Ketika Teluk Saleh, Moyo, dan Tambora Jadi Cagar Biosfer Dunia

Ketika Teluk Saleh, Moyo, dan Tambora Jadi Cagar Biosfer Dunia
info gambar utama

Teluk Saleh, Moyo, dan Tambora (Samota), ini ditetapkan sebagai Cagar Biosfer oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 19 Juni 2019 di Paris, Prancis.

Penetapan sebagai cagar biosfer dalam The 31st session of the Man and the Biosphere (MAB) Programme International Coordinating Council itu jadi kado indah bagi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pemerintah NTB pun menekankan, pembangunan wilayah berwawasan lingkungan harus jadi pegangan semua pihak.

Samota membentang dari Sumbawa hingga Dompu, luas mencapai 680.725 hektar, dengan perairan 212.300 hektar. Di sepanjang kawasan itu bertebaran 49 pulau kecil (gili), 36 di Sumbawa, tepatnya di Teluk Saleh, 13 di Dompu.

Ada 52 desa di lingkar Samota. Dengan penetapan ini, NTB memiliki dua cagar biosfer. Gunung Rinjani, sudah jadi cagar biosfer tahun sebelumnya.

Dalam pertemuan di Paris itu, hadir Wakil Gubernur NTB Sitti Rohmi Djalilah, Bupati Bima Indah Dhamayanti Putri, dan Bupati Dompu Bambang M Yasin.

Dengan penetapan sebagai cagar biosfer ini mendorong pemerintah daerah menjalankan program pembangunan berkelanjutan.

“Kita memiliki tugas besar untuk menjaga, mengelola dan mengembangkan cagar biosfer ini agar predikat yang telah kita terima di pertemuan ini tak hanya di atas kertas,” kata Rohmi dalam keterangan tertulis.

Dia bilang, penetapan Samota sebagai cagar biosfer jadi babak baru pengembangan kawasan ini. Dukungan banyak pihak, katanya, diperlukan, mulai dari masyarakat, pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota di NTB, dan pihak-pihak terkait lain.

“Kita berharap, semua pihak bisa mendorong cagar biosfer bisa dipertahankan, sembari terus membangun dan mengembangkan.”

Perahu nelayan pemburu tuna di Pulau Medang, Kabupaten Sumbawa. Pulai ini satu kawasan dengan Pulau Moyo. Tuna dan kerapu adalah jenis ikan banyak di Teluk Saleh | Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia
info gambar

Pembangunan berwawasan lingkungan

Rohmi bilang, konsep pembangunan berwawasan lingkungan harus jadi pegangan bagi semua pihak. Pembangunan merusak alam, pada giliran hanya akan melahirkan kerusakan. Upaya menjaga pembangunan tetap dalam koridor berwawasan lingkungan, katanya, perlu upaya bersama.

“Selaku pemerintah NTB berharap, cagar biosfer Samota akan mendatangkan manfaat untuk konservasi sumber daya alam dan pembangunan kesejahteraan sosial dan ekonomi, dengan mengacu prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan,” katanya.

Sebagai biosfer dunia, kata Rohmi, akan membuka pintu kerja sama antarpengelola biosfer seluruh dunia untuk penelitian ilmiah, pemantauan global, dan pelatihan pakar dari seluruh dunia.

“Para pengelola biosfer Rinjani dan Samota nanti bisa berbagi pengetahuan dan kerjasama penelitian dengan para peneliti dan pengelola biosfer dari seluruh dunia,” kata Rohmi.

Dia menegaskan, komitmen Pemerintah NTB dalam mengalokasikan 30% kawasan untuk area konservasi. Termasuk, di sana, Taman Nasional Gunung Tambora, Taman Wisata Alam Laut Pulau Moyo, Kawasan Perburuan Pulau Moyo, Taman Wisata Laut Pulau Satonda, Kawasan Perairan Liang, dan Pulau Ngali. Wilayah itu, berada dalam kawasan Samota.

Dia berharap, selain memberi manfaat terhadap keberlangsungan sumber daya hayati, penetapan Samota sebagai biosfer dunia bisa memberi dampak bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat NTB.

Pada akhir Agustus sampai awal September tahun ini, Taman Nasional Gunung Rinjani akan jadi tuan rumah Asia Pasific Geopark Network di Geopark Rinjani. Pada 2020, Rinjani dan Samota akan menjadi tuan rumah 13rd South East Biosphere Reserve Network.

“Akan banyak tamu dari seluruh dunia datang. Semoga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan pariwisata NTB untuk kesejahteraan masyarakat,” kata Rohmi.

Najamuddin Amy, Kepala Biro Humas dan Protokoler NTB yang ikut mendampingi wakil gubernur mengatakan, Samota layak menjadi cagar biosfer. Samota berada di antara bukit dan pegunungan dengan berbagai flora dan fauna dilindungi. Samota juga tempat Gunung Tambora.

Deklarasi Samota jadi cagar biosfer, harapan dia bisa mempercepat pemerintah daerah mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainability development goals/SDGs) di daerah masing-masing.

Samota, juga akan memberikan kontribusi mewujudkan cita-cita konvensi keragaman hayati dan jadi media kerja sama antarpengelola cagar biosfer di seluruh dunia. Hal ini, katanya, bisa sebagai penelitian ilmiah, pemantauan global dan pelatihan pakar dari seluruh dunia.

Di Indonesia, beberapa wilayah sudah jadi cagar biosfer, seperti Gunung Leuser, Pulau Siberut, Lore Lindu, Pulau Komodo, Gunung Gede Pangrango, Tanjung Puting, dan Giam Siak.

Juga Taman Laut Wakatobi, Bromo-Semeru-Tengger-Arjuno, Taka Bonerate, Blambangan, Berbak Sembilang, Betung Kerihun Danau Sentarum Kapuas Hulu, Rinjani, Lore Rindu dan Samota.

Peta cagar biosfer Samota. Ia meliputi tiga kabupaten,yaitu Kabupaten Sumbawa, Dompu, dan Bima | Foto: Dinas LHK Provinsi NTB/Mongabay Indonesia
info gambar

Potensi berlimpah

Dari kajian yang pernah Pemerintah NTB dan pusat lakukan, potensi Samota mencapai Rp 11,608 triliun, . Besarnya potensi ini membuat pemerintah pusat, pemerintah pusat, dan pemerintah kabupaten menggenjot pembangunan Samota sejak 2015.

Nama Samota ini sendiri dikenalkan pada era kepemimpinan Gubernur NTB, TGB HM Zainul Majdi dan Wakil Gubernur Badrul Munir pada 2008-2013.

Periode Gubernur NTB TGB HM Zainul Majdi dan Wakil Gubernur HM Amin Samota mulai direalisasikan sebagai mimpi jangka panjang sebuah kawasan elite.

Pemerintah Sumbawa yang menguasai Teluk Saleh, dan Moyo mengembangkan infrastruktur pendukung. Pemerintah Sumbawa juga membangun akses jalan cepat (bypass) sepanjang 24 km di Tanjung Menangis. Kini, jembatan raksasa di jalur itu sudah rampung dengan nama jembatan Samota.

Selain bypass itu, pemerintah meningkatkan kualitas jalan di kawasan Samota. Panjang jalan itu 216 km dengan dana Rp1,8 triliun lebih. Salah satu pintu masuk ke Teluk Saleh, sekaligus Moyo adalah Aibari, desa nelayan di ujung utara Sumbawa. Akses jalan ke Aibari kini sudah dipermak. Dulun, jalan penuh debu dan lumpur, kini sudah beraspal.

Untuk pembangunan pelabuhan Aibari dan Calabai (Dompu), pemerintah menganggarkan Rp250 miliar. Dana itu bersumber dari Kementerian Perhubungan dan Dinas Perhubungan.

Dalam master plan pengembangan kawasan Samota, pemerintah menghitung kebutuhan dana Rp5 triliun lebih. Dengan dana sebesar itu, potensi Samota tak kalah fantastis dengan anggaran Rp11,608 triliun.

Buat sektor perikanan dan kelautan, potensi Samota seperti, rumput laut Rp3,6 triliun, udang Rp5,16 triliun, ikan kerapu Rp 2,8 trilun dan perikanan tangkap Rp 48 miliar. Rumput laut sudah lama jadi primadona melalui program Pijar (sapi, jagung, rumput laut).

Selama ini, katanya, kendala pengembangan rumput laut di NTB adalah pascapanen. Ketersediaan lantai jemur terbatas dan belum standar membuat mutu rumput laut petani rumput laut menurun. Petani rumput laut juga masih tergantung pada pengepul.

Pembangunan pabrik pengolahan dan penyediaan lantai jemur adalah kenicayaan. Untuk lantai jemur 54 unit perlu dana Rp10 miliar. Begitu juga pabrik pengolahan, perlu dana Rp25 miliar.

Dia berharap, dana pembangunan pabrik itu bersumber dari BUMN dan swasta.

Guna mendorong sektor perikanan di Samota, tak bisa setengah hati. Pemerintah harus menyediakan infrastruktur pendukung. Potensi Rp 11 triliun hanya mimpi kalau infrastruktur tak memadai.

Untuk pengembangan sektor perikanan, pemerintah akan membangun pelabuhan perikanan di Teluk Santong. Dana untuk pembangunan pelabuhan perikanan ini Rp150 miliar.

Dana bersumber dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, BUMN, Perhubungan dan Pekerjaan Umum Pembangunan kawasan pelabuhan perikanan ini harus dikeroyok.

Pelabuhan perikanan juga akan didukung oleh tempat pelelangan ikan (TPI). Dana untuk pembangunan TPI Rp20 miliar. Sektor budidaya jadi ujung tombak perikanan di Sumbawa. Apalagi, Teluk Saleh dengan yang cukup tenang cocok untuk budidaya.

Gunung Tambora menjadi kawasan Taman Nasional pada saat perayaan 200 tahun letusan pada 2015 . Tantangan kawasan ini antara lain, pembalakan liar dan konflik dengan petani/peternak | Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia
info gambar

Tambak yang sudah lama dikembangkan di Sumbawa, akan lebih baik jika didukung jaringan irigasi. Jaringan saat ini dibangun para pemilik tambak belum maksimal.

Pemerintah akan mengintervensi pembangunan jaringan irigai tambak sepanjang 200 km. Saat ini, katanya, baru tersedia 60 km. Dana untuk membangun masih perlu Rp150 miliar.

Peningkatan kualitas bibit ikan bisa dipenuhi dengan fasilitas laboratorium. Pemerintah akan membangun laboratorium penyakit ikan dengan dana Rp25 miliar.

Hatchery udang dan ikan laut akan dibangun di tiga lokasi. Dana pembangunan fasilitas ini Rp15 miliar. Bibit sakit pun akan ditangani melalui “Posyandu Udang” dengan nilai Rp5,5 miliar. Pascapanen pun disiapkan dengan penyediaan pabrik es senilai Rp75 miliar.

Pengolahan ikan, juga dibangun untuk mendukung industrialisasi sektor perikanan Rp12,5 miliar. Pasar khusus untuk perikanan juga akan dibangun. Lebih higienis walaupun konsep tradisional Rp62 miliar.

Sektor pariwisata tidak bisa dilupakan. Dengan potensi 49 gili, semua masih “perawan” menjadi daya tarik pariwisata di Samota.

Saat ini, baru Pulau Moyo yang dipoles dengan masih banyak kekurangan. Akses jalan lingkar di Pulau Moyo, jaringan listrik, komunikasi belum tersedia. Akibatnya, berwisata ke Pulau Moyo perlu persiapan khusus.

Dalam master plan pengembangan Samota akan dibangun akomodasi/resort perhotelan, rencana lima resort dengan investasi Rp1,5 triliun. Harapan dana dari swasta.

Rencana pengembangan wisata di gili-gili dengan model shelter, sekadar tempat istirahat, bukan resort dan fasilitas pendukung lain seperti di Gili Tawangan, Gili Air, dan Gili Meno. Gili-gili di Teluk Saleh disiapkan sebagai lokasi liburan. Lebih sepi dan tentu saja kelestarian lingkungan lebih terjaga.

Membangun sektor pariwisata dan perikanan perlu dukungan listrik. Pembangunan transmisi saluran udara tegangan tinggi (SUTT) 70 kV untuk mendukung seluruh Samota. Dana pembangunan jaringan listrik Rp11,228 miliar.

Instalasi listrik solar panel dinilai cocok di gili. Tahap awal, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, berencana bangun 12 unit dengan Rp5,5 miliar.

Tantangan berat

Kurniawan, Koordinator Program NTB Wildlife Conservation Sociecty (WCS) mengatakan, penetapan Samota sebagai cagar biosfer sebuah prestasi bagi daerah ini. Tahun sebelumnya, Gunung Rinjani ditetapkan sebagai cagar biosfer.

Dengan kawasan-kawasan ini sebagai cagar biosfer, jadikan NTB bagian dari jaringan global. Kalau dimanfaatkan dengan baik, status ini bisa memberikan perhatian dunia kepada NTB.

WCS mengingatkan, pemerintah NTB jangan terlena dengan status itu karena justru jadi beban tanggung jawab besar bagi NTB.

Pemerintah provinsi, katanya, harus mampu membangun komunikasi baik dengan Sumbawa, Dompu, dan Bima sebagai pemilik kawasan.

“Pembangunan harus terintegrasi, apa yang diinginkan pemerintah provinsi harus sejalan dengan kabupaten. Harus satu suara. Harus ada grand design bersama,’’’ katanya.

Basecamp bekas perkebunan kopi di Tambora. Di kawasan ini juga masih ada izin penebangan kayu. Perlu memerhatikan penduduk yang tinggal di sekitar kawasan agar tidak terjadi konfik yang mengancam kelestarian | Foto: Fathul Rakhman/ Mongabay Indonesia
info gambar

WCS NTB yang bertahun-tahun riset di Teluk Saleh, siap memberikan dukungan data kepada pemerintah provinsi. WCS juga menawarkan, setelah penetapan cagar biosfer ini harus kembali duduk bersama, merencanakan langkah pengembangkan, dan membentuk badan pengelola.

Kurniawan bilang, badan pengelola atau apapun bentuknya, penting sebagai pengatur Samota. Bukan sekadar jadi wilayah tiga kabupaten, kepentingan di Samota juga sangat kompleks.

Samota jadi medan konstestasi antara kepentingan perikanan dan kelautan, pariwisata, BKSDA, pertanian, geologi, riset. Belum lagi kepentingan sektor swasta di berbagai bidang. Kalau masih ada ego sektoral, WCS khawatir kondisi Samota makin menurun, justru setelah penetapan sebagai cagar biosfer.

Keberadaan lembaga yang mengelola kawasan itu penting dalam mengakomodir semua kepentingan. Kelembagaan itu juga penting menjembatani kepentingan semua sektor yang beraktivitas di sana.

“Jangan lupa di Samota, ada ribuan penduduk tinggal. Kalau itu tidak dirangkul, akan sulit.”.

Pemerintah bersama lembaga bentukan itu, katanya, harus memetakan semua tantangan pengembangan Samota.

WCS, sendiri yang selama ini riset sektor perikanan dan kelautan sudah memiliki data tentang potensi dan ancaman. Dia contohkan, potensi tuna dan kerapu. Nelayan di sepanjang Teluk Saleh dan Pulau Medang, penangkap tuna dan kerapu.

Keberadaaan tuna dan kerapu ini, kata Kurniawan, jadi sumber pendapatan nelayan. Bahkan, setelah nelayan tahu pontesi tuna dan kerapu, mereka mulai meninggalkan praktik perikanan ilegal.

“Dulu, marak pengeboman. Sekarang, masih ada, tapi tidak sebanyak dulu,’’ katanya.

Hingga kini, WCS masih riset tentang tuna dan kerapu guna mengetahui apakah ada tekanan terhadap dua jenis ikan ini. WCS juga mendekati kelompok-kelompok nelayan agar mau menjadi pengawas kawasan sekitar. Dengan luas perairan mencapai 212.300 hektar, sangat berat bagi pemerintah bekerja sendiri.

“Sekarang bagaimana mengintegarsikan program di Dinas Pemberdayaan Desa, Dinas Pariwisata, Dinas Kelautan dan Perikanan agar mendukung kelompok pengawas ini,’’ kata Kurniawan.

Setelah penetapan cagar biosfer, WCS menagih janji pemerintah provinsi menambah kawasan konservasi. Saat ini, katanya, sudah ada kawasan konservasi di Teluk Saleh, yaitu Keramat-Bedil, kawasan Rakit-Lipan.

WCS mengusulkan, Pulau Medang jadi kawasan konservasi. Pulau Medang masih satu kesatuan dengan Pulau Moyo.

“Apalagi, ada komitmen yang diucapkan Ibu Wagub yang menyatakan 30 persen untuk kawasan konservasi. Kami berharap, 30 persen itu bukan yang sudah ditetapkan, ada tambahan baru.”

Ridha Hakim, Direktur WWF Nusa Tenggara bilang, gelar cagar biosfer Rinjani maupun Samota oleh UNESCO akan dicabut 10 tahun mendatang kalau dalam perkembangan lingkungan tak terawat.

Jadi, katanya, tanggungjawab ini tak main-main, apalagi dunia internasional akan selalu mengikuti perkembangan. Cagar biosfer merupakan kawasan yang dtetapkan dan ditunjuk oleh negara untuk bekerja sama dengan UNESCO dalam mempromosikan upaya pelestarian biodiversitas dan pengelolaan ekosistem terpadu.

Catatan ini disampaikan Ridha mengingat dalam beberapa tahun ini eksploitasi marak terjadi di Samota. Taman Nasional Gunung Tambora dan kawasan hutan sekitar tak bersih dari pembalakan liar. Berbagai kasus illegal logging, skala kecil sampai besar terjadi di Tambora.

“Jadi kedua kawasan itu (Rinjani dan Samota) harus ada perhatian lebih serius lagi dan agenda-agenda pemberdayaan ekonomi masyarakat harus lebih jelas dan terukur. Ukuran-ukuran keberhasilan menjaga alam lingkungan itu tentu membutuhkan aksi nyata, tak sebatas diskusi-diskusi.”

Catatan:

Ditulis oleh Fathul Rakhman dan diposting ulang dari Mongabay Indonesia atas kerjasama dengan GNFI

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

VA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini