Produksi Kakao Sultra Meningkat!

Produksi Kakao Sultra Meningkat!
info gambar utama

Sebagai produsen kakao terbesar ke-6 di dunia, Indonesia masih memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan produktivitas kakao. Salah satu contoh daerah sentra produksi kakao yang dapat di kembangkan adalah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).

“Teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) terkait dengan pengelolaan pertanaman kakao saat ini membuahkan hasil. Produktivitas kakao meningkat sangat signifikan,” dikutip dari laman resmi Balittri Litbang Pertanian.

Produktivitas kakao di wilayah Sultra, khususnya di lokasi Gelar Teknologi dan sekitarnya di Kabupaten Konawe Selatan menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan.

Usai penyelenggaraan Hari Pangan Sedunia ke-39 Tahun 2019 yang lalu, Tak hanya itu, petani di wilayah tersebut kini bisa menikmati panen kakao sepanjang tahun.

Teknologi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) terkait dengan pengelolaan pertanaman kakao saat ini membuahkan hasil. Petani sangat senang dan berterimakasih atas teknologi Balitbangtan tersebut. Teknologi yang dimaksud adalah teknologi untuk menginduksi pembuahan kakao di luar musim dan waktu itu telah diperkenalkan oleh Kepala Balitbangtan.

M Taufiq Ratule, Kepala Balai Besar Pengkajian Teknologi dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP) dikutip dari lansiran Antara menyatakan bahwa, “Sejak peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) 2019, masyarakat telah diperkenalkan pada banyak hal baru dalam Bertani kakao melalui pendekatan teknologi oleh bimtek Balitbangtan.”

“Berbagai informasi baru diberikan seperti kakao berbuah lebat di luar musim, benih kakao hasil sambung pucuk,” lanjut Taufiq dikutip dari lansiran Antara.

“Kini, yang perlu diperhatikan petani untuk memaksimalkan hasil kakao diantaranya mulai dari pemupukan, pencegahan hama dan penyakit, pemangkasan, pengairan, pembuatan rorak, penataan tanaman naungan, pemasakan buah serempak, dan penyerbukan buatan tanaman kakao,” jelas Prof. Rubiyo, peneliti kakao Balitbangta dikutip dari lansiran Trubus.

Menurut Prof. Rubiyo yang dikukuhkan sebagai Profesor Riset Kementan ke-135 pada 2018 ini, pemangkasan produksi dan pemeliharaan dianggap penting untuk perkembangan fisiologi tanaman. Pemangkasan ringan harus dilakukan secara rutin.

“Selama pendampingan, petani diajarkan secara detail, kapan pemangkasan dilaksanakan, cabang mana yang harus dipangkas yaitu cabang balik, mati, sakit, dan overlapping, alat apa yang dipergunakan, dan cara pemangkasan yang benar,” ungkap Rubiyo dikutip dari lansiran Trubus.

Rubiyo juga mengingatkan bahwa selain budidaya, penanganan panen dan pasca panen juga penting. Cara panen yang tepat dan alat yang digunakan juga diajarkan kepada petani.

“Setelah pendampingan yang dilakukan Balitbangtan, kualitas biji kakao yang dihasilkan lebih baik bahkan mencapai 95 % bernas,” tegas Rubiyo dikutip dari lansiran Trubus.

Aspek kelembagaan juga penting untuk disentuh saat pendampingan. Selama ini petani bekerja sendiri-sendiri.

“Padahal dalam penanganan hama, perlu dilakukan pengendalian bersama-sama sehingga aktivitas pengendalian efektif,” ungkap Rubiyo dikutip dari lansiran Trubus.

Selain itu, dengan penguatan kelembagaan petani, akan membuat bargaining position petani lebih kuat. Rubiyo menjelaskan bahwa pendampingan yang dilakukan Balitbangtan mengutamakan model partisipatif, dimana solusi yang ditawarkan nantinya sesuai dengan masalah yang dihadapi petani. Sesuai juga dengan harapan yang diinginkan petani.

Pendampingan Petani Kakao. Foto: Balittri Litbang Pertanian
info gambar

“Dengan adanya pendampingan yang dilakukan baik saat budidaya, panen, pasca panen, maupun pada aspek kelembagaan, diharapkan juga akan mendorong konsistensi petani untuk menanam kakao,” jelas Rubiyo dikutip dari lansiran Trubus.

Peningkatan produktivitas dengan pendekatan teknologi pada akhirnya diharapkan akan berpengaruh pula pada peningkatan kesejahteraan petani. Break Event Point (BEP) budidaya kakao saat ini sebesar Rp 15 ribu/Kg, sedangkan harga biji kakao mencapai Rp 21-22 ribu/Kg. Dari segi harga jual, terbukti agribisnis kakao layak untuk diusahakan.

Rubiyo juga mengungkapkan sangat bersyukur atas kerja keras Tim Balitbangtan, penyuluh, dan petani sehingga membuahkan hasil yang maksimal. “Petani itu tidak mudah meniru. Mereka pasti mau menerapkan teknologi jika ada buktinya, jika dirasakan manfaatnya seperti yang dialami petani kakao,” pungkas Rubiyo dikutip dari lansiran Trubus.

Peran pemerintah untuk mendukung peningkatan produktivitas dan mutu produk kakao masih sangat diharapkan. Utamanya untuk sarana dan prasarana budidaya dan teknologi pascapanen. Sebagai contoh, penyediaan sarana untuk proses pengeringan biji kakao akan sangat membantu meningkatkan nilai jual kakao. Ditambah lagi, penyediaan teknologi pengolahan kakao menjadi produk olahan seperti coklat bubuk, permen coklat dan lain-lain akan memberi nilai tambah tersendiri untuk komoditas kakao. Semoga ini menjadi motivasi untuk melakukan lompatan inovasi lainnya demi kejayaan petani di Indonesia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Indah Gilang Pusparani lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Indah Gilang Pusparani.

Terima kasih telah membaca sampai di sini