100 Tahun Tangkoko: Menelisik Perjalanan Panjang Konservasinya

100 Tahun Tangkoko: Menelisik Perjalanan Panjang Konservasinya
info gambar utama
  • Pemerintah Kota Bitung, Sulawesi Utara menggelar peringatan 100 Tahun Tangkoko pada 20 dan 21 Februari 2019
  • Pada perayaan tersebut, sejumlah lembaga konservasi di Sulut dan komunitas di kelurahan Batuputih, Bitung memamerkan aktivitas konservasinya di Tangkoko
  • Selama 100 tahun, kawasan Tangkoko mengalami perubahan status konservasi. Berawal pada 21 Februari 1919, Pemerintah Belanda menetapkan sebagai monumen alam sampai kawasan cagar alam pada 1978

Dalam perayaan 100 Tahun Tangkoko di Kota Bitung, sejumlah lembaga konservasi di Sulawesi Utara serta komunitas di kelurahan Batuputih, Bitung, mendirikan stand edukasi untuk menyampaikan kondisi hutan Tangkoko serta alasan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam menjaga lingkungan.

Meski dikategorikan sebagai kawasan dengan tingkat keragaman hayati yang tinggi, namun sejumlah satwa di hutan Tangkoko dinyatakan punah atau terancam punah. Berdasarkan sejumlah riset, yaki (Macaca nigra) dalam 40 tahun terakhir populasinya menurun 80%. Maleo dan anoa semakin sulit dijumpai. Bahkan, babi rusa dinyatakan punah di Tangkoko.

Di salah satu stand, komunitas bernama Tukang Foto Orang Batuputih (T-FOB) memajang hasil karya anggotanya. Mereka memamerkan foto berbagai jenis satwa yang semuanya didokumentasikan di hutan Tangkoko.

Komunitas yang dibentuk pada tahun 2017 ini, baru pertama kali memamerkan karya mereka pada masyarakat. Meski demikian, beberapa anggota komunitas foto pernah memperoleh penghargaan di tingkat nasional.

“Ada juga anggota yang pernah dapat penghargaan, masuk 10 besar lomba foto Kemeneterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” terang Alfred Masala, anggota T-FOB kepada Mongabay, Rabu (20/2/2019).

 Alfred Masala, anggota Tukang Foto Orang Batuputih (T-FOB) di standnya yang memajang berbagai karya foto dari Cagar Alam Tangkoko dalam rangkaian acara perayaan 100 tahun Tangkoko | Foto: Themmy Doaly/Mongabay Indonesia
info gambar

Kata dia, rata-rata anggota bahkan telah mengetahui nama ilmiah satwa liar yang mereka foto. Sebab, selain pehobi foto, sebagian besar di antara mereka berprofesi sebagai pemandu wisata. Aktivitas itu memungkinkan mereka untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari wisatawan.

“Kami berbagi pengetahuan tiap kali hunting bersama. Kemudian, karena sebagian anggota adalah guide, pengetahuan juga didapat dari tamu,” masih dikatakan Alfred.

Melalui pameran foto di perayaan 100 tahun Tangkoko, mereka ingin menunjukkan satwa-satwa endemik yang perlu dijaga. Diharapkan pula, semakin banyak masyarakat yang peduli hutan. “Masyarakat yang singgah di stand terkejut melihat hewan-hewan yang difoto di tangkoko,” ujarnya.

Di stand lain, Pusat Penyelamat Satwa Tasikoki (PPST), mengedukasi pengunjung lewat buku, gambar dan replika satwa liar. Lewat tampilan itu, mereka coba menarik minat pengunjung lalu menyampaikan pesan-pesan yang ditujukan untuk mengubah perilaku.

“Replika ditampilkan supaya hewan liar yang dilindungi tersebut diketahui bahwa bukan cuma ketika hidup mereka dilindungi, tapi juga ketika sudah jadi kerangka, telur ataupun gadingnya juga dilindungi,” terang Windi Liani, staf edukasi PPST.

“Semoga lewat peringatan 100 tahun Tangkoko ini, orang-orang bisa teredukasi untuk tidak memelihara, mengkonsumsi apalagi memperjualbelikan satwa dilindungi,” tambahnya.

Billy Gustavianto dari PPST dan Stephan Lentey dari MNP dalam talkshow perayaan 100 tahun Tangkoko | Foto: Themmy Doaly/Mongabay Indonesia
info gambar

Macaca Nigra Project (MNP), lembaga yang fokus melakukan penelitian yaki di Tangkoko sejak 2006, menampilkan sampel laboratorium serta jerat satwa liar yang mereka temukan. Dari pameran itu, mereka ingin menunjukkan bahwa praktik perburuan masih terjadi di kawasan konservasi.

Stephan Lentey, Field Station Manager MNP mengatakan, meski jumlah jerat yang mereka temukan menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya, namun data jerat yang mereka temukan di kawasan konservasi masih terbilang banyak.

“Luas wilayah penelitian kami mungkin kurang dari 1000 hektar. Sementara, luas KPHK Tangkoko 8800 hektar. Hanya sebagian kecil, tapi jumlah jeratnya banyak. Pun itu di wilayah Batuputih yang termasuk tempat favorit wisatawan lokal maupun mancanegara.”

“Walau menurun, tapi kami tetap harus banyak bekerja. Mengubah pemahaman dan perilaku warga tidak semudah membalik telapak tangan. Ada proses pendidikan, pengetahuan dan tingkat praktis yang harus diubah,” kata Stephan.

Replika satwa liar di stand PPST pada acara perayaan 100 tahun Tangkoko | Foto: Themmy Doaly/Mongabay Indonesia
info gambar

Di stand yang sama, Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT), mengajak pengunjung yang umumnya anak-anak untuk bermain sambil belajar. Mereka diajak belajar mengenai penyu lewat permainan yang mirip ular tangga. Tim PKT berharap, melalui permainan itu, anak-anak bisa membagikan pengetahuan pada orang tua masing-masing.

“Lewat permainan ini anak-anak belajar mengenai penyu dan ancaman terhadap spesies ini. Semoga, anak-anak bisa lebih memahami dan menjaga lingkungan. Mereka juga bisa membagikan pengetahuan pada orangtua masing-masing,” ujar Siti Rachhmi Harimisa, Relawan PKT.

Sementara, Yayasan Selamatkan Yaki mendukung peringatan itu melalui inagurasi murid-murid sekolah lingkungan. Kegiatan tersebut berlangsung tiap akhir pekan, dalam kurun 3 minggu belakangan. Peserta belajar adalah 20 murid dari sekolah-sekolah di sekitar Bitung.

“Hari ini kelulusannya. Sekolah lingkungan ini akan berkelanjutan dan bisa membantu konservasi di Tangkoko. Kalau ke depannya anak-anak itu ingin terlibat dalam konservasi, sudah terbiasa dari sekarang,” kata Prisilia, staf edukasi Yayasan Selamatkan Yaki.

Jerat yang ditemukan tim MNP di kawasan konservasi yang dipamerkan pada stand acara peringatan 100 tahun Tangkoko | Foto: Themmy Doaly/Mongabay Indonesia
info gambar

Perubahan Status

Dalam 100 tahun, terdapat berulang kali perubahan status kawasan hutan Tangkoko. 21 Februari 1919, lewat Besluit Van Gouverneur Nederlands IndieGB.No.5.Stbl.90, Pemerintah Belanda menetapkan kawasan hutan Tangkoko sebagai monumen alam, luasnya 4.442 hektar.

Pontonuwu dalam “Analisis Pengembangan Ekowisata di Kawasan Suaka Alam: Studi Kasus Cagar Alam Tangkoko-Duasudara Sulawesi Utara” menyebut, pada tahun 1942, The Nature Protection Ordinance menetapkan Tangkoko sebagai Cagar Alam. Kemudian, SK Mentan nomor 700 tahun 1978 menetapkan CA Duasaudara dengan luas 4.299 hektar.

Tahun 1981, kawasan CA Tangkoko-Batuangus yang dianggap tidak lagi alami, ditetapkan sebagai TWA Batuputih (615 hektar) dan TWA Batuangus (635 hektar).

Selanjutnya, SK Menteri Kehutanan nomor 1826 tahun 2014 memutuskan penetapan kawasan hutan pada kelompok hutan Duasudara, seluas 8.545,07 hektar. Luas TWA Batuputih dan TWA Batuangus bertambah. Namun, CA Tangkoko dilebur dalam CA Duasaudara, dengan luas 7.247,46 hektar.

Pada tahun 2016, SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Tangkoko, yang meliputi CA Duasudara, TWA Batuputih dan TWA Batuangus.

Sepasang Julang Sulawesi di hutan Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara | Foto: Rhett A. Butler
info gambar

Dileburnya nama Tangkoko ke dalam Cagar Alam Duasudara sempat mengejutkan berbagai pihak. Meski demikian, Saroyo Sumarto, Primatolog Sulut menilai, tidak ada dampak signifikan dari perubahan nama tersebut.

“Sebenarnya tidak ada dampak (perubahan nama). Pengelolaannya tetap saja sebagai kawasan konservasi,” jelasnya ketika dijumpai Mongabay-Indonesia, Selasa (19/2/2019).

Saroyo menerangkan, KPHK hanya menunjukkan kesatuan pengelolaan. Di dalamnya tetap terdapat Cagar Alam dan Taman Wisata Alam. Hanya, yang disayangkan, peleburan Tangkoko ke dalam CA Duasudara.

“Saya lebih senang digabung karena memang batasnya tidak ada. Tapi, kami semua kaget, nama Cagar Alamnya jadi Duasudara walaupun KPHK menggunakan nama Tangkoko. Sebab, Cagar Alam Tangkoko itulah yang punya latarsejarah yang jelas. Kita dikenal dunia juga karena Tangkoko, bukan Duasudara,” pungkas Saroyo.


Sumber: Ditulis oleh Themmy Doaly dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini