Kebangkitan Nasional: Mengingat Kembali Semboyan Negara Indonesia

Kebangkitan Nasional: Mengingat Kembali Semboyan Negara Indonesia
info gambar utama

Kebangkitan Nasional Indonesia tidak akan pernah terjadi jika kesadaran akan identitas nasional tidak terpupuk. Saling mengedepankan asal-usul, etnis, bahkan agama tidak akan membuat hari itu ada. Melainkan hari kebangkitan itu terjadi karena munculnya kesadaran diri sebagai “orang Indonesia” yang kemudian bersatu untuk menjadikan kehidupan lebih baik.

Tetapi, apa yang saya lihat pagi tadi menimbulkan keresahan dalam pikiran. Keresahan ini datang saat melihat cuitan seorang penggiat media sosial dan juga seorang penulis naskah film dari Indonesia yang mengungkapkan kecemasannya hidup di negara dengan keberagaman yang sangat tinggi ini.

“Mungkin selalu menjadi masa yang sulit, bahkan setelah selama ini. 20 tahun yang lalu, saat berusia 14 tahun, saya mengetahui bahwa ada orang-orang di luar sana yang tidak akan ragu-ragu untuk membunuh saya dan keluarga saya karena kami dilahirkan berbeda. Hidupku tidak pernah sama,” ujar Jenny Jusuf dalam akun Twitternya yang ditutup dengan tagar “BeingChineseIndonesian”.

Tentu saja hal ini merujuk pada kejadian 20 tahun yang lalu, saat sekelompok orang-orang menyerang kaum Tionghoa atau Cina. Tentu saja kejadian itu menanam trauma yang mendalam untuk kaum yang ditindas kala itu.

Tapi, kenapa hingga saat ini kecemasan itu masih ada? Apakah masih ada oknum-oknum yang berniat menyingkirkan orang Indonesia karena etnisnya yang berbeda itu? Apakah mereka lupa dengan semboyan negara Indonesia yang dicengkeram erat oleh sang Garuda Pancasila? Atau justru lupa kalau Indonesia punya semboyan Bhinneka Tunggal Ika?

Padahal sejak berada di sekolah dasar (atau bahkan sejak taman kanak-kanak?) selalu diajarkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”, adalah dasar untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan Indonesia.

Padahal kehadiran mereka di dunia dan menginjakkan tanah air tercinta ini adalah bukan pilihan mereka, melainkan suatu takdir dari Yang Maha Kuasa. Padahal kita −yang melabeli diri sebagai mayoritas− juga dipertemukan dengan mereka karena juga sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa.

Tetapi yang perlu diingat adalah bahwa pertemuan itu bukan suatu hal yang disengaja tanpa alasan. Bila melihat dalam konteks di sini, pertemuan antarperorangan di Indonesia adalah untuk bersatu melawan kejahatan-kejahatan yang mengancam kesejahteraan masyarakatnya, bukan malah menimbulkan keresahan.

Banyak sekali hal berguna yang bisa dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan alih-alih membuat orang lain merasa minoritas, tertindas, atau resah. Salah satunya, dan bisa jadi yang utama, adalah menerima ke-Bhinnekaan.

Bukankah pelangi indah karena perbedaan warnanya? Kalau ada satu warna yang mendominasi tetapi memaksakan warna lain supaya berubah jadi warnanya, dimana letak keindahannya?

Sama halnya dengan Indonesia yang begitu kaya karena bahasa, budaya, ilmu agama, ilmu pengetahuan umum, maupun latar belakangnya yang berbeda-beda. Warna-warni masyarakat Indonesia ini akan jauh lebih indah kalau tidak ada yang mencoba menghilangkan salah satu warnanya.

Oleh karena itu, dengan menerima kenyataan bahwa kita ini terlahir dari keluarga yang berbeda tetapi dipijakkan di satu tanah dan bendera kebangsaan yang sama, bukan tidak mungkin perbedaan itu untuk bisa disatukan sehingga dapat membentuk kekuatan baru.

Jadi, ayo tanamkan identitas nasional dalam diri kita. Bukan lagi kita yang menjadi musuh sendiri untuk saudara setanah air, bukan lagi “Saya ini orang muslim” atau “Saya ini keturunan Jawa” misalnya. Alih-alih demikian, ayo terima perbedaan−karena ini adalah satu hal tidak bisa dihapuskan−dan bangga berkata “Saya adalah orang Indonesia”.

Selamat 110 Tahun Kebangkitan Nasional! Malu dong sama umur kalau masih terpecah-belah!

Indonesia bersatu | Foto: sukita.id
info gambar

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DE
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini