Fiscal Poison or Fiscal Panacea, Tax Amnesty di Indonesia

Fiscal Poison or Fiscal Panacea, Tax Amnesty di Indonesia
info gambar utama

“Tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali kematian dan pajak.” Tulis Benjamin Franklin dalam suratnya yang ditujukan kepada Jean Baptiste Le Roy pada 1789. Benjamin Franklin tentunya tidak berlebihan karena pada dasarnya semua makhluk hidup akan mati dan tingkat kepastian hukum kematian mungkin hanya bisa disamakan dengan tingkat kepastian hukum pajak dimana kewajibannya hampir tidak mungkin dihindari. Apabila selama ini ada yang bermain-main dengan hukum pajak maka sama saja bermain-main dengan kematian karena tidak sedikit perusahaan yang gulung tikar karena masalah pajak.

Pada tahun 2016 Indonesia menjalankan kebijakan tax amnesty untuk memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk memperbaiki kewajiban perpajakannya. Kebijakan Tax amnesty di Indonesia ini disebut sebagai The most successful tax amnesty in history dengan deklarasi harta dan uang tebusan tertinggi diantara tax amnesty yang pernah ada sebelumnya di berbagai belahan dunia.

Pengampunan pajak atau lebih populer disebut tax amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak.

Hasil akhir kebijakan tax amnesty pada akhir tahun 2016 adalah pengungkapan deklarasi harta sebesar 3.613 Triliun dan pada akhir periode yaitu Maret 2017 menjadi sebesar 4.884 Triliun dari 1.030.014 Surat Pernyatan Harta (SPH) yang diungkapkan oleh Wajib Pajak dengan total pembayaran Uang Tebusan mencapai 135 Triliun. (sumber:www.pajak.go.id/statistik-amnesti).

Pencapaian tax amnesty di Indonesia ini merupakan pencapaian tax amnesty paling sukses di dunia karena pada akhir periode yaitu Maret 2017 pengungkapan deklarasi harta mencapai 4.884 Triliun dengan pembayaran uang tebusan mencapai 135 Triliun. Sementara peringkat kedua adalah Italia dengan tax amnesty pada tahun 2009 dengan pengungkapan harta sebesar 1.179 Triliun dan pembayaran uang tebusan sebesar 59 Triliun yang masih jauh dari Indonesia, disusul dengan Chili di peringkat ketiga dengan pengungkapan harta sebesar 263 Triliun dan pembayaran uang tebusan sebesar 19,7 Triliun.

Prestasi dari kebijakan tax amnesty di Indonesia ini jelas meningkatkan penerimaan Negara, akan tetapi apakah tax amnesty akan memberikan pengaruh positif atau justru malah pengaruh negatif dalam jangka panjang? Mari kita lihat kebijakan tax amnesty di berbagai belahan dunia dan penelitian para ahli di bidang perpajakan terkait dengan dampak dari kebijakan tax amnesty diberbagai belahan dunia.

Tax Amnesty di berbagai belahan dunia dan penelitian para ahli di bidang perpajakan

Berbagai negara di belahan dunia selama beberapa dekade terakhir ini sering menetapkan kebijakan tax amnesty sebagai bagian dari kebijakan fiskalnya. Tercatat hampir empat puluh negara di Amerika dan berbagai negara di luar Amerika menerapkan kebijakan tax amnesty. Bahkan kebijakan tax amnesty dilakukan lebih dari satu kali. Italia tercatat melakukan lebih dari satu kali tax amnesty yang pertama pada tahun 2001 dan terakhir pada tahun 2009. Chili menjalankan kebijakan tax amnesty pada tahun 2015, Spanyol pada tahun 2012, Australia pada tahun 2014 dan negara-negara lainnya.

Dari berbagai negara yang telah menjalankan kebijakan tax amnesty, para ahli perpajakan mencoba untuk mengetahui dampak dari kebijakan tax amnesty terhadap fiskal negara tersebut. James Alm merupakan professor di bidang perpajakan yang dikenal dunia dengan sebutan “Mr. Tax Compliance” melakukan penelitian terhadap dampak dari kebijakan tax amnesty di Russia di 1990an terhadap penerimaan pajak Rusia dari tahun 1992 sampai 2004.

Penelitian tersebut menjelaskan bahwa tax amnesty memang memberikan dampak terhadap penerimaan negara dalam jangka pendek dan diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan dan penerimaan negara dalam jangka menengah dan panjang. Akan tetapi, tax amnesty yang pada awalnya diharapkan menjadi obat mujarab fiskal (fiscal panacea) berdasarkan penelitian yang dilakukan justru tax amnesty bisa menjadi racun dalam kebijakan fiskal (fiscal poison) dalam jangka menengah dan panjang. Mengapa bisa demikian?

James Alm menjelaskan dengan menggunakan taxpayer behavior model bahwa dampak negatif tax amnesty membuat wajib pajak yang selama ini sudah patuh dan membayar pajak dengan semestinya menjadi kecewa dan merasa mendapatkan perlakukan yang “tidak adil” (unfairness) dari pemerintah karena pemerintah justru memberikan karpet merah kepada wajib pajak yang selama ini tidak patuh dengan cukup membayar uang tebusan dengan jumlah yang tidak seberapa apabila dibandingkan dengan pajak yang semestinya dibayar oleh wajib pajak patuh berikut waktu yang mereka korbankan untuk memenuhi kewajiban pajaknya (compliance cost). Hal tersebut akan mendorong munculnya sikap ketidakpatuhan dari wajib pajak yang sudah patuh.

Selanjutnya, tax amnesty menimbulkan persepsi para wajib pajak akan adanya “The Next Amnesty”, terlebih apabila tax amnesty sudah pernah dilakukan lebih dari satu kali oleh Pemerintah. Anggapan “The Next Amnesty” tersebut akan mendorong wajib pajak baik yang sudah patuh, yang tetap tidak patuh dan yang baru saja patuh dari tax amnesty untuk melakukan ketidakpatuhan karena mereka menganggap bahwa ketidakpatuhan tersebut adalah hal biasa yang dapat diperbaiki kembali dengan adanya “The Next Amnesty” dikemudian hari. Anggapan “The Next Amnesty” ini yang menyebabkan penurunan kepatuhan wajib pajak setelah program tax amnesty terlebih Indonesia sudah beberapa kali memberikan pengampunan pajak, terakhir yaitu sunset policy tahun 2008 dan reinventing policy tahun 2015.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut memang benar tax amnesty meningkatkan penerimaan jangka pendek tetapi jumlahnya tidak signifikan terhadap penerimaan total dan justru dalam jangka menengah dan panjang akan berbalik menurunkan penerimaan negara karena tingkat kepatuhan wajib pajak menjadi menurun. Hal itulah yang menimbulkan persepsi bahwa “tax amnesty is not fiscal panacea, but fiscal poison” yang sebaiknya dihindari oleh pemerintah dalam membuat kebijakan fiskal.

Penelitian lebih lanjut dilakukan terhadap penurunan kepatuhan dari dampak tax amnesty. Penurunan kepatuhan tersebut ternyata terjadi apabila setelah tax amnesty tidak dibarengi dengan tax reform dan law enforcement. Tax reform adalah reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki sistem perpajakannya menjadi lebih baik dan law enforcement adalah upaya penegakan hukum bagi wajib pajak yang kurang patuh maupun tidak patuh sebagai bentuk penegakan hukum sekaligus sebagai bentuk keadilan terhadap wajib pajak yang selama ini sudah patuh.

Seperti itulah dampak dari kebijakan tax amnesty di berbagai belahan dunia dari hasil penelitian para ahli di bidang perpajakan tentang kebijakan tax amnesty. Bagaimana dengan kebijakan tax amnesty di Indonesia? Apakah kebijakan tax amnesty yang menurut para ahli sebaiknya dihindari oleh pemerintah justru akan menjadi bumerang bagi Indonesia?? Mari kita tunggu hasilnya beberapa tahun kedepan


Sumber:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini