Kisah Mempertemukan Bayi Duyung dengan Induknya di Raja Ampat

Kisah Mempertemukan Bayi Duyung dengan Induknya di Raja Ampat
info gambar utama
  • Seekor bayi duyung (Dugong dugon) ditemukan terpisah dari induknya di pesisir pantai dekat Kampung Yenbuba, Distrik Miosmansar, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, pada Selasa (26/3/2019).
  • Bayi duyung itu kemudian diselamatkan dan dirawat sementara di Soredo Resort di Pulau Kri, Raja Ampat, sambil mencari induk dugongnya untuk dipertemukan kembali. Karena bayi duyung sangat bergantung dengan induknya sehingga harus dipertemukan kembali dan sangat jarang sekali bayi duyung bisa hidup dipelihara dalam penangkaran.
  • Selama dirawat sementara, bayi duyung berkelamin jantan, berat 30 kg dan diperkirakan berusia 3 bulan ini hanya bisa diberi makanan berupa susu formula rendah laktosa setiap 3 jam sekali oleh tim penanganan yang dipimpin oleh drh. Hidayatun Nisa dari tim flying vet
  • Setelah dirawat selama 7 hari dari Selasa (26/3/2019), bayi duyung itu akhirnya dilepasliarkan di perairan Pulau Gam, Raja Ampat pada Senin (1/4/2019). Apakah bayi duyung itu berhasil bertemu dengan induknya kembali?

Seekor bayi duyung (Dugong dugon) ditemukan terpisah dari induknya di pesisir pantai dekat Kampung Yenbuba, Distrik Miosmansar, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, pada Selasa (26/3/2019).

Max Ammer, pemilik Papua Diving Resort dan Soredo Resort, Raja Ampat, mengatakan dirinya mendapatkan informasi bayi duyung terdampar itu dari beberapa tamunya yang menginap di Lumba-lumba Homestay dekat lokasi penemuan tersebut.

Max dan stafnya kemudian mendatangi lokasi tersebut dan menemukan bayi duyung tersebut. “Karena kita dengar ada luka di bagian kepala (bayi duyung), kami mencoba mengobati lukanya dan membawa dugong tersebut untuk dirawat,” kata Max yang dihubungi Mongabay-Indonesia pada Senin (1/4/2019).

Bayi dugong itu kemudian dibawa ke Soredo Resort di Pulau Kri, Raja Ampat untuk dirawat sementara. Max kemudian mencari informasi dan bantuan untuk merawat bayi duyung itu ke rekan-rekannya, salah satunya teman di Australia yang menyatakan bayi duyung itu harus dikembalikan ke induknya.

Seekor bayi duyung (Dugong dugon) dirawat di di Soredo Resort di Pulau Kri, Raja Ampat. Seekor bayi duyung (Dugong dugon) ditemukan terpisah dari induknya di pesisir pantai dekat Kampung Yenbuba, Distrik Miosmansar, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, pada Selasa (26/3/2019) | Foto: Joko/BKKPN Kupang/Mongabay Indonesia
info gambar

Informasi bayi duyung itu kemudian didengar oleh berbagai pihak, termasuk Asosiasi Dokter Hewan Megafauna Akuatik Indonesia atau biasa disebut dengan Flying Vet, yaitu drh. Hidayatun Nisa.

Ana –panggilan akrab drh. Hidayatun Nisa–yang berdomisili di Sorong mendapat kabar tentang bayi duyung pada Selasa malam, namun karena keterbatasan transportasi untuk dapat ke lokasi pada malam hari.

Selain itu, karena keterbatasan perlengkapan obat-obatan serta susu yang cocok buat bayi duyung maka Ana segera berkoordinasi dengan tim Flying Vet lainnya di Bali untuk dapat segera dikirimkan beberapa perlengkapan dan dengan bantuan multipihak terutama BKIPM Bali maka susu dan obat-obatan dapat terkirim ke Sorong dalam waktu satu hari melalui cargo Garuda.

Setelah itu dokter Ana segera ke lokasi dan sampai di Soredo Resort, Pulau Kri pada Kamis (28/3/2019) untuk melakukan pemeriksaan medik veteriner dan secara umun kondisi fisik bayi duyung dalam keadaan baik, meski ada luka sedikit.

Ana, yang dihubungi Mongabay-Indonesia pada Minggu (31/3/2019) mengatakan bayi duyung berkelamin jantan dengan panjang 113 cm, berat 30 kg dan diperkirakan berusia 3 bulan itu ditempatkan di bak penampungan dengan mesin aerasi untuk sirkulasi udara dalam air.

Dia bersama dengan Heike Vester, ilmuwan mamalia laut dari Ocean Sound Jerman yang kebetulan berada di Soredo Resort dan sebelumnya telah merawat satwa malang itu kemudian melanjutkan merawat dan memberi asupan nutrisi berupa susu rendah laktosa dan beberapa vitamin yang dikirim oleh tim flying vet dari Bali pada bayi duyung itu.

Bayi duyung itu diberi nutrisi berupa susu formula rendah laktosa sebanyak 200 ml setiap 3 jam untuk mengembalikan kondisi fisiknya. Ana menjelaskan bayi dugong itu hanya bisa diberi makan susu rendah laktosa, karena bila diberi susu biasa atau susu campuran makanan akan mudah mengalami kembung (bloat) yang bisa mengakibatkan kematian.

Seekor bayi duyung (Dugong dugon) yang dirawat di di Soredo Resort di Pulau Kri, Raja Ampat | Foto: Joko/BKKPN Kupang/Mongabay Indonesia
info gambar

Penanganan Terpadu

Andi Rusadi Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKHL PRL KKP) mengatakan pihaknya langsung menuju ke lokasi pada Kamis (28/3/2019) dari Jakarta ketika mengetahui adanya bayi duyung tertangkap di Raja Ampat.

Sesampainya di kantor Papua Diving Resort, Raja Ampat, Jumat (29/3/2019) sore, Andi mengadakan rapat penanganan bayi duyung bersama Kepala BKKPN (Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional) Ikram Sangadji, dan tim BKKPN Kupang wilker Raja Ampat, Loka Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (LPSPL) Sorong satker Raja Ampat, BKSDA Raja Ampat, Kapolres Raja Ampat AKBP Edy Erning, drh. Hidayatun Nisa dan Max Ammer.

“Keputusan rapat, ada tahapan pelepasliaran. Bayi duyung tidak bisa langsung dilepasliarkan karena butuh adaptasi dan kondisi fisiknya harus kuat dulu. Informasi dari para peneliti dugong mengatakan bayi (yang terpisah dengan induknya) sangat jarang bisa survive. Mungkin hanya 0,001 persen yang bisa survive. Sehingga kita harus hati-hati,” kata Andi yang dihubungi Mongabay-Indonesia pada Senin (1/4/2019).

Seekor bayi duyung (Dugong dugon) dirawat di di Soredo Resort di Pulau Kri, Raja Ampat. Bayi itu hanya bisa diberi susu formula rendah laktosa untuk menghindari kembung perut | Foto: Joko/BKKPN Kupang/Mongabay Indonesia
info gambar

Proses perawatan bayi dugong itu, lanjut Andi, juga menjadi pembelajaran semua pihak. Drh. Ana melatih kepada tim dari BKKPN Kupang, Loka PSPL Sorong dan relawan dari Papua Diving Resort, bagaimana merawat dan memberi susu pada bayi dugong itu.

“Upaya petugas merawat bayi duyung itu lumayan berat. Dipantau 24 jam oleh relawan dari Papua Diving Resort, tapi tim KKP (tim BKKPN Kupang wilker Raja Ampat) di Waisei, Raja Ampat juga datang mengontrol. Kita minta drh. Ana untuk standby disitu,” katanya.

Ketika fisik bayi duyung sudah kuat, tahapan selanjutnya adalah mempertemukan dengan induknya. Oleh karena itu, tim penanganan memasang shelter net (jaring keramba) bagi bayi duyung untuk diketemukan oleh induknya di perairan Pulau Gam, sekitar 6 km dari Soledo Resort.

Perairan Pulau Gam dipilih sebagai pelepasliaran bayi duyung karena merupakan habitat duyung dimana terdapat padang lamun, makanan para duyung.

“Perairan Pulau Gam itu habitat duyung. Pemantauan terakhir diketemukan satu kelompok duyung berjumlah 12 ekor. Ini fantastis. Jarang-jarang ada duyung sebanyak itu dalam satu kelompok. Raja ampat memang kaya dengan duyung,” tambah Andi.

Distribusi duyung di pulau Kri dan gugusan pulau-pulau kecil di perairan Raja Ampat mencapai 18 – 20 ekor setahun.

Jaring keramba dipakai dalam pelepasliaran, untuk menjaga bayi duyung dari pemangsanya seperti hiu dan agar induk dugong dapat mengetahui bayinya karena duyung berinteraksi melalui suara. Atau ada induk duyung lain yang mendekat dan bisa jadi induk adopsi bayi duyung itu.

Mencari Induknya

Juraij Bawazier, dari Yayasan Lamun Indonesia (Lamina) yang intens menangani masalah duyung mengatakan bayi duyung masih sangat tergantung dengan induknya, sehingga bila terpisah, harus segera dipertemukan lagi dengan induknya.

“Belajar dari pengalaman Helena Marsh bahwa keberhasilan perawatan bayi duyung sangat kecil. Padahal Australia punya akuarium dengan banyak duyung. Dia (Helena) bilang susah menangani bayi duyung (tanpa induknya), kecenderungan gagalnya tinggi,” kata Juraij yang dihubungi Mongabay-Indonesia, Minggu (31/3/2019).

Professor Helene Marsh merupakan ilmuwan zoologi dan ekologi dari Universitas James Cook di Queensland, Australia yang ahli tentang dugong, sehingga dia dijuluki ibu duyung.

Juraij menceritakan dia pernah menangani anakan duyung yang terpisah dengan induknya di perairan Nusa Dua, Bali pada 2016. “Anakan itu terdampar, terpisah dari induknya, kemudian merapat ke pinggir dan diselamatkan oleh nelayan yang kemudian merawatnya. Selama anakan dirawat dan dipulihkan, saya bersama tim mencari induknya di seputaran perairan Bali selatan. Tapi belum sempat ketemu induknya, anakan dugong itu mati,” katanya sedih.

Sedangkan kawanan duyung di Raja Ampat, lanjutnya, memang masih ada dan termasuk liar. Sehingga upaya mempertemukan bayi dugong itu harus dilakukan dengan hati-hati dan senyap. “Kalau duyung liar kita cari menggunakan kapal, maka kawanan dugong akan pergi mendengar suara mesin kapal dari jarak 500 – 1000 meter,” jelas Juraij yang aktif pada program DSCP (Dugong and Seagrass Conservation Project) Indonesia

Dia menyarankan sebelum bayi duyung dilepasliarkan, dipetakan dahulu daerah-daerah disekitar Pulau Kri yang sering ditemukan duyung secara visual, baik menggunakan kapal maupun drone. Penggunaan drone akan lebih efisien karena tidak berisik dan tidak menggunakan bahan bakar minyak bila menggunakan kapal dan jangkauan pantuan lebih luas.

drh. Hidayatun Nisa dari tim flying vet melatih relawan untuk merawat bayi dugong Soredo Resort di Pulau Kri, Raja Ampat, Papua | Foto: Hidayatun Nisa/tim flying vet/Mongabay Indonesia
info gambar

Senada dengan Juraij, Dwi Suprapti, Koordinator Nasional Konservasi Spesies Laut WWF-Indonesia mengatakan bayi duyung itu harus dipertemukan dengan induknya, mengingat setidaknya 8 kali sehari bayi duyung memerlukan asupan susu induknya.

Salah satu metode pencarian dapat menggunakan drone terutama pada saat air pasang karena induknya akan berusaha mendekati pantai untuk mencari anaknya, namun kelemahannya jika air pasang pada malam hari maka akan sulit terpantau dengan drone.

“Kalau induk tidak ditemukan dalam jangka waktu 1 minggu, maka opsi kedua dapat dicoba dengan mencari induk adopsi yaitu duyung yang punya anak. Bayi itu didekatkan dan diperkenalkan ke induk dugong agar mau diadopsi” kata Dwi yang dihubungi Mongabay-Indonesia, Selasa (2/4/2019).

Jika opsi kedua tidak ditemukan, maka opsi ketiga perlu dibuatkan jaring keramba atau kandang laut (Seapen) agar induknya yang mencari bisa bertemu bayinya. “Tapi sebelum bertemu induknya selama bayi Dugong di Seapen harus ada pengasuhnya yang rutin memberikan susu dan vitamin. Tetapi kelemahannya, siapa yang akan menunggui bayi dalam jaring keramba itu di laut? Kami sedang upayakan untuk mencari relawan dan sudah ada 2 orang yang mendaftarkan diri,” kata Dwi yang merupakan supervisor tim Flying Vet -Asosiasi Dokter Hewan Megafauna Akuatik Indonesia.

Opsi keempat jika semua usaha itu tidak berhasil, lanjutnya, maka bayi dugong perlu di evakuasi ke lembaga konservasi atau Aquaria. “Meski jauh dan keluar dari habitat aslinya, tapi setidaknya bayi dugong mendapat perawatan dan perhatian intensif dari dokter hewan di Aquaria serta dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu pengetahuan baik bagi dokter hewan, peneliti maupun pengunjung. Mereka (lembaga konservasi) juga memiliki kolam yang memadai. Dan bisa untuk sarana edukasi,” tambah Dwi.

“Namun apabila keempat opsi tersebut dengan berbagai pertimbangan tidak dapat dilakukan maka opsi terakhir jika memang ‘terpaksa’ harus dilepaskan, maka bayi duyung dapat dilepaskan dengan persyaratan dalam kondisi sehat, aktif dan dilepaskan dilokasi yang aman dan peluang tinggi bertemu induknya atau keberadaan duyung lainnya, serta dilengkapi dengan pemasangan satelit tag (satelitte telemetry) pada tubuhnya agar terpantau pergerakannya guna mengetahui apakah bayi duyung tersebut dapat survive, jika menunjukkan tanda-tanda pergerakannya lemah maka dapat segera dipantau ke lokasi tersebut, namun jikapun mati maka dapat diketahui seberapa lama bayi duyung dapat bertahan sendirian tanpa induknya, artinya dengan satelit tag ini meskipun dilepaskan tetap dapat memberikan ilmu pengetahuan baru, agar dapat menjadi bahan pembelajaran untuk penanganan selanjutnya apabila terjadi hal serupa”, ungkap Dwi dengan nada sedih memikirkan nasib bayi duyung ini.

Ilustrasi. Pelepasliaran seekor duyung yang sebelumnya terjaring (bycatch) nelayan di perairan Tatapaan, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, pada Rabu (6/6/2018) | Foto: Balai TN Bunaken/Mongabay Indonesia
info gambar

Akhirnya Dilepasliarkan

Setelah dirawat selama 7 hari dari Selasa (26/3/2019), bayi duyung itu akhirnya dilepasliarkan di Pulau Gam, Raja Ampat pada Senin (1/4/2019) siang sekitar pukul 15.00 WITA.

Pelepasliaran dilakukan tim yang terdiri dari unit kerja Ditjen PRL KKP yaitu dari BKKPN Kupang dan LPSPL Sorong, relawan Papua Diving Resort, dan Polres Raja Ampat.

“Bayi duyung kita lepaskan siang ini sekitar jam 15.00. Dilepaskan di perairan Pulau Gam. Setelah dipantau dengan drone, perairan itu terlihat banyak duyung dengan anakan,” kata Max Ammer, yang dihubungi Mongabay-Indonesia pada Senin (1/4/2019).

Max mengatakan bayi duyung itu terpaksa dilepasliarkan meski belum diketemukan induknya karena sudah terlalu lama dirawat di resortnya. “Kita sudah coba bersama untuk merawatnya bersama dokter hewan. Ini (melepasliarkan bayi duyung) keputusan yang cukup berat. Lebih baik kita coba lepas duyung itu di perairan,” katanya.

 Setelah dirawat selama 7 hari dari Selasa (26/3/2019), bayi dugong itu akhirnya dilepasliarkan di luar jaring keramba di Pulau Gam, Raja Ampat, Papua Barat, pada Senin (1/4/2019) | Foto: BKKPN Kupang/Mongabay Indonesia
info gambar

Sedangkan Ikram Sangadji, Kepala BKKPN Kupang, mengatakan bayi duyung itu dilepasliarkan setelah proses aklimatisasi satu hari pada jaring keramba (shelter net).

“Aklimatisasi di shelter net hanya 1 hari dan menarik kehadiran induk dugong dan setelah teramati, besoknya langsung dilepaskan ke laut di sekitar induknya,” kata Ikram yang dihubungi Mongabay-Indonesia pada Selasa (2/4/2019).

Bayi duyung itu kemungkinan diadopsi oleh induk duyung lainnya. “Setelah dipindahkan ke shelter net, terpantau pergerakan seekor induk dan anak duyung pada jarak 2 km bergerak ke arah shelter net dan berhenti sekitar 850 meter karena ada pergerakan kapal,” terangnya.

Selanjutnya BKKPN Kupang melalui tim wilker Raja Ampat terus melakukan monitoring terhadap bayi duyung itu sekaligus monitoring rutin pemanfaatan kawasan dan patroli pengendalian aktivitas destructive fishing, serta jenis ikan dilindungi. “Kalau ada sesuatu akan terpantau dan kita punya jejaring informasi yang cepat memberikan respon dari lapangan,” lanjutnya.

KKP, lanjut Ikram, mengapresiasi kepada tim respon cepat dan masyarakat yang telah bresama-sama menyelamatkan bayi duyung yang terdampar dan berhasil dilepasliarkan dalam kondisi hidup. Hal itu merupakan bukti komitmen konservasi dan pelestarian laut yang dilindungi.


Sumber: Ditulis oleh Jay Fajar dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini