Inilah Aksara Satu-Satunya dari Wilayah Sumatra Bagian Tengah

Inilah Aksara Satu-Satunya dari Wilayah Sumatra Bagian Tengah
info gambar utama

Salah satu daerah di wilayah Sumatra bagian tengah adalah provinsi Jambi. Provinsi Jambi identik dengan keindahan gunung Kerinci beserta suku Kerincinya yang memiliki keunikkan serta perjalanan budaya yang begitu panjang, salah satunya yakni Aksara Incung. Aksara Incung adalah satu-satunya aksara yang berasal dari wilayah Sumatra bagian tengah. Aksara Incung tersebut digunakan oleh suku Kerinci yang tinggal di dataran tinggi Jambi.

Dalam bahasa Kerinci, Incung berarti miring atau terpancung, oleh sebab itu, wujud dari Aksara Incung tersebut berupa garis-garis dengan arah kemiringan tertentu yakni sekitar 450, patah terpancung dan melengkung. Aksara Incung digunakan oleh leluhur Kerinci Kuno untuk mendokumentasikan berbagai macam peristiwa antara lain sejarah, hukum adat, karya sastra hingga mantra-mantra. Media penulisan Aksara Incung ini menggunakan media kulit kayu, bambu atau diukir pada tanduk kerbau. Media yang digunakan untuk menuliskan Aksara Incung memiliki kategori pesan yang berbeda. Contohnya adalah jika Aksara Incung ditulis atau diukir pada tanduk kerbau maka pesan yang terdapat pada tanduk kerbau tersebut berupa silsilah nenek moyang, sementara Aksara Incung yang ditulis pada media bambu, berisi tentang kisah cinta atau curahan hati berupa ratapan tangis seorang pemuda yang cintanya ditolak oleh sang pujaan hati.

Gunung Kerinci Jambi | Foto : Pinterest
info gambar

Penggunaan Aksara Incung di wilayah Jambi belum dapat diketahui kapan awal mulanya. Namun, beberapa budayawan mengemukaan bahwa suku Kerinci telah menggunakan Aksara Incung sejak jaman pemerintahan Negara Segindo yang dibuktikan dengan Prasasti Karang Berahi yang dibuat pada tahun 686 Masehi. Hal tersebut dikarenakan aksara yang digunakan pada Prasasti Karang Berahi memiliki format dan kemiripan dengan Aksara Incung. Kini, Aksara Incung menjadi salah satu Warisan Tak Benda yang dimiliki oleh provinsi Jambi yang ditetapkan pada 17 Oktober 2014 lalu yang diresmikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Namun, meskipun Aksara Incung menjadi satu-satunya aksara yang bersal dari wilayah Sumatra bagian tengah, masyarakat sekitar sendiri kini mulai jarang yang dapat menggunakan Aksara Incung sebagai media komunikasi. Hal tersebut dikarenakan pada masa penjajahan Belanda dahulu, bangsa Belanda melarang orang-orang suku Kerinci untuk menggunakan Aksara Incung sebagai media komunikasi dikarenakan bangsa Belanda tidak mengerti arti dari Aksara Incung. Hal itu pula lah yang menyebabkan bangsa Belanda kesulitan untuk mengeksploitasi wiliayah sekitaran Jambi, sehingga diputuskanlah untuk melarang penggunaan bahasa berdasarkan Aksara Incung.

Aksara Incung yang diukir pada tanduk kerbau. | Foto : Facebook Anak Melayu Jambi
info gambar

Untuk mempelajari cara menggunakan Aksara Incung, berikut ada beberapa pedoman singkat yang dirasa paling mendekati untuk cara pengucapan dan cara penulisan akasra Incung.

  1. Penulisan diftong [au] ditulis dengan bantuan huruf [wa] mati dan untuk diftong [ai] ditulis dengan huruf [ya] mati. Contoh ‘sungai’ mejadi ‘sungay’.
  2. Tanda baca [i] dan [-h] jika digunakan bersamaan, maka tanda baca [-h] yang ditulis terlebih dahulu. Contoh ‘sirih’ ditulis ‘sir-h-i’.
  3. Tanda baca [e] dan [o] dapat digunakan sesuai dengan kesepakatan Seminar Aksara Kuno Kerinci tahun 1992. Jika tidak digunakan, bunyi suara bervokal [e] dapat hanya ditulis dengan aksara dasar saja dan untuk beberapa kesesuaian, dapat pula ditulis dengan dibubuhi tanda baca [i], dan untuk bunyi suara bervokal [o] dapat ditulis/diwakilkan dengan aksara dasar dengan tanda baca [u]. Contoh ‘Pemerintah’ ditulis ‘pamarintah’, ‘Oleh’ ditulis ‘ulih’, ‘Seorang’ ditulis ‘saurang’, ‘Kemerdekaan’ ditulis ‘kamardikaan’.


Catatan kaki: indonesia.go.id | kerincitime | writingtradition

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Widhi Luthfi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Widhi Luthfi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini