Rampog, Duel Harimau sebagai Lambang Penumpasan Kolonial

Rampog, Duel Harimau sebagai Lambang Penumpasan Kolonial
info gambar utama

Harimau memang memiliki banyak makna bagi orang-orang Jawa. Dalam dunia semiotika mereka, harimau pernah dijadikan simbol tertentu bagi perlawanan Jawa terhadap Belanda. Salah satunya tergambar dalam rampogan, pertunjukan yang memanggungkan duel antara harimau Jawa melawan kerbau. Duel ini sendiri biasanya diselenggarakan di alun-alun keraton.

Di alun-alun yang dikelilingi pohon rindang, sebarisan prajurit bertombak telah bersiaga. Mereka membentuk konfigurasi persegi empat, yang masing-masing sisi terdiri dari empat baris. Harimau menyerang kerbau bertubi-tubi, tapi kerbau hewan yang liat. Serangan harimau memang melukai, tapi tidak melumpuhkan. Seperti biasa, jika sudah lebih dari setengah jam, harimau mulai kelelahan. Ia akan menepi ke pinggir karena staminanya sudah habis.

Simbiolisme Jawa

Kerbau, bukan binatang yang agresif. Ia tidak segera menyerang balik musuhnya yang tengah terpuruk. Jika keadaan ini terjadi, harimau akan dibunuh dengan cara "rampog", yakni pasukan bertombak akan memancingnya menyerang dan sang harimau ditusuk beramai-ramai.

Pertarungan harimau melawan kerbau sesungguhnya alegori yang dipakai penguasa-penguasa Jawa untuk mengejek orang Belanda. Harimau yang gesit, mematikan, tapi staminya cepat turun, dianggap sebagai perwujudan orang Belanda. Sementara kerbau merupakan metafora terbaik yang mencerminkan orang Jawa : lamban tapi kuat, lemah lembut namun bertenaga. Dan jika diadu melawan harimau, kerbau yang hati-hati dan tabah akan selalu menang.

Tidak dapat dipastikan kapan pertama kali diselenggarakannya rampogan, banyak yang menyebut tradisi ini telah ada sejak zaman Hindu-Buddha seperti Majapahit dan Singosari. Namun kembali hidup pada abad 18 dan abad 19 saat muncul banyak kerajaan Islam seperti Mataram Islam. Hal ini tercatat saat Pangeran Mangkubumi telah menjadi sultan dengan gelar Hamengkubuwana I, residen van Rhijn pernah berkunjung ke Keraton Yogyakarta pun disungguhi atraksi Rampogan.

Tradisi ini juga tercatat dalam artikel Robert Wessing yang berjudul : "A Tiger in the heart : The Javanese Rampog Macan, dipaparkan bahwa sebagain besar catatan tertulis berasal dari rentang abad ke 18 hingga abad ke 19.

Pada event tertentu, seperti perayaan hari besar agama, acara ini dilakukan di alun-alun secara terbuka. Para pembesar kerajaan seperti raja dan anak buahnya akan melihat di atas panggung. Selain orang kerajaan, para Gubernur Jenderal Belanda beserta anak buahnya diundang sebagai tamu agung.

Daerah yang kerap melakukan rampogan macan adalah keraton Yogyakarta. Rampogan macan kerap dilakukan untuk hiburan masyarakat dan juga para petinggi Belanda. Selain kawasan Yogyakarta, Jawa Timur juga dikenal kerap melakukan rampogan macan.

Kepunahan Harimau dan Hilangnya Tradisi Rampogan

Pada artikelnya, Robert Wessing menjelaskan pada tahun 1860-an acara rampogan mulai bergeser dari pusat-pusat kerajaan di Jawa Tengah ke daerah-daerah kabupaten seperti Kediri ataupun Blitar. Pada saat itu, hutan-hutan daerah itu masih ditemukan macan tutul dan harimau. Setelah acara rampogan bergeser, sebagai catatan acara harimau beradu dengan kerbau pun dihilangkan. Kemudian berganti menombak harimau dan kucing besar lainya secara beramai-ramai.

Tradisi rampogan macan juga turut menyebabkan punahnya satwa legendaris dan endemik tanah jawa : harimau Jawa. Dari hal tersebut terungkap fakta menyedihkan bahwa proses kepunahan harimau Jawa ternyata telah dimulai sejak masa lalu. Tanah Jawa masih memiliki satu-satunya kucing besar yang masih bertahan hingga saat ini, yaitu macan tutul Jawa yang juga sudah langka dan terancam punah.

Tradisi ini habis pada abad ke 19, kala itu harimau Jawa telah benar-benar punah dan tidak bisa diselamatkan keberadaannya. Dari sejarah kita belajar agar kejadian masa lalu dijadikan pelajaran agar tidak terjadi pada masa depan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
DI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini