Bumi Membaik di Tengah Pandemi, Baguskah?

Bumi Membaik di Tengah Pandemi, Baguskah?
info gambar utama

Perubahan signifikan terlihat di beberapa bagian dunia. Salah satunya wilayah India. Tingkat polusi udara menurun drastis hingga membuat puncak Himalaya beserta deretan pegunungannya terlihat jelas sepanjang jarak pandang sejauh 160 kilometer.

Pemandangan yang terlihat pada momen 30 tahun lalu itu dapat dinikmati dari daerah Puncab, India yang saat ini tertutup lapisan salju. Dampak serupa juga dirasakan warga Los Angeles, California, Amerika Serikat yang dikabarkan bahwa kualitas udara terbersih sejak dirasakan pada tahun 1980.

Terhentinya aktivitas manusia sepanjang mewabahnya Covid-19 di dunia memberikan jawaban atas segala dampak yang diberikan manusia. Tentu saja kita secara sadar menginginkan semua kebaikan bumi dapat merehabilitasi dirinya sendiri atas apa yang sudah diperbuat manusia selama ini.

Menurunnya aktivitas manusia juga dibarengi dengan menurunnya produksi efek rumah kaca yang diakibatkan produksi dari polusi dan limbah kendaraan maupun aktifitas pabrik di segala sektor kepemilikan.

Dampak yang bisa dibilang sementara ini memberikan sedikit ruang angin segar bagi bumi yang sedang bekerja memproduksi kembali komponen yang sebelumnya telah usang. Hal itu dibuktikan dari pengamatan satelit dan simulasi iklim di University of Colorado.

Dilansir dari News Scientist, sebelum tahun 2000, sirkulasi atmosfer bumi perlahan bergeser ke Kutub Selatan. Aliran sirkulasi ini disebut sel Hadley yang berperan membentuk iklim hujan tropis, angin topan, dan gurun subtropis semakin melebar.

Faktor pemulihan tersebut sebagian besar berkat Protokol Montreal yang disepakati secara global pada 1987, untuk melarang produksi zat perusak ozon.

Penghentian aktivitas manusia yang sebagian besar berada di rumah tidak lain karena adanya aturan dari pemerintah guna mencegah penyebaran Covid-19. Tentunya, pembatasan aktivitas normal pada segala aspek berdampak terhadap berbagai sektor nyata, sehingga manusia dipaksa beradaptasi dengan segala macam kebutuhan.

Berkat hal tersebut, keadaan bumi semakin membaik. Namun sayangnya, tidak selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Berhentinya operasi perusahaan, maka menghambat para pekerja untuk bisa beraktivitas secara normal sebagaimana mestinya.

Dilansir dari katadata.co.id, total terdapat 1,7 juta pekerja di rumahkan, 749,4 ribu pekerja formal di-PHK, 282 ribu pekerja formal yang usahanya terganggu, dan 100 ribu pekerja migran dipulangkan.

Sudah terbayang dari masing-masing kita tentang keadaan yang terjadi saat ini. Hiruk pikuk dunia maya membahas panjang mengenai permasalahan ini. Terlebih tentang nasib beberapa masyarakat Indonesia yang bergantung pada pekerjaan harian. Miris memang malapetaka yang terjadi saat ini.

“Sedih bahkan bisa jadi sebuah kemewahan. Berlarut dalam sedih, tidak juga menemukan jalan keluar. Sedih membuang waktu mereka. Karena urusan perut tampak nyata di depan mereka. Dan itu harus diselesaikan," tutur Puthut EA selaku kepala suku portal Mojok.co.

Analogi yang disampaikan mengantarkan pada perumpamaan guna mengungkapkan kesedihan pun masih kurang saat menjelaskan kondisi saat ini. Alhasil, kekurangan tersebut berujung kemewahan karena tidak dapat dijangkau oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.

Apakah kini istilah bumi membaik akan benar-benar membaik? Menyibak makna keseluruhan bumi beserta isinya tidak melulu baik seutuhnya. Sebagian penghuninya meringis kesakitan dari berbagai tekanan keadaan.

Di sisi lain ketika pandemi berakhir, aktivitas yang vakum sementara diproyeksikan kembali mengejar target yang selama ini tersendat berdampak kerugian. Fisik bumi akan kembali pada keluhan limbah yang diberikan.

Semoga segala fenomena alam dan sosial yang terjadi saat ini bisa menjadi pelajaran yang kemudian akan dikaji bersama, supaya apda kehidupan mendatang akan ada kesinambungan positif antara manusia dan alam.*

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

Terima kasih telah membaca sampai di sini