Pemilu Jangan Ciptakan Perasaan "Kita atau Mereka"

Pemilu Jangan Ciptakan Perasaan "Kita atau Mereka"
info gambar utama

Pada November 2016, saya bersama dua peneliti dari FISIP Universitas Airlangga berada di Amerika Serikat melihat suasana Pilpres yang sedang berlangsung. Kami mengamati Pilpres mulai di West Coast (Pantai Barat) seperti Los Angeles (LA), California, San Fransico, Las Vegas, Beverly Hill, hingga ke East Coast (Pantai Timur) seperti Niagara, New York dan Washington DC.

Selama di LA kami bertemu dengan beberapa warga dan aktivis partai seperti dari Partai Republik dan Demokrat yang memberi kami perspektif menarik dan beragam tentang proses Pilpres AS. Perlu dipahami, pendapat orang di wilayah “mix” seperti di LA — karena masyarakatnya ada keturunan Asia, Hispanik, Timur Tengah, dan African American — tentu nanti berbeda dengan masyarakat AS di wilayah tengah dan utara.

Di LA banyak pendatang dari luar AS, sampai-sampai kita rasanya bukan di AS. Misalnya, di Bandara LA banyak petugasnya yang merupakan orang Filipina dan African American. Para penjaga toko di bandara diisi banyak pendatang dari Meksiko, Cile, Brasil, dan Tiongkok. Para sopir taksi pun berasal dari Iran, Brasil, Pakistan, atau Lebanon. Di konter imigrasi dan toko sering kali kami disapa dengan bahasa Tagalog karena dikira orang Filipina. Di sebuah outlet Pizza di pinggiran Kota LA, seorang sekuriti African American sambil bergurau mengatakan dengan suara keras, “White people are minority here”. Di San Fransisco, di pinggiran jembatan Golden Gate, saya disapa orang-orang Tionghoa Indonesia, bahkan dari kota asal saya Surabaya yang berjualan suvenir atau ayam goreng.

Dari masyarakat yang beragam itu, rata-rata mereka menyatakan bingung memilih dua calon presiden (capres): Donald Trump atau Hillary Clinton. Mereka menilai dua-duanya tidak pas menjadi presiden “negara terkuat” di dunia tersebut. Karena itu, jawaban mereka adalah “we are stuck in the middle”, kami terjepit di tengah-tengah. Karena calon satunya tidak cocok jadi presiden AS, demikian pula calon lainnya.

Seorang warga AS keturunan Brasil yang bermigrasi ke AS sejak 60 tahun lalu dengan mengangkat bahu mengatakan bahwa banyak pemilih di LA ini yang ragu siapa di belakang Trump dan Clinton. Jadi bukan fokus pada dua calon tersebut. Bayangkan bila orang-orang di belakang mereka itu adalah para pemilik modal perusahaan-perusahaan global, para politikus yang berpengaruh, serta para pemain penting di military industrial complex yang menjual peralatan militer ke seluruh dunia. Mereka ini hanya memikirkan rakyat yang berpenghasilan tinggi dan para pemilik modal yang memiliki segalanya. Saya tidak tahu apakah pikiran semacam itu berdasar penilaian secara saksama atau karena terpengaruh pendapat-pendapat berdasar teori konspirasi.

Masyarakat AS yang kami jumpai secara umum setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa pilpres AS saat ini terburuk sepanjang sejarah. Sebab, publik disuguhi perdebatan-perdebatan yang mengarah pada character assassination- pembunuhan karakter. Kedua calon presiden menyerang satu sama lain dengan menunjuk kelemahan karakter mereka. Seperti penghinaan terhadap perempuan yang dilakukan Trump dan kebohongan yang dilakukan Clinton tentang penggunaan e-mail berikut server pribadi untuk keperluan dinas. Karena itu beberapa orang mengatakan bahwa Pilpres saat itu adalah “Election of Two Evils”

Berbeda halnya dengan pilpres AS yang lalu-lalu. Kala itu rakyat disuguhi perdebatan yang intelek tentang isu-isu penting dalam negeri maupun luar negeri. Isu-isu seperti pajak, pendidikan, atau kesehatan ditampilkan dengan cara yang rasional di setiap perdebatan atau kampanye. Pemilih juga disodori sikap AS sebagai negara adidaya dalam menyelesaikan konflik global.

Hasilnya bisa kita lihat sampai sekarang, rakyat Amerika terbelah antara golongan etnis, sektarian, “Kita atau Mereka”.

Pelajaran yang bisa kita pelajari dari AS itu adalah demokrasi yang dalam hal ini lewat pemilihan presiden haruslah di praktikkan dengan matang, bersedia menerima perbedaan dari masing-masing pendukung calon presiden. Isu-isu yang ditampilkan juga haruslah tentang hal-hal yang substantif misalnya soal kesehatan, pendidikan, defisit neraca berjalan, hutang luar negeri, ketidak seimbangan pembangunaan antar wilayah/pulau, kemiskinan, sikap politik luar negeri, ekspor, UKM, industri kreatif, dan sebagainya.

Namun sampai saat ini kita di sini masih disuguhi oleh ujaran-ujaran kebencian, sisi jelek personal calon, Agama A melawan Agama B, ulama sungguhan melawan ulama tidak benar. Akibatnya masyarakat terbelah seperti di AS tadi yaitu antara “Kita” dan “Mereka”. Perasaan seperti itu menyebabkan timbul pemikiran “yang berbeda dengan kita bukan golongan kita”.

Padahal sejarah Indonesia menunjukkan sisi-sisi yang elegan dalam hal pemilihan umum; misalnya tahun 1955 di mana banyak argumentasi yang keras dari para politisi tentang bagaimana mengatur negara ini; namun mereka yang berbeda pendapat itu — apapun latar belakang mereka, suku atau agama — tetap bersahabat. Mereka menjadi contoh masyarakat bahwa mereka sanggup secara ikhlas menerima perbedaan, “Agree to Disagree” – Setuju untuk Tidak Sepakat.

Tokoh-tokoh agama juga tidak saling mencela satu sama lain, para politisi, tokoh masyarakat juga tidak menjelekkan persoalan personal/pribadi seseorang secara vulgar.

Jangan sampai Pilpres kali ini dianggap oleh rakyat – seperti yang terjadi di Amerika Serikat — sebagai Pilpres yang terjelek dalam sejarah.

Menyatukan bangsa Indonesia memerlukan upaya yang sungguh-sungguh dan tidak grusa-grusu, mengingat begitu kompleksnya masyarakat kita ini, berbeda latar belakang agama, suku, pendidikan, tingkat ekonominya, dan sebagainya.

Mengutip ucapan Ustadz kondang Abdul Shomad yang sering mengatakan antara lain “Mungkin kita berbeda dalam aqidah keagamaan, tapi kita tetap satu dalam kebangsaan”. Hal yang sama pernah diucapkan Kiai dari NU yang saya kenal akrab yaitu almarhum K.H. Hasyim Muzadi ketika di Pesantren Gontor menjelaskan bahwa NU dan Muhammadiyah mungkin berbeda penafsiran keagamaan, namun kedua organisasi besar itu satu dalam kebangsaan. Ucapan ini menunjukkan bahwa urusan kebangsaan adalah urusan kita bersama.

Piplres dan Pemilu 2019 ini tinggal hitungan hari, karena itu seluruh elemen bangsa harus sadar Pilpres dan Pemilu janganlah menghasilkan perasaan perpecahan negatif “Kita atau Mereka”. Karena toh kita sama-sama sebangsa dan setanah air. Sayang kalau kita pecah gara-gara perbedaan kepentingan politik jangka pendek. Kepentingan Indonesia lebih besar dari pada kepentingan sempit seperti itu.***

---

Penulis adalah alumnus Universitas Airlangga Surabaya dan University of London, Inggris. Staf Khusus Rektor Unair Bidang Internasional.

(Pendapat penulis dalam artikel ini Tidak mencerminkan kebijakan Institusi di mana dia bekerja)

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini