Tantangan Indonesia Menuju Cashless Society

Tantangan Indonesia Menuju Cashless Society
info gambar utama

Mari sedikit bernostalgia. Saat masih berumur 5 tahun, saya masih ingat melihat Ayah saya membawa sekoper uang tunai saat membeli mobil baru untuk keluarga kami. Kini saat sudah menginjak 23 tahun, saya tidak perlu repot-repot membawa uang cash ke toko untuk membeli kamera impian. Cukup dengan gesek kartu debit, transaksi pun beres.

Dari cerita tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa cara bertransaksi masyarakat Indonesia sudah mulai berubah. Peralihan transaksi ini tidak lain merupakan campur tangan aturan Bank Indonesia mengenai uang elektronik di tahun 2009 silam. Untuk mendorong transaksi uang elektronik tersebut, lima tahun kemudian yakni di tahun 2014, Bank Indonesia mencanangkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).

Perjalanan penerapan kebijakan cashless society tidaklah mudah. Meski layanan e-commerce dan marketplace yang berkembang kian memanjakan masyarakat untuk bertransaksi online. Namun apakah masyarakat Indonesia sudah siap untuk menggunakan dompet digital sepenuhnya?

Walau Indonesia sudah terlihat seperti “melek teknologi”, namun pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia masih terbilang kalah dari negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penghambat utama kebijakan ini, iklim atau ekosistem bisnis dan permasalahan klasik infrastruktur.

Selain jaringan infrastruktur seperti internet yang belum menyeluruh ke seluruh pelosok negeri, tertinggalnya perkembangan transaksi elektronik di Indonesia juga dipengaruhi oleh tingkat literasi keuangan yang masih rendah. Sebuah cashless society akan terwujud bila mayoritas masyarakatnya memahami bagaimana melakukan tata kelola keuangan atau literasi keuangan.

Hasil survey yang dilakukan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) pada tahun 2016, tingkat literasi keuangan Indonesia baru sebesar 29,66 persen dari total jumlah penduduk. Artinya penduduk Indonesia yang memahami bagaimana mengelola uang dengan baik baru sebesar 75 juta jiwa saja dari 240 juta penduduk Indonesia. Ditambah lagi masyarakat Indonesia secara budaya masih lebih nyaman memegang uang tunai dan bertransaksi secara cash.

Survei yang diakukan Jakpat tahun 2016 lalu, menemukan fakta bahwa uang elektronik masih kurang populer di masyarakat. Secara umum minimnya penggunaan dompet elektronik dikarenan proses penggunaannya yang belum bersahabat bagi masyarakat, kendati mereka sudah tergolong melek teknologi dengan penggunaan internet dan ponsel pintar.

Penggunaan dompet elektronik pun masih didominasi untuk pemenuhan kebutuhan cepat saji, seperti minimarket, restoran, transportasi online, dan lain-lain. Hal ini terlihat dari presentasi pengisian saldo dompet elektronik yang didominasi antara Rp 50.000 – Rp 150.000 per bulannya.

Selain itu, masih banyak masyarakat Indonesia yang relatif membelanjakan uangnya di pasar tradisional, warung-warung, atau toko kelontong yang belum menyediakan prasarana nontunai. Ketersediaan EDC (electronic data capture) masih relatif minim persebarannya di Indonesia.

Tidak hanya itu, faktor lainnya yang juga menghambat adalah persoalan manusianya. Tidak jarang, alat transaksi nontunai-nya sudah tersedia, tetapi orang-orang tidak tahu cara mengoperasikannya. Kita bisa melihat contoh konkret saat memasuki stasiun KRL di Jakarta, di mana para komuter kebingungan bagaimana membeli ataupun top up kartu KRL.

Survei Jakpat juga mengatakan rata-rata pengguna masih ragu akan isu keamanan dan proses pengisian saldo yang tergolong rumit. Penggunaan kartu kredit pun masih rendah, kebanyakan transaksi perbankan dilakukan melalui transfer di mesin ATM.

Melihat tantangan besar yang dihadapi Indonesia tersebut, bisa dibilang negara ini memiliki pekerjaan rumah untuk mewujudkan budaya cashless society. Mengubah suatu sistem dan menjadikannya sebuah kebiasaan perlu melewati proses yang panjang dan tidak mudah. Untuk itu diperlukan dukungan dari banyak pihak, baik dari pemangku kebijakan maupun dari kalangan masyarakat sendiri.

Penulis adalah seorang content marketer dari situs agregator e-commerce iPrice.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini