Tahun 2018, Perekonomian Indonesia Akan Tumbuh Lebih Cepat

Tahun 2018, Perekonomian Indonesia Akan Tumbuh Lebih Cepat
info gambar utama

Indonesia adalah salah satu negara berkembang dengan dengan fundamental terkuat di kawasan regional. Terbukti, ditengah ketidakpastian ekonomi global, pencapaian pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,1% pada tahun ini. Menunjukkan adanya tanda-tanda perbaikan dalam mesin ekonomi Indonesia.

Dengan pemerintahan yang stabil dan risiko politik relatif rendah, ekonomi Indonesia berpotensi untuk bergerak lebih cepat dalam beberapa tahun mendatang. Faktor eksternal menjadi penarik utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama yang berasal dari kenaikan harga komoditas

Berbagai indikator lain juga menunjukkan performa prima, seperti rasio utang pemerintah yang berada di bawah 30% dari PDB, salah satu yang terendah di antara negara-negara berkembang.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2018 akan mencapai 5,3 persen, menurutnya salah satu penyumbang terkuat pertumbuhan ekonomi Indonesia yakni meningkatnya kontribusi ekspor dan investasi.

Perekonomian Indonesia di tahun 2018 akan terus melaju dan berjalan dengan baik, hal ini tentunya harus didukung oleh kebijakan makroekonomi, peningkatan ekonomi global dan harga komoditas serta upaya berkelanjutan untuk memperkuat daya saing.

Proyeksi Pertumbuhan Indonesia Tahun 2018 | foto : youtube.com
info gambar

IMF menyimpulkan laju perkekonomian Indonesia tahun depan akan berlanjut tumbuh hingga 5,3 persen dalam diskusi “2017 Article IV Consultation” bersama perwakilan Bank Pemerintah Indonesia, November 2017 kemarin.

Kebijakan Indonesia dalam jangka pendek harus menyeimbangkan orientasi ekonomi untuk mendongkrak pertumbuhan, namun pada saat yang sama menjaga stabilitas ekonomi.

Untuk kebijakan moneter, IMF menyarankan otoritas untuk menjaga stabilitas harga sembari mendukung laju pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter yang diterapkan Bank Indonesia (BI) saat ini dinilai IMF sudah tepat.

Di sistem keuangan Indonesia, IMF menilai kebijakan tetap harus menjaga stabilitas. Sejauh ini, ujar Breur, sistem perbankan Indonesia terjaga dengan baik dengan profitabilitas perbankan tinggi dan likuiditas yang cukup.

Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/'NPL) terjaga, namun BI dan Otoritas Jasa Keuangan perlu terus mengawasi pergerakkan NPL, terutama untuk risiko kredit yang dirinci khusus (special mention) dan juga kredit yang direstrukturisasi.

Dari sisi pemenuhan kebutuhan lapangan kerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi inklusif, IMF juga melihat peru kebijakan untuk menigkatkan penerimaan guna membiayai keberlanjutan pembenahan di sektor produksi, tenaga kerja, dan pasar keuangan.

IMF melihat terdapat kebutuhan mendesak untuk menerapkan strategi penerimaan jangka penengah yang menitikberatkan reformasi kebijakan pajak dan administrasi pajak guna mendukung penguatan iklim berbisnis.

Sejalan dengan itu, Ekonom DBS Group Research, Gundy Cahyadi dalam laporan ‘Indonesia in 2018/19: Higher gar?’ yang dirilis 20 November 2017 memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia juga turut membaik menjadi 5,3% dan 5,4% pada 2018 dan 2019.

Hal ini bergantung bagaimana pemerintah dapat mengakumulasikan berbagai indikator untuk memacu pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Seperti mendorong Investasi Swasta yang sejak 2013 mengalami penurunan. Upaya pemerintah melalui pembangunan infrastruktur sepertinya sudah membuahkan hasil. Ini terlihat dari pertumbuha investasi yang mencapai 7,1 % pada Karta III 2017, tertinggi sejak kuartal 1-2013.Di perkirakan investasi berkontrubusi sebesar 35% terhadap pertumbuhan ekonomi PDB 2017.

Investasi swasta diandalkan dengan terbatasnya ruang fiskal pemerintah. Undang-undang mengatur pembatasan defisit anggaran maksimal 3% dari PDB. Diperkirakan defisit akan mencapai 2,6% pada 2018, lebih tinggi dari perkiraan pemerintah sebesar 2,2%. DBS Group Research memperkirakan kenaikan defisit terutama didorong oleh potensi penurunan penerimaan pajak, ketimbang kenaikan anggaran belanja.

Kendati demikian, tren kenaikan harga minyak mentah dunia akan meningkatkan pemasukan negara dari sektor minyak dan gas bumi (migas). Dalam perhitungan DBS Group Research, setiap kenaikan harga minyak sebesar 10% akan memberikan tambahan anggaran Rp 6,7 triliun dalam APBN.

Tidak seperti negara-negara lain, Indonesia adalah salah satu negara yang tidak mengambil keuntungan dari tumbuhnya permintaan produk manufaktur global. Ekspor Indonesia masih mengandalkan sektor komoditas, terutama batu bara yang tumbuh 49%, minyak sawit mentah sebesar 44%, dan migas sebesar 21%. Sementara ekspor produk manufaktur hanya tumbuh 2,5%.

Pemerintah telah berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan terhadap produk komoditas. Ini dilakukan dengan menerbitkan 16 paket reformasi kebijakan dalam dua tahun terakhir. Terbukti, peringkat Indonesia dalam Ease of Doing Business yang dirilis Bank Dunia meroket dari peringkat 106 pada 2016 menjadi 72 pada 2018.

Investasi asing langsung ke sektor manufaktur pun mencatat rekor tertinggi sebesar USD 16,6 miliar pada 2016. Investor tidak lagi menjadikan sektor pertambangan sebagai tujuan investasinya, melainkan sektor permesinan dan elektronik.

Ada beberapa faktor sentimen global terhadap perekonomian Asia dan Indonesia menurut Gundy Cahyadi. Seiring dengan membaiknya kondisi makroekonomi global, mendorong kinerja ekonomi di Asia, khususnya kinerja pasar saham Asia yang belakangan ini terlihat lebih aktraktif dibandingkan negara maju lainnya.

Selain itu, ASEAN, khususnya Indonesia terus mendorong laju iklim investasi dan konsumsi masyarakat. Salah satunya dengan melakukan pelonggaran kebijakan moneter dengan memangkas suku bunga di tengah adanya rencana the Fed yang akan menaikkan suku bunganya secara bertahap.

Nilai tukar rupiah juga menunjukkan angka yang stabil, seiring peningkatan cadangan devisa serta kebijakan moneter dan fiskal yang solid membuat pasar obligasi Indonesia semakin atraktif. Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa fundamental ekonomi Asia cukup kuat terhadap sentimen global

Saat ini, negara-negara Asia, termasuk Indonesia, memegang kendali atas marketshare manufaktur terbesar di dunia. Indonesia berada di posisi ke-empat dalam hal market share manufaktur di dunia setelah China, Korea, dan India. Tahun 2017 merupakan tahun yang mana dunia mengalami pertumbuhan ekonomi paling tinggi setelah global financial crisis, dunia mencatat pertumbuhan pada level 3,6%, negara-negara maju mencatat pertumbuhan pada 2,2%, sedangkan negara-negara berkembang mencatat pertumbuhan 4,6%, dan Indonesia mencatat 5,2%.

Salah satu faktor penyumbang tingginya angka pertumbuhan di negara-negara Asia, khususnya Asia Timur, karena adanya penerapan global value change. Di sini, masing-masing negara memproduksi barang-barang dan kemudian saling bertukar satu sama lain.

Pada sektor perdagangan, salah satu faktor yang menjadi fokus pemerintah adalah bagaimana Indonesia dapat berekspansi ke negara-negara trading partners agar para pelaku usaha di Indonesia mendapatkan akses pasar dunia yang lebih luas. Dalam hal ini, pemerintah juga menekankan peran aktif dari para pihak swasta, khususnya perbankan, dalam mendukung permodalan bagi sektor manufaktur di Indonesia.

Siapkah anda untuk Indonesia yang lebih baik?


Sumber: republika.co.id | detik.com | marketeers.com

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini