Mnahat Fe’u, Wisata Selebrasi Makan yang Unik Khas Orang Mollo NTT

Mnahat Fe’u, Wisata Selebrasi Makan yang Unik Khas Orang Mollo NTT
info gambar utama

Grace Sustetyo mengisahkan dan menceritakan aroma dan pemandangan makanan yang terlihat mengesankan. Dalam kisahnya yang berjudul Lakoah Kujawas: Comfort Food and Literature from the Heart of Timor pada edisi Indonesia Expat, 11 April 2017 silam, Grace mencoba mendeskripsikan aroma pagi khas Orang Mollo.

‘’Mengunyah pangsit udang yang digoreng dengan lemak babi (babi oangke) di pesta pernikahan taman yang meriah, dicelupkan ke dalam saus sambal yang tajam dengan rasa ketumbar, mint, dan kulit lemon (sambal lu’at) khas Timor.’’

‘’Aroma pagi Natal dari biscuit lemak babi gurih (biskuit asin) yang segar dari oven kayu pinus casuarina, dicelupkan ke dalam minuman panas dari kopi rumahan atau disiram dengan segelas menyegarkan raspberry cordial (istaroop) yang menyegarkan. Semangkuk bubur jagung krim putih (jagung bose) dengan irisan daging sapi panggung madu liar dan sup terong tomat pedas.’’

Begitu awal kisah Grace. Sebuah pemandangan dan aroma khas Desa Taiftob, di dataran tinggi Pegunungan Mollo yang mampu mengundang air liur dan keroncongan perut kalau tiba saatnya waktu makan.

‘’Masakan Senda adalah salah satu yang paling berkesan dan memuaskan yang pernah saya nikmati selama perjalanan saya di Indonesia: kacang merah yang lezat dalam kaldu tulang babi dan tumis lemak babi di atas seporsi jagung bose dan sambal lu’at yang pedas,’’ tulis Grace lagi yang bisa jadi semakin membuat pembaca tak tahan.

Senda bernama lengkap Christian Dicky Senda adalah sosok pahlawan lokal yang berhasil mengenalkan tradisi makan yang unik Orang Mollo kepada Grace. Dia pula yang menginisiasi komunitas Lakoat Kujawas yang pada akhirnya dikenal sebagai komunitas yang mampu memberikan ‘’atraksi’’ selebrasi makan khas Orang ‘’Pegunungan’’ Mollo, bagian tengah Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur.

‘’Sejak berdiri tahun 2016, yang kami lakukan awalnya adalah pengarsipan seni, kebudayaan, sejarah, dan lain-lain. Pada perjalanannya, informasi-informasi terkait kebudayaan, kesenian, dan sejarah yang terkumpul itu ternyata punya satu potensi ekonomi kreatif. Pada akhirnya kami bikin model yang namanya heritage trail, pariwisata khusus untuk orang-orang yang ingin belajar terutama terkait dengan masyarakat adat yang ada di Pegunungan Mollo, masyarakat yang bagian dari suku Atoin Metto.’’

Begitu penjelasan Dicky Senda saat kembali memperkenalkan sebuah Mnahat Fe’u Heritage Trail pada konferensi pers virtual Traval Virtual Heritage 2020 bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Jumat (9/10/2020).

Atoin Meto dan Budaya Mnahat Fe’u

Dicky Senda menjelaskan kalau terjemahan dari Atoin Meto itu adalah ‘’manusia kering’’.

‘’Artinya sebutan untuk manusia-manusia yang mendiami Pulau Timor bagian barat. Ini yang menjadi awal kami bikin Mnahat Fe’u,’’ katanya.

Mnahat Fe’u sendiri diartikan sebagai makanan baru, sebuah ungkapan syukur masyarakat suku Atoin Meto say menyambut masa panen. Mnahat Fe’u Heritage Trail yang diinisiasi Dicky Senda merupakan sebuah gambaran untuk menjelaskan bahwa telah terjadi titik temu sejak lama yang terjadi di Pulau Timor sejak abad ke-12 dan abad ke-13.

‘’Jauh sebelum Eropa datang, pedagang-pedagang dari China sudah datang ke Timor, kemudian berdagang. Mereka masuk ke Pegunungan Mollo dan memberi banyak sekali pengaruh terhadap kami. Sehingga yang menarik tentang Mnahat Fe’u adalah bicara terkait pangan. Sebagai ruang pertemuan kesenian kebudayaan pangan dan ekologi,’’ jelas Dicky Senda.

Wilayah Timor memang unik. Ketika musim hujan maka wilayah ini akan sangat basah, tapi ketika musim kemarau tiba, wilayah ini sangat kering. Hal ini pula yang akan memengaruhi bagaimana Orang Mollo pada akhirnya membentuk peradaban mereka, terutama membentuk kebudayaan pangan mereka.

‘’Januari akan ada pengalaman terkait aneka jamur, namun di bulan Februari, musim jagung dan buah lakoat akan punya kisahnya sendiri. Sementara di bulan Agustus nanti, aneka umbi dan kacang akan memberi pengalaman baru tersendiri,’’ jelas komunitas Lakoat Kujawas dalam lama Blogspot-nya.

Tak heran jika para wisatawan yang mengikuti Mnahat Fe’u Heritage Trail ini nampaknya tidak akan cukup mengunjungi hanya satu kali karena seni tradisi memasak Orang Mollo yang akan berbeda di setiap bulannya, mengikuti cuaca dan musim panen yang diberlakukan alam kepada Orang Mollo.

‘’Bicara dengan alam, tentu kita bicara tentang makanan. Makanan yang baik itu datang dari kebun yang baik, datang dari keseimbangan ekosistem yang baik. Sehingga ekosistem menjadi salah satu yang penting. Kami menarik benang merah bahwa ketika kita merayakan makanan, kita merayakan peradaban terkait dengan kuliner. Disitu kami juga melihat bagaimana manusia-manusia yang ada di Mollo saling terkait dengan batu, hutan, mata air, dengan tanah,’’ papar Dicky Senda.

Jadi wisata Mnahat Fe’u Heritage Trail ini bukan hanya berbicara dan bercerita bagaimana proses makanan itu tersaji dari kebun ke meja makan. ‘’Tapi kita berbicara bahkan jauh dari kebun. Bagaimana konsep-konsep ekologi itu, bagaimana keseimbangan alam itu dibentuk,’’ lanjutnya.

Kawan GNFI tertarik untuk menjadikan wisata Mnahat Fe’u Heritage Trail dalam program liburan? Kawan GNFI bisa cek informasinya melalui akun Instagram mereka di @lakoat.kujawas atau bisa klik laman mereka di LakoatKujawas.blogspot.com.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dini Nurhadi Yasyi lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dini Nurhadi Yasyi.

Terima kasih telah membaca sampai di sini