Profil PNS Inspiratif 2018: Inovasi Eddy Nurcahyono Lestarikan Rajungan dan Kepiting

Profil PNS Inspiratif 2018: Inovasi Eddy Nurcahyono Lestarikan Rajungan dan Kepiting
info gambar utama

Tingginya permintaan konsumsi rajungan dan kepiting di kalangan masyarakat membuat kedua biota air ini menipis ketersediaannya. Namun berkat inovasi yang dilakukan Eddy Nurcahyono, rajungan dan kepiting bisa tetap dilestarikan.

Bersama timnya, pria kelahiran Blitar yang bekerja sebagai Pengawas Perikanan Pertama Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara ini, mengubah pola pikir nelayan bahwa rajungan dan kepiting tidak hanya bisa ditangkap di alam, tapi juga dapat dibudidayakan di tambak.

Dalam mempraktekkan teknologi pembenihan rajungan dan kepiting bakau, Eddy membaginya ke beberapa tahapan.

Pertama yaitu menyiapkan pencucian dan sterilisasi sarana dan prasarana pembenihan. Kedua, seleksi dan pemeliharaan induk. Pada kegiatan ini faktor lingkungan dan nutrisi menentukan.

Lingkungan direkayasa dengan menggunakan sistem resirkulasi (RAS) atau flow throw dan nutrisi dengan uji coba beberapa pakan, sehingga diperoleh pakan yang sesuai seperti kerang dan cumi, dengan perbandingan 60:40 dengan dosis 10- 15 % dari berat induk. Pengamatan kesehatan induk dilakukan tiap hari.

Eddy Nurcahyono dan kegiatannya di tambak | Foto: Kementerian PANRB
info gambar

Ketiga, kultur pakan alami menggunakan plankton baik fitoplankton maupun zooplankton. Fitoplankton jenis chlorella dan zooplankton meliputi rotifera dan artemia.

Tahap keempat adalah pemeliharaan larva. Ada tiga tahapan larva yaitu zoea, megalopa dan crablet. Untuk zoea dipelihara dalam wadah volume kecil untuk memudahkan pengamatan karena rentan bakteri dan jamur, juga untuk penyediaan pakan alami yang tepat.

Kemudian Rotifera diberikan dengan kepadatan 15 ekor/ml dan Artemia 3 ekor/ml. Frekuensi pemberian pakan pada stadium zoea 6 kali sehari atau setiap 4 jam sekali dengan pemberian berselang antara rotifera, artemia dan pakan buatan.

Setelah 10 hari untuk rajungan dan 18 hari untuk kepiting bakau, larva akan berubah menjadi stadia megalopa. Pada tahap ini, media pemeliharaan harus lebih luas maka dipindahkan ke bak dengan volume yang lebih besar dan diberi shelter dari waring atau daun kelapa. Fungsi shelter sebagai tempat menempel untuk mengurangi kematian akibat kanibalisme.

Pakan yang diberikan Artemia dan pakan buatan dengan frekuensi 6 kali sehari, setelah 5-7 hari akan berubah menjadi stadia crablet dan pakan yang diberikan adalah pelet serta ikan rucah yang dihaluskan. Lalu setelah 10 hari, benih kepiting siap dibudidayakan di tambak atau untuk restocking.

Eddy Nurcahyono (kiri) bersama para petambak rajungan dan kepiting bakau | Foto: Kementerian PANRB
info gambar

Teknologi pembenihan tersebut membuat restocking benih untuk menambah populasi rajungan dan kepiting bakau di habitatnya semakin meningkat. Di samping itu, dengan keberhasilan pembenihan dan budidaya tersebut, pemangku kepentingan dapat belajar dari hal tersebut.

“Karena keberhasilan tersebut saya juga menjadi narasumber pada pelatihan teknis atau magang teknis dari masyarakat, pemangku kepentingan di dalam dan luar negeri,” ucap Eddy, yang mengawali kariernya di UPT Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Balai Budaya Air Payau (BBAP) di Takalar, Sulawesi Selatan.

Kegiatan penambahan stok populasi rajungan dan kepiting bakau dilakukan Eddy dan tim seperti restocking benih rajungan di pulau Panjang Galesong Takalar tahun 2005–2011, restocking benih rajungan 100 ribu ekor bersama APRI di teluk Laikang Takalar tahun 2011, restocking benih rajungan ke sejuta ekor di Makasar bersama Menteri KKP pada tahun 2013, dan restocking benih rajungan ke dua juta ekor di Pantai Boddia bersama Wakil Presiden RI pada tahun 2015.

Peningkatan hasil

Inovasi yang dilakukan Eddy langsung terlihat hasilnya. Pada 2016, dilakukan restocking benih rajungan 200 ribu ekor di Pulau Panjang Jepara Jawa Tengah, serta ribuan benih rajungan dan kepiting bakau di Semarang. Pada 2017, 100 ribu benih kepiting bakau dan 100 ribu benih rajungan disebar di perairan Jepara.

Selain itu, benih rajungan dan kepiting bakau ini disebar kembali sebagai restocking di wilayah-wilayah yang menjadi habitat kedua hewan tersebut. Sebagian bibit lainnya dibudidayakan di area tambak payau, sehingga dapat menjadi alternatif menarik bagi nelayan yang ingin membudidayakannya di area tambak.

Inovasi Eddy Nurcahyono di bidang tambak dapat menjaga kelestarian rajungan dan kepiting | Foto: Kementerian PANRB
info gambar

Dengan kata lain, sudah jutaan benih rajungan dan kepiting bakau yang lahir berkat kelihaian Eddy mengolah tambak. Namun keberhasilan ini tidak didapat berkat kerja keras Eddy seorang. Ia juga menjalin kerja sama dengan beberapa pihak.

Contohnya Koperasi Produsen Nelayan Kaltara Tarakan, Balikpapan dan Takalar Sulawesi Selatan. Asosiasi yang menjadi mitra adalah APRI dan Asosiasi Kepiting Soka Indonesia (AKSI) yang berpusat di Balikpapan, Kalimantan Timur.

Pembudidayaan rajungan dan kepiting bakau ini menjadi salah satu alternatif untuk terus memperoleh produksi meskipun pada musim kemarau di saat salinitas (kadar garam) tinggi.

Tak heran, dengan banyaknya pemangku kepentingan yang dapat dijangkau oleh hasil inovasi teknologi yang dikembangkan Eddy, ia pun pernah menyabet gelar sebagai pegawai teladan di lingkup Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya pada 2008.**

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini