Kemampuan Pertahanan RI: Antara Surabaya 1945 Hingga Nagorno - Karabakh 2020

Kemampuan Pertahanan RI: Antara Surabaya 1945 Hingga Nagorno - Karabakh 2020
info gambar utama

Mantan menteri pertahanan RI Jenderal Ryamizard Ryacudu pernah berpendapat bahwa Indonesia hanya sanggup berperang selama tiga hari; mungkin sang jenderal waktu berpendapat itu melihat kondisi kekuatan angkatan perang kita yang masih jauh dari harapan. Menanggapi pernyataan itu pengamat pertahanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochammad Nur Haasim di harian Republika.co.id tanggal 22 Februari 2015, bahkan memperkirakan seluruh kekuatan pertahanan keamanan (hankam) Indonesia jika berperang selama lima jam saja sudah keteteran. Ia juga meragukan jika Indonesia mengalami nasib seperti Irak yang diserang negara yang memiliki peralatan perang canggih dan modern seperti Amerika Serikat (AS) mampu bertahan tiga hari. Pengamat ini berpendapat bahwa mobilisasi pasukan RI akan terlambat bila Aceh, Papua, Jawa diserang musuh. Tidak hanya soal mobilisassi, dia juga berpendapat alat utama sistem pertahanan RI sudah berumur tua dan kurang jumlahnya dibanding negara lain.

Perang modern saat ini memang berbeda dengan perang tradisional yang mengerahkan pasukan infanteri banyak berhadap hadapan dengan lawan sambil saling menembak. Contoh terbaru perang modern ini adalah perang yang terhadi baru-baru ini antara negara Armenia dan Azerbaijan yang memperebutkan wilayah Nagorno Karabakh - wilayah yang berada di daratan Azerbaijan tapi mayoritas penduduknya warga Armenia. Azarbaijan dibantu Turki yang secara terang-terangan mendukung pasukan Azeri (sebutan orang Azerbaijan) – karena adanya kedekatan budaya dan Armenia (secara diam-diam) dibantu Rusia.

Pertempuran yang menelan korban ribuan orang itu berlangsung singkat yaitu selama enam minggu dengan Armenia dipihak yang kalah setelah pihak Azerbaijan berhasil merebut kota Shusha (orang Armenia menyebutnya Shushi) yang sebelumnya dikuasai Armenia, lalu atas prakarsa presiden Rusia Vladimir Putin dibuatlah perjanjian genjatan senjata yang dia tandatangani bersama presiden Azerbaijan Ilham Aliyev dan perdana menteri Armenia Nikol Pshinyan tanggal 9 November 2020 lalu.

Pertempuran yang dimenangkan Azerbaijan itu karena negara ini memiliki senjata baru berteknologi tinggi yang dibeli (terutama) dari Turki dan Israel yaitu drone – pesawat tanpa awak yang membawa bom pintar dan juga drone kamikaze (drone yang menyasar langsung sasaran dengan menabrakkan drone tersebut).

Billboard dengan teknologi digital di ibukota Azerbaijan Baku menyiarkan video dimana drone-drone Azerbaijan dari langit menghantam target militer, tank - tank, artileri dan iring-iringan tentara Armenia dengan persisi yang tinggi. Drone yang dijalankan dari jarak jauh itu membuat pertempuran tradisional begitu mudah dikalahkan. Selain drone kedua belah pihak juga menggunakan roket-roket konvensional dimana warga Iran (kedua negara itu secara geografis dekat dengan Iran) bisa menonton serangan roket yang diluncurkan masing-masing pihak yang berperang seperti kilat yang saling menyambar.

Drone yang canggih itu dibuat oleh perusahaan pertahanan/persenjataan Turki Baykar diberi nama Bayraktar TB2s yang bisa terbang di ketinggian 8.000 meter dan karena itu sulit dilacak, dan mampu terbang 27 jam. Drone Turki ini sudah dipakai di pertempuran di Syria dan Libya.

Drone Baykar made in Turki | Defense News
info gambar

Tapi apakah kalau senjata-senjata modern itu dipakai menyerang negara-negara dengan geografis seperti di Asia dengan mudah mengalahkan negara yang diserang dalam waktu singkat – lima jam?

Pengalaman Amerika Serikat sebagai negara paling kuat di dunia ketika berperang di Vietnam sekitar tahun 1955 sampai tahun 1975 melawan Vietcong yang dibantu Vietnam Utara keteteran selama bertahun-tahun. Padahal Amerika Serikat menggunakan berbagai senjata berteknologi tinggi, melakukan berbagai operasi pemboman dari udara seperti Operation Farm Gate, Operation Chopper (1962), Operation Ranch Hand (1962-1971), Operation Pierce Arrow (1964) dll, toh Amerika Serikat bertekuk lutut.

Pertempuran dengan meenggunakan senjata canggih itu ternyata kesulitan menghadapi taktik gerilya yang dipraktekkan di Vietnam dan sebelumnya di Indonesia. Bahkan Indonesia dikenal dalam perang gerilya dalam melawan penjajah. Pasukan Inggris yang berpengalaman di perang dunia II ketika menyerang Surabaya; para jendralnya punya keyakinan dapat menaklukkan Surabaya dalam hitungan jam karena memiliki senjata lengkap dan modern, ada kapal perang, ada pesawat tempur, ada artileri, ada tank dsb. Tapi para jenderal Inggris itu salah perhitungan, Battle of Surabaya berlangsung hampir satu bulan. Indonesia sejak dulu memiliki konsep Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta atau Hankamrata – yaitu sistim pertahanan yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya. Rakyat menjadi komponen pertahanan negara disamping TNI. Doktrin perang ini sudah terbukti ampuh ketika TNI dan rakyat bergerilya melawan penjajah.

Jadi negara lain dengan senjata canggih mungkin saja dengan cepat menduduki beberapa kota di Indonesia dalam waktu lima jam, namun negara penyerang itu pasti akan terjebak dalam waktu lama – bisa bertahun-tahun melawan Indonesia dengan doktrin Hankamrata ini. Contoh perang antara Armenia dan Azebaijan dalam waktu singkat itu dengan menggunakan senjata berteknologi tinggi memang tidak bisa di analogikan bila terjadi di negara Indonesia karena memang kondisi geografisnya berbeda.

Tapi Indonesia tidak boleh menafikan kenyataan kemajuan teknologi dalam dunia pertahanan saat ini, artinya meskipun Indonesia memiliki doktrin Hankamrata yang khas dengan kondisi Indonesia, negara ini (dan TNI) tidak boleh ketinggalan dalam menguasai alutsista yang modern yang penuh dengan penemuan tekonologi modern seperti teknologi cyber, artificial intelligence, robot, drone, peluru kendali hypesonic dsb.

Wallahua'lam

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

AH
AH
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini