Lembaga Konservasi TNC Turut Dukung Adat Sasi di Papua, Demi Keberlangsungan Lingkungan

Lembaga Konservasi TNC Turut Dukung Adat Sasi di Papua, Demi Keberlangsungan Lingkungan
info gambar utama
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah. Melalui sumber daya yang melimpah tersebut, bangsa Indonesia dapat hidup dengan sejahtera. Namun mengelola sumber daya alam juga harus dilakukan dengan bijaksana, seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Indonesia timur seperti di Maluku dan Papua yang mengenal adat sasi. Sebuah adat yang mampu menjaga keberlangsungan alam.

Adat sasi merupakan praktek pengelolaan sumber daya alam oleh para masyarakat adat. Bentuknya adalah dengan penutupan wilayah yang telah ditentukan dalam jangka waktu tertentu.

Dalam International Marine Conservation Congress (IMCC) di Kuching, Sarawak, Malaysia pada akhir Juni 2018 yang lalu The Nature Conservancy (TNC) menyampaikan hasil pembelajaran dan pendampingan praktik sasi di Kampung Folley, Distrik Misool Timur, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Berdasarkan rilis yang GNFI terima TNC Indonesia, adat sasi rupanya memberikan manfaat bagi masyarakat alih-alih membatasi masyarakat untuk mencari penghidupan.

TNC yang melakukan pendampingan bersama Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Raja Ampat sejak tahun 2012 menjelaskan bahwa masyarakat Kampung Folley yang secara rutin melakukan pemantauan akhirnya merasakan manfaat saat buka sasi. Dalam wilayah sasi seluas 297 hektar, masyarakat Folley tidak mengambil teripang dengan ukuran lebih kecil dari 15 cm. Selain teripang ukuran kecil tidak laku dipasaran, teripang kecil juga penting untuk bibi-bibit teripang untuk mempertahankan jumlah populasi teripang.

Pemanfaatan teripang adalah salah satu bentuk dari momen dibukanya adat sasi yang memang memberikan manfaat tidak hanya bagi masyarakat tapi juga untuk lingkungan. Itu sebabnya TNC bersama mitra berusaha untuk menjamin kebelanjutan praktek adat ini. Caranya adalah dengan melakukan pengawasan secara berkala bersama dengan masyarakat pemilik wilayah sasi, pemuda kampung dan tokoh adat. Tujuannya adalah supaya waktu buka sasi bisa ditentukan dengan tepat. Kemudian terjadi kesepakatan tentang biota sasi yang boleh dipanen termasuk ukurannya.

Wilayah sasi di Kampunf Folley sendiri merupakan wilayah yang dimiliki oleh Marga Fadimpo dan Moom. Meski dimiliki berdasarkan marga, ternyata masyarakat di luar marga tersebut dan juga masyarakat di luar Kampung Folley juga boleh untuk mengambil hasil sasi. Syaratnya adalah mereka harus memathui aturan-aturan yang telah disepakati.

Beberapa persayaratan misalnya adalah tentang ukuran teripang yang harus lebih dari 15 sentimeter. Kemudian penangkapan teripang harus menggunakan perahu dan tidak boleh berjalan kaki. Penangkapan juga harus menggunakan alat yang ramah lingkungan seperti tombak atau kalawai. Kompressor maupun potassium sangat dilarang dalam sasi karena tidak ramah lingkungan. Dan para pemanen harus melaporkan hasil panennya kepada panitia untuk pendataan dan mencatat hasil tangkapan agar ukuran sesuai dengan kesepakatan.

TNC pun mengungkap bahwa dari data yang dikumpulkan sejak tahun 2013 hingga 2017 yang lalu, jumlah biota di wilayah sasi mengalami peningkatan baik secara maupun secara manfaat ekonomi. Selama kurun 2014-2017 panen rata-rata per kepala keluarga bisa mendapatkan tambahan penghasilan Rp 4juta dari hasil penjualan teripang.

"Sejak didampingin oleh TNC, pengelolaan sasi di Kampung Folley menjadi lebih baik. Selain hasil panen meningkat, kami juga diajarkan cara memonitoring dan pendataan hasil sasi," ujar Yohanes Fadimpo, tokoh adat di Kampung Folley.

Di awal masa penetapan sasi tahun 2013 dan masa pendampingan pada tahun 2014 hanya di kampung Folley hanya ditemukan 6 spesies teripang saat panen. Namun setelah dilakukan pengelolaan sasi oleh masyarakat, di tahun 2017 ditemukan 11 jenis teripang. Salah satu contoh teripang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi adalah teripang gosok (Holoturian Scabra), yang di pasaran lokal harganya berkisar antara Rp 600.000 – Rp. 1.000.000/kg. Di Indonesia sendiri setidaknya ditemukan sebanyak 29 jenis teripang yang diperdagangkan dan sebagian besar mengalami penurunan suplai karena eksploitasi berlebihan.

“Teripang merupakan salah satu komoditas ekspor pertama dari bumi Nusantara dan telah berlangsung selama lebih dari 300 tahun lalu hingga kini. Sayangnya, polusi dan eksploitasi berlebihan menyebabkan populasinya di alam menurun dengan sangat drastis. Oleh sebab itu, pemanfaatan teripang harus dikelola secara lebih bertanggung jawab. Jika tidak, sejarah pemanfaatan komoditas ekspor tertua nusantara tersebut akan terhenti di generasi kita,” ujar Muhammad Ilman, Direktur Program Kelautan TNC Indonesia.

The Nature Conservancy merupakan organisasi konservasi yang mengelola inisiatif konservasi di 72 negara di seluruh dunia untuk melindungi alam darat dan perairan. Di Indonesia, TNC telah bekerja dalam kemitraan konservasi dengan pemerintah, masyarakat dan sektor swasta selama lebih dari 27 tahun. Dengan menggunakan model-model pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis sains, TNC memberikan solusi dalam penyusunan kebijakan dan mempengaruhi tata kerja dan kelola yang berakibat pada bertambahnya konservasi darat dan laut di Indonesia yang dikelola secara efektif.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini