Lika-liku Tunjangan Hari Raya di Indonesia dari Masa ke Masa

Lika-liku Tunjangan Hari Raya di Indonesia dari Masa ke Masa
info gambar utama

Lebaran sudah hampir tiba. Sebelum bersiap untuk mudik, ada satu hal yang selalu dinanti oleh sebagian besar masyarakat kita, khususnya para pekerja. Yup! Tunjangan Hari Raya atau THR. Sudah lama Indonesia punya tradisi pembagian tunjangan atau bolehlah disebut sebagai 'hadiah hari raya' seperti ini, tepatnya pada tahun 1951 pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi.

Kabinet ini dilantik oleh Presiden Soekarno pada April 1951. Pada masa itu, salah satu program kerja yang diusung Kabinet Soekiman adalah meningkatkan kesejahteraan pamong pradja (Pegawai Negeri Sipil). Saat itu sebutannya bukan THR melainkan hanya 'uang tunjangan' yang memang diberikan kepada para Pegawai Negeri Sipil di akhir bulan puasa. Berdasarkan pemaparan peneliti muda LIPI Saiful Hakam, kabinet Soekiman membayarkan tunjangan kepada pegawai di akhir bulan Ramadan sebesar Rp125 (setara dengan Rp1,1 juta saat ini) hingga Rp200 (setara dengan Rp1,75 juta saat ini). Pun tak hanya uang yang diberikan melainkan juga tunjangan beras.

Pembagian uang tunjangan yang hanya bagi PNS ini rupanya menjadi kabar yang tidak menyenangkan bagi para buruh. Di sinilah perdebatan dan masalah mulai muncul.

Menurut Jafar Suryomenggolo dalam bukunya Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015), latar belakang pemberian THR muncul karena situasi ekonomi yang dialami kaum buruh sangat buruk. Situasi ini dikenal dengan kemiskinan absolut. Para buruh ditengarai melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat tapi gajinya tidak sebanding dengan energi yang mereka curahkan. Ketika hari raya tiba, kebutuhan tiba-tiba bertambah sehingga butuh uang lebih banyak. Sayangnya, penghasilan para buruh tak cukup memenuhi kebutuhan untuk hari raya.

Memang, di tahun 1951-1952 soal THR ini belum ada aturannya sebagaimana dijelaskan lebih lanjut oleh Jafar, “Sepanjang 1951-1952 masih belum ada aturan atau keputusan resmi pemerintah menyangkut THR—baik soal kepastiannya sebagai salah satu hak buruh (bukan semata-mata hadiah) maupun soal isi besarannya.”

Maka, pada masa itu pula THR dianggap sebagai pemberian yang bersifat sukarela. Meski begitu, para buruh kesal lantaran tidak ikut kecipratan THR. Pada akhirnya mereka mendesak pemerintah agar kelompoknya ini juga mendapatkan hadiah tersebut. Puncaknya pada tanggal 13 Februari 1952 di mana para buruh melakukan aksi protes dan mogok kerja. Sayangnya, protes ini tak kunjung didengar oleh Pemerintah Indonesia.

Sebelum benar-benar menjadi 'tradisi', Tunjangan Hari Raya di Indonesia punya lika-liku kisah yang cukup pelik (foto: radarkaltim)
info gambar

Sementara itu, pemberian hadiah lebaran kepada PNS ini terus berlanjut. Tahun 1954 dikeluarkan dalil tentang 'Persekot Hari Raja' dalam Peraturan Pemerintah nomor 27 tahun 1954 pada tanggal 19 Maret 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja Kepada Pegawai Negeri. Karena sebutannya adalah 'persekot' alias uang muka, maka uang yang diberikan tersebut sifatnya pun sebagai uang muka pinjaman kepada pegawai. Setelahnya, para pegawai harus mengembalikannya.

Berdasarkan pasal 6 ayat 1 PP tersebut, pengembalian dilakukan dalam enam angsuran dengan memotong gaji pegawai yang bersangkutan tiap-tiap bulannya.

Bagaimana dengan nasib para buruh?

Menteri Perburuhan S.M. Abidin dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I yang menjabat pada tahun 1953-1955 pun mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3676/54 tentang "Hadiah Lebaran". Isi surat edaran tersebut adalah pemberian hadiah lebaran yang dilakukan oleh pihak perusahaan secara sukarela, besarnya "seperduabelas dari upah yang diterima buruh dalam masa antara lebaran sebelumnya dan yang akan datang, sekurang-kurangnya 50 rupiah dan sebanyak-banyaknya 300 rupiah."

Sayangnya, surat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum meski sudah beredar hingga tahun 1958. Para buruh pun tidak berhenti berjuang agar pemerintah mengindahkan THR bagi mereka. Hingga akhirnya Menteri Perburuhan dalam Kabinet Kerja II Ahem Erningpraja yang menjabat pada 1960 hingga 1962 mengeluarkan aturan tentang THR yang wajib dibayarkan oleh perusahaan kepada para buruh dan menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya 3 bulan kerja. Hal ini tertulis dalam Peraturan Menteri Perburuhan nomor 1 Tahun 1961.

Kemenkeu mempersiapkan anggaran sebesar Rp23 triliun untuk THR dan gaji ke-13. Jumlah ini naik 28,4 persen jika dibandingkan anggaran tahun lalu
info gambar

Pada 1994 peraturan tentang THR kembali dikeluarkan oleh pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja yang tertuang dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan. Dalam peraturan tersebut tertulis kewajiban bagi setiap pengusaha untuk memberikan THR kepada pekerja yang telah bekerja di bawahnya selama minimal 3 bulan atau lebih. Mengenai besaran THR yang diterima pekerja akan disesuaikan dengan masa kerja tiap-tiap pekerja.

Regulasi ini kembali diperbarui pada tahun 2016 dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan. Dalam aturan ini disebutkan bahwa pekerja dengan masa kerja 1 bulan sudah berhak mendapatkan Tunjangan Hari Raya Keagamaan. Pun THR tidak hanya diberikan kepada pegawai tetap melainkan juga kepada pegawai kontrak lepas.

Aturan ini tentu menjadi kabar baik bagi kawan-kawan pekerja di perusahaan swasta. Mengiringi kabar baik ini, bagi para PNS aktif, Tunjangan Hari Raya (THR) tahun ini dikabarkan sudah siap cair pekan ini yang diikuti dengan gaji ke-13 bagi PNS non-aktif. Menteri Keuangan Sri Mulani mengungkapkan bahwa Presiden Joko WIdodo sudah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tenang penetapan THR dan gaji ke-13 bagi PNS dan pensiunan PNS untuk Lebaran 2017. Menyusul PP ini pula pekan ini juga rencananya akan segera diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Nah, kalau sudah menerima THR, gunakan sebaik-baiknya, ya Kawan!

Sumber: diolah dari berbagai sumber

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini