Indonesia Bisa Lebih Baik Lagi dalam Menanggulangi Covid-19

Indonesia Bisa Lebih Baik Lagi dalam Menanggulangi Covid-19
info gambar utama

Permulaan tahun 2020 ini, seluruh dunia digemparkan dengan keberadaan makhluk tak kasat mata berupa virus yang bernama Covid-19. Meski sebenarnya, wabah Covid-19 sudah dimulai jauh beberapa pekan sebelum itu, di bulan-bulan akhir menjelang tahun 2019.

Kali ini, sejenak hentikan berbicara terlalu banyak tentang negara lain selain sebagai upaya benchmarking dan analisis adaptasi solusi, karena nampaknya sekarang Indonesia sedang butuh banyak dukungan untuk menekan laju pertumbuhan wabah ini agar tak semakin menjadi-jadi.

Pada Jumat (17/04) lalu, telah kita dengar bersama bahwa data pasien positif Covid-19 di Indonesia mencapai angka lebih dari 5.500 kasus, dengan jumlah kematian yang lebih kecil dari jumlah sembuh. Sebuah pencapaian yang baik tentunya bagi perkembangan penanganan kasus Covid-19 di Indonesia.

Eits, tapi jangan senang dulu. Menurut Situation Report-88 dari laman web WHO, didapatkan data bahwa terdapat sekitar 6,7% kasus kematian global (rasio death:confirmed) disebabkan oleh Covid-19 ini. Ya, setidaknya masih cukup rendah jika dibandingkan beberapa pandemi lain yang pernah menjamah di bumi ini.

Akan tetapi, tahukah Kawan GNFI bahwa jika death rate global ini ternyata lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia? Masih mengacu pada Situation Report-88, Indonesia sejauh ini mencatatkan diri sebagai negara dengan pemilik kasus kematian lebih dari 8,5%. Mungkin masih dianggap kecil bagi satu atau dua oknum dalam lingkaran pemerintah pusat, yang masih menyepelekan keberadaan Covid-19 di Indonesia.

Sebelum kita lanjutkan ke pembahasan berikutnya, mari kita telusuri kembali pemberitaan terkait data ODP dan PDP dari pemerintah yang baru saja untuk pertama kalinya dibuka secara nasional pada 14 April lalu. Setidaknya, ada sekitar 139.137 untuk ODP, dan 10.482 untuk PDP.

Nah, sudah pahamkah Kawan GNFI terkait apa itu ODP dan PDP? Jika belum, mari kita coba beralih pada sebuah upaya pencerdasan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) melalui laman web-nya.

Dalam dokumen berformat pdf tersebut, dapat ditemukan setidaknya ada tiga istilah klasifikasi pasien pra-positif Covid-19 yang digunakan oleh Kemenkes, dan sudah disepakati secara nasional.

Istilah pertama adalah Pasien Dalam Pengawasan (PDP), yaitu orang yang telah memiliki gejala-gejala klinis Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), baik yang memiliki riwayat perjalanan ke zona terdampak Covid-19, kontak dengan pasien Covid-19, maupun yang tidak.

Selanjutnya ada juga Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang memiliki definisi singkat sebagai orang yang mengalami demam ≥ 38 derajat celsius atau riwayat demam, atau gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek, sakit tenggorokan, dan batuk, memiliki riwayat perjalanan ke zona terdampak Covid-19, dan pernah kontak dengan pasien Covid-19 maupun tidak.

Sebagai definisi tambahan pasca pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah, setiap orang yang melakukan perjalanan pindah kota baik dengan tujuan mudik atau urusan lain, maka langsung ditetapkan sebagai ODP.

Terakhir, ada juga istilah Orang Tanpa Gejala (OTG), yakni seseorang yang tidak bergejala dan memiliki risiko tertular dari pasien positif Covid-19. OTG merupakan 'kontak erat' dengan pasien positif Covid-19, dengan maksud seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada dalam ruangan, atau berkunjung dalam radius 1 meter dengan pasien dalam pengawasan atau positif dalam 2 hari sebelum pasien menunjukkan gejala, dan hingga 14 hari setelah pasien mengalami gejala.

Apakah sejauh ini sudah paham?

Intinya, untuk 'kontak erat' ini termasuk di dalamnya ada petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar, dan membersihkan ruangan di tempat perawatan pasien positif tanpa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai standar. Atau juga orang yang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan pasien positif, termasuk tempat kerja, kelas, rumah, dan acara besar, dalam 2 hari sebelum pasien menunjukkan gejala dan hingga 14 hari setelah pasien positif memiliki gejala, serta orang yang bepergian bersama di radius 1 meter dengan segala jenis kendaraan dalam 2 hari, sebelum pasien positif memiliki gejala dan hingga 14 hari setelah pasien positif memiliki gejala.

Lalu bagaimana dengan istilah suspect? Setidaknya menurut dokumen yang diperoleh dari laman websiteKemenkes, untuk saat ini, PDP dapat diartikan sebagai suspect. Kendati demikian, Juru Bicara Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto membuat suatu pernyataan,

"Pasien dalam Pengawasan belum tentu suspek,'' ujarnya. Entah yang mana yang harus dibenarkan dan kita ikuti.

Begitu banyak dan kompleksnya klasifikasi istilah pasien pra-positif Covid-19 yang digunakan oleh pemerintah. Akan tetapi, minim sekali sosialisasi yang mudah dicerna masyarakat. Hal ini dapat dirasakan bukan hanya oleh masyarakat awam yang sama sekali jarang bersentuhan dengan kesehatan, bahkan beberapa petugas medis di lapangan pun tidak mampu menjelaskannya secara sederhana dan mudah dicerna kepada penanya, yang tak lain adalah masyarakat Indonesia.

Lalu, apa reaksi dari masyarakat ketika pemerintah mengumumkan jumlah ODP dan PDP dibuka?

Yang jelas, masyarakat pasti bingung, karena selama ini data yang tersaji di laman web resmi pemerintah terkait Covid-19, maupun laman Kemenkes, hanya terdiri dari data positif, sembuh, dan meninggal. Lalu apa arti ODP dan PDP ini? Untuk arti secara definisinya mungkin sudah cukup jelas tertuang pada paragraf sebelumnya. Akan tetapi, untuk maksud atau makna dari jumlah ODP dan PDP yang tersaji tersebut, apa ya kira-kira?

Mari kita kembali menelusuri penjelasan yang pernah dituturkan oleh seorang peneliti matematika epidemiologi dari ITB, Nuning Nuraini. Dalam pernyataannya dilansir dari salah satu media massa nasional, Nuning menyatakan bahwa para pakar kesehatan dan virus menyampaikan pada umumnya kasus yang sesungguhnya terjadi di suatu wilayah itu selalu berjumlah lebih besar daripada yang berhasil terdeteksi.

Itu normal, apalagi untuk negara dengan penduduk sebanyak Indonesia, peluang terjadinya hal seperti itu pasti besar. Terlebih jika kita tinjau dari segi sumber daya. Alat tes Covid-19 yang ada belum sepenuhnya bisa menjangkau jumlah yang ideal untuk dilakukan pengetesan, baik yang berupa Polymerase Chain Reaction (PCR) ataupun Genome Sequencing. Di sini kuncinya, alat tes belum sepenuhnya mencukupi, ini fakta pertama.

Selanjutnya, adalah rasio dari pasien positif yang seharusnya dirawat di atas kasur rumah sakit yang bisa menampungnya. Sebagai gambaran, data dari laman web Bank Dunia pada tahun 2015, saat jumlah populasi Indonesia masih 258,4 juta jiwa (sekarang 273,5 juta jiwa). Dari sana kita bisa tahu, saat kondisi normal tanpa wabah, rasio kasur rumah sakit per 1.000 jiwa di Indonesia adalah 1,2. Artinya, ketika kita kaitkan pada kondisi saat ini, ada sekitar 12.610 PDP (data terakhir per 17 april), yang jika disesuaikan dengan pedoman dokumen dari laman Kemenkes merupakan suspect dengan sekat antara pernyataan positif dan negatifnya sangat tipis.

Visualisasi Corona virus © Fusion Medical Animation on Unsplash

Mari kita berpendapat sangat utopis, bahwa kita sedang ada pada kondisi ideal yang bisa membuat PDP ini bisa diisolasi di kasur rumah sakit karena statusnya suspect. Sebanyak itu lho! Apakah rumah sakit di Indonesia bisa menampung? Jawabannya jelas tidak, karena dengan melakukan korelasi data-data di atas, dengan jumlah pasien PDP 12.610, rumah sakit di Indonesia hanya bisa menyediakan sekitar 15,1 kasur untuk perawatan. Itulah permasalahannya, sudah alat tesnya masih terbatas dan masih diusahakan, ditambah lagi kapasitas rumah sakitnya tidak berada pada kondisi yang ideal.

Sudah pahamkah maksud diungkapnya keberadaan ODP dan PDP ini apa?

Sekarang kita bisa ber-khusnudzon pada pemerintah bahwa inilah makna sebenarnya dari dibukanya update data pasien ODP dan PDP ke publik. Jika kita mengutip pernyataan dari pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) dr. Syahrizal Syarif, dilansir dari salah satu media massa nasional, Syahrizal menyatakan bahwa langkah pemerintah tersebut terlambat sehingga kurang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, atau lebih tepatnya membingungkan masyarakat.

Padahal, keberadaan klasifikasi ODP, PDP, dan bahkan OTG sebagai istilah-istilah pra-positif adalah sebuah solusi dini pemerintah dalam menyikapi kekurangan yang ada dari segi kapasitas dan kesiapan rumah sakit, serta keberadaan alat tes Covid-19.

Hal ini patut kita apresiasi bersama, apalagi dengan sebuah tindakan yang cukup bijak, yaitu dengan secara rutin melakukan update jumlah pasien ODP dan PDP selain hanya jumlah pasien positif, sembuh, dan meninggal saja.

Belum lagi, dengan kondisi lapangan yang serba tidak ideal, seperti adanya pasien PDP yang ditolak rumah sakit rujukan, padahal kondisinya menunjukkan gejala yang mengharuskan adanya perawatan dan isolasi. Terlebih, kondisi psikologis masyarakat yang belum bisa sepenuhnya menerima dan memahami keberadaan penyakit ini sebagai sebuah wabah yang harus ditanggung bersama.

Alhasil, banyak juga kondisi tidak ideal lain semacam pengusiran awak medis dari rumah kos, pengucilan warga berstatus ODP maupun PDP, sampai mereka yang positif merasa terasing. Tentunya hal ini bukan sesuatu yang kita semua harapkan terjadi,

Pemerintah sudah melakukan tugasnya, mencoba selalu melakukan update data. Hanya saja sebagai saran tambahan kepada pemerintah, jika ingin meningkatkan awareness masyarakat, jangan hanya pemerintah daerah saja yang menyajikan detail ODP dan PDP di laman web, pemerintah pusat dan juga Kemenkes harus melakukan transparansi semacam itu secara real time.

Harus pula ada sosialisasi masif yang informasinya mudah dicerna masyarakat tak hanya tentang cuci tangan, pakai masker, dan hal-hal berbau pencegahan lainnya. Melainkan juga harus adanya pencerdasan terkait definisi yang mudah dipahami terkait apa itu ODP, PDP, dan berbagai istilah pra-positif lainnya, serta ditambah dengan sosialisasi data-data yang disajikan. Masyarakat Indonesia butuh itu sebagai amunisi informasi, sebelum bisa bergerak secara bersinergi bersama memerangi Covid-19.

Bagi masyarakat dan golongan terdidik seperti pelajar dan mahasiswa, atau orang-orang yang memiliki pengetahuan lebih terkait Covid-19, jangan ragu untuk membantu pemerintah melakukan sosialisasi.

Jika Kawan GNFI lebih nyaman dengan videografi, buatlah video pencerdasan yang mudah dimengerti terkait Covid-19. Jika Kawan GNFI lebih paham dengan data dan olahannya, sajikan infografis menarik dengan penjelasan-penjelasan yang mudah dipahami khalayak luas. Jika gemar menulis, buat tulisan yang sistematis dan komprehensif dengan menyederhanakan berbagai data kompleks yang disajikan pemerintah, lalu republish ulang dengan bahasa Kawan GNFI sendiri.

Hal semacam itulah yang sedang kita butuhkan. Bukan hanya sekadar komentar-komentar penuh tendensi, nyinyiran, atau bahkan hinaan kepada pemerintah, maupun pihak-pihak lain yang telah bergerak. Berhenti!

Terakhir, sebagai ajakan sekaligus upaya introspeksi diri. Ayo, bersama saling bahu membahu menjaga diri, keluarga, kerabat dekat, tetangga, teman, sahabat, dan bahkan saudara setanah air.

Selalu patuhi protokol kesehatan yang dicanangkan pemerintah. Pakai masker ketika keluar rumah, belanja secukupnya dan jangan timbun kebutuhan pokok lewat panic buying, kurangi nongkrong dan pergi-pergi jika tidak perlu, hindari risiko mudik jika tidak benar-benar terdesak, serta lakukan protokol-protokol ringan dengan menghargai orang lain, jujur ketika sakit dan memberikan kesaksian riwayat perjalanan kepada awak medis.

Hal-hal kecil semacam itulah yang jika dilakukan bersama, akan bisa memperkecil kemungkinan penularan dan penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Indonesia bisa lebih baik lagi dalam menanggulangi Covid-19, asalkan semua dapat bekerja sama. Di manapun Kawan GNFI berada, apapun pekerjaannya, Kawan GNFI punya peran penting untuk menjadi pahlawan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia.*

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini