Inilah Tradisi Adat untuk Anak Muda

Inilah Tradisi Adat untuk Anak Muda
info gambar utama

Anak muda adalah tonggak bangsa untuk meneruskan pembangunan bangsa ini agar menjadi lebih baik ke depannya. Melalui anak muda, segala macam budaya dapat dilestarikan dengan terus menjalankan segala tradisi yang ada.

Pada beberapa daerah di Indonesia, ada bermacam-macam tradisi yang dibuat khusus untuk anak muda. Apa saja tradisi tersebut?

Siat Geni

Tradisi Siat Geni | Foto: liputan6.com
info gambar

Siat geni merupakan sebuah ritual perang api yang diadakan setiap tahun di Desa Adat Tuban, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali, untuk menolak nasib buruk dan mendorong kaum muda yang berani.

Ritual ini wajib dilakukan saat piodalan atau hari jadi Pura Dalam Kahyangan untuk menyambut pengawal para dewa dewi atau Kala Geni Rudra yang diyakini sangat menyukai api.

Sebelum ritual dimulai, prosesi diawali dengan menyembelih babi untuk dipersembahkan kepada Sang Kala.

Selanjutnya menyembelih hewan berkaki dua dan mempersembahkan darahnya, lalu mengadakan persembahan kepada Kala Katung di dekat pura, serta dilakukan persembahan kepada Kala Ngadang di tengah jalan.

Setelah segala proses dilalui, berikutnya melakukan sembahyang untuk memohon kesalamatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para pemuda diperciki oleh air suci sebagai pertanda bahwa mereka bersih secara lahir dan batin.

Kemudian para pemuda yang berusia remaja dan belum menikah akan berperang di halaman Pura Dalam Kahyangan dalam keadaan gelap, bersenjatakan bara dari batok kelapa yang sebelumnya sudah dibakar.

Para pemuda yang mengenakan baju hitam, kamen, dan udeng di kepala itu akan dibagi menjadi dua kubu yang beranggotakan antara 40 hingga 60 orang. Para peserta perang juga diarahkan kapan harus bertahan dan kapan waktunya menyerang.

Cara perang dalam siat geni adalah dengan menyerang kubu lawan dengan sabut berapi secara bergantian yang berlangsung dari pukul 19.00 sampai dengan 21.00 WITA. Sedangkan untuk remaja putri, ditugaskan untuk menari saat perang berlangsung.

Ritual ini dilakukan setahun sekali dengan harapan agar warga Tuban dapat diberkahi dengan kesejahteraan dan desa dapat dibersihkan dari segala tindak kejahatan.

Hombo Batu

Tradisi lompat batu Nias | Foto: misteraladin.com
info gambar

Tradisi hombo batu atau fahombo atau dikenal dengan lompat batu merupakan sebuah tradisi asal Nias, Sumatera Utara yang biasanya dilakukan oleh para pemuda sebagai ritual pendewasaan atau uji kelayakan untuk dapat ikut berperang pada zaman dahulu.

Dalam tradisi tersebut, pada pemuda akan mengenakan pakaian khas prajurit kerajaan dan melompati hombo batu setinggi dua meter dan tebal 40 cm.

Lompat batu ini awalnya muncul sebagai persiapan sebelum masyarakat Nias melakukan perang suku.

Nias memang memiliki topografi berbukit-bukit dan kala itu setiap kampung yang berperang memiliki benteng atau pagar pada masing-masing wilayah untuk menjaga wilayahnya, sehingga saat menyerang dibutuhkan kekuatan khusus untuk dapat melompatinya.

Kemudian, dibuatlah tumpukan batu untuk melatih fisik untuk melatih ketangkasan melompat.

Pada zaman dahulu, pemuda Nias akan mencoba untuk melompati batu tersebut. Jika mereka berhasil, mereka akan menjadi lelaki dewasa dan dapat bergabung sebagai prajurit untuk berperang dan menikah.

Sejak usia 10 tahun, anak lelaki di Pulau Nias akan bersiap untuk melakukan giliran lompatan batu mereka. Anak lelaki akan melompati batu tersebut untuk mendapat status kedewasaan mereka, dengan mengenakan busana pejuang Nias, menandakan bahwa mereka telah siap bertempur dan memikul tanggung jawab laki-laki dewasa.

Kini, ritual ini dijadikan sebagai objek wisata tradisional yang unik dan aneh di seluruh dunia.

Sorongi’is

Tradisi Sorongi'is | Foto: serganptt.mlblogs.com
info gambar

Berbeda dengan dua tradisi di atas yang ada untuk pemuda, kali ini, tradisi sorongi’is asal Flores, Nusa Tenggara Timur, merupakan sebuah tradisi untuk seorang perempuan dalam proses pendewasaan.

Ritual Sorongi’is biasa dilakukan pada perempuan berusia remaja, tergantung pada kemampuan orangtua anak sebagai salah satu pelengkap dalam proses menuju jenjang pernikahan.

Dalam ritual ini, perempuan akan dipotong giginya atau diratakan. Makna dari ritual ini ialah agar sang anak dianggap telah dewasa secara hukum adat dan sudah direstui kelak jika ada laki-laki yang datang meminang.

Dalam prosesnya, pihak keluarga harus terlebih dahulu melaksanakan ritual mengantar sesajen berupa nasi, daging, sirih pinang, dan moke untuk leluhur sebagai rasa syukur serta untuk memohon berkat.

Kemudian saat ritual dimulai, perempuan akan berbaring mengenakan kain adat, kemudian dipotong giginya dan diobati oleh petugas khusus.

Pengobatan di sini pun menggunakan ramuan tradisional berbahan buah pinang mentah yang harus dikunyah beberapa kali untuk sekadar menghilangkan rasa ngilu.

Sebelum menuju ritual ini, pihak keluarga harus menjalani beberapa rangkaian acara adat. Malam sebelumnya, pihak keluarga maupun undangan akan melaksanakan tandak. Mereka mulai menari, bernyanyi dan berpantun mengelilingi api unggun sambil berpegang tangan.

Syair-syair dalam irama tandak mengisahkan tentang arwah nenek moyang dan sejumlah ajaran-ajaran adat dalam kehidupan. Sesekali diselingi dengan pantun yang diucapkan secara berbalasan dari kaum perempuan dan laki-laki.


Referensi: sobatbudaya

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dessy Astuti lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dessy Astuti.

Terima kasih telah membaca sampai di sini