikan sebagai ras mongoloid. Itu sebab sindroma down sering juga disebut sebagai mongolism, sedangkan penyandangnya disebut mongoloid. Ditandai dengan kelainan genetik pada kromosom, sindroma down berakibat pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental. Kelainan fisik yang paling umum berupa tinggi badan yang relatif pendek, kepala kecil, ataupun hidung datar.

Dari 700 kelahiran hidup di dunia, terdapat satu kasus sindroma down. Artinya, ada satu bayi yang lahir dengan sindroma down diantara 800 hingga 1.000 bayi yang lahir. Saat ini ada sekitar 4 juta penyandang sindroma down di dunia, dengan 300 diantaranya ada di Indonesia (WHO, 2016). Jumlah ini cukup banyak, sehingga perhatian berbagai pihak sangat diperlukan.

Untuk meningkatkan kesadaran publik akan sindroma down, sejak 2012 PBB peringati Hari Sindroma Down Sedunia (HSDD) atau World Down Syndrome Day tiap 21 Maret. Di Indonesia, Persatuan Orangtua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) turut memperingatinya. Sebagaimana di tahun-tahun sebelumnya, tahun ini POTADS adakan pentas dan pameran karya seni anak-anak sindroma down. Berikut sari obrolan GNFI dengan Sri Handayani, ibu gadis sindroma down dan Ketua POTADS.

Latar belakang pendirian:

Bermula dari perbincangan tiga ibu para pendiri. Salah satu dari mereka adalah pemerhati isu terkait, lainnya merupakan ibu yang memiliki anak sindroma down. Mereka pikir, mengapa tidak membuat perkumpulan saja. Ini dimaksudkan agar obrolan tak terbatas pada mereka bertiga, agar bisa saling belajar dengan orangtua lain. Sebab di masa itu, informasi di dunia maya belum begitu banyak seperti saat ini. Maka berdirilah POTADS pada Juli 2003.

Tujuan:

Selain memberi informasi kepada orangtua, POTADS bertujuan untuk mensosialisasikan tentang sindroma down kepada masyarakat. Masyarakat umum banyak yang belum paham, sehingga seringkali merasa takut dengan anak sidroma down yang gerakannya sangat aktif.

Betul bahwa anak-anak ini mukanya sama semua, sehingga orang awam sering memperlakukan mereka berbeda. Namun kita ingin publik paham bahwa seperti anak-anak lainnya, anak-anak sindroma down mampu berkreasi dan berprestasi. Mereka memang berbeda, namun jangan dibeda-bedakan. Kita ingin publik tetap respek dan tidak mengucilkan.

Anggota:

Selain di Jabodetabek, pengurus POTADS juga ada di Medan, Padang, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Sidoarjo, Samarinda dan Denpasar. Jumlah total anggota sekitar 1.300, dengan setengahnya berada di Jabodetabek. Ini adalah jumlah yang tercatat, sebab masih banyak orangtua yang tidak mendaftarkan anaknya.

Kegiatan:

POTADS membentuk Rumah Ceria, yaitu kelas-kelas belajar bagi anak sindroma down. Kelas ini berlangsung hampir setiap hari, usai jam sekolah. Dengan banyak berkegiatan, bakat anak-anak diharap mampu berkembang. Diantara materi kelas tersebut adalah memasak, tari, musik, menggambar, kerajinan, dan sebagainya.

Bagi orangtuanya terdapat grup obrolan dunia maya, maupun saat bertemu muka ketika mengantar anak-anak mereka. Para orangtua membahas tentang pengalaman merawat anak masing-masing. Diadakan pula diskusi dan seminar yang mendatangkan ahli.

Kendala organisasi:

Mengajak orangtua yang memiliki anak sindroma down bukan hal mudah. Masih banyak orangtua yang malu dengan status anaknya, lalu menyembunyikan. Padahal dengan membuka diri, mereka akan lebih mudah berbagi dan mendapat informasi. Misalnya informasi cara merawat anak sindroma down.

Hambatan bagi sindroma down di Indonesia:

Serupa dengan warga berkebutuhan khusus lainnya, aksesibilitas ranah publik seringkali menjadi kendala. Salah satunya adalah sekolah yang tidak inklusi, sehingga SDM pengajar belum tentu mampu berkomunikasi dan mengajar anak-anak berkebutuhan khusus.

Sekolah inklusi adalah sekolah umum (bukan SLB), yang menggabungkan antara pendidikan khusus dan reguler dalam satu sistem pendidikan. Pendidikan khusus ini menggunakan kurikulum yang didesain sesuai kebutuhan individu, untuk mengembangkan anak berkebutuhan khusus sesuai bakat yang dimilikinya.

Maka pilihan terbaik adalah memasukkan anak tunagrahita dengan sindroma down ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Kendalanya jumlah SLB di Indonesia masih terbatas, sehingga jarak antara rumah dan sekolah seringkali tak dekat.

Saran bagi orangtua dengan anak sindroma down:

Mendidik anak dengan sindroma down memang butuh kesabaran lebih. Jika anak normal mampu paham hanya dalam sekali ucapan, anak sindroma down membutuhkan tiga hingga empat kali untuk dapat mengerti. Meski demikian, orangtua harus memberi kesempatan yang sama antara anaknya yang normal dengan yang mengalami sindroma down. Kesempatan tersebut harus diberikan dalam berbagai hal, salah satunya pendidikan. Berilah mereka pendidikan sebagaimana kita memberi pendidikan bagi anak-anak kita yang normal. Jangan dibeda-bedakan, sebab anak adalah anak.

Bagi orangtua dengan anak sindroma down, mereka harus mampu mengobati hati sendiri. Tak sedikit orangtua yang tidak dapat menerima kondisi anaknya. Sering berkumpul dengan sesama orangtua yang memiliki anak sindroma down, juga berguna untuk saling menyemangati. Sebab dengan berbagi, orangtua juga mendapat terapi untuk mengobati hati atas kondisi anaknya tersebut. Dengan berbagi pula, orangtua tidak merasa sendiri.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini