Stunting adalah masalah gizi kronis pada anak usia bawah lima tahun (balita) yang ditandai dengan tinggi badan lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Anak yang menderita stunting akan lebih rentan terpapar penyakit dan ketika dewasa berisiko mengidap penyakit degeneratif. Stunting membahayakan, karena dampaknya merembet ke tingkat kecerdasan sang anak.
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi yang dilansir dari situs Kemenkes RI, pada 2016 angka prevalensi stunting di Indonesia sebesar 27,5 persen. Artinya sekitar 1 dari 3 balita di Indonesia mengalami stunting. Bahkan pada 2017 angkanya meningkat menjadi 29, 6 persen.
Angka ini menempatkan Indonesia berada pada status kronis. Sebab World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan negara mengalami status kronis jika angka prevalensinya melebihi 20 persen. Angka ini juga menempatkan Indonesia di posisi teratas angka stunting terparah di Asia tenggara. Negara tetangga kita yakni Malaysia, angka prevalensinya hanya 17,2 persen.
Pada 2018, menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) menunjukkan, prevalensi balita stunting mencapai 30,8 persen. Setahun berikutnya, menurut hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI), terjadi penurunan tetapi statusnya tidak jauh berbeda dengan angka prevalensi stunting pada 2018, yakni mencapai angka 27,67 persen. Artinya, setiap 10 anak Indonesia, ada 3 orang di antaranya yang mengalami stunting.
Dorongan untuk Pemerintah Daerah agar Prioritaskan Pembangunan demi Cegah Stunting
Pemerintah pusat mendorong daerah menjadikan pencegahan stunting sebagai prioritas pembangunan sehingga seluruh sumberdaya yang dimiliki dapat dimobilisasi untuk pencegahan stunting.
''Dengan komitmen yang kuat kepala daerah saya optimistis target penurunan prevalensi stunting hingga angka 14 persen di tahun 2024 mendatang dapat tercapai,'' ungkap Staf Khusus Wakil Presiden yang juga Sekretaris Eksekutif Ad Interim TNP2K, Bambang Widianto saat membuka Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Percepatan Pencegahan Stunting 2018 - 2024 di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta, Selasa (24/11), dikutip GNFI dari siaran pers.
Bambang menyebut, hingga saat ini, secara bertahap program percepatan pencegahan stunting telah dilakukan 260 di Kabupaten/Kota prioritas. Sejauh ini sudah ada 258 Kepala Daerah dari wilayah prioritas tersebut telah menandatangani komitmen untuk melakukan percepatan pencegahan stunting di wilayahnya. Oleh karena itu, Bambang berharap komitmen tersebut dapat direalisasikan dengan menjadikan pencegahan stunting sebagai prioritas pembangunan di wilayahnya.
Pemerintah Pusat, lanjut Bambang, telah melaksanakan berbagai program yang disalurkan kepada pemerintah daerah melalui berbagai mekanisme. Total dana yang dialokasikan untuk program dan kegiatan yang dikelola oleh Kementerian dan Lembaga pada 2019 adalah sebesar Rp 29 triliun, sedangkan tahun 2020 adalah sebesar Rp 27,5 triliun.
Bambang memaparkan, setelah 3 tahun pelaksanaan program, kemajuan di tingkat outcome sudah dapat terlihat. Ia mencontohkan dalam Survei Status Gizi Balita Indonesia pada 2019 yang menunjukkan prevalensi stunting turun sekitar 3,1 persen.
''Jika ditarik lebih jauh dari tahun 2013, maka rata-rata penurunan adalah sebesar 1,6 persen per tahun,” imbuhnya.
Sedangkan hasil perhitungan Indeks Khusus Penanganan Stunting (IKPS) oleh BPS dengan menggunakan 6 dimensi dan 12 Indikator yang terkait erat dengan stunting, juga menunjukkan bahwa ada kenaikan IKPS sebesar 2,1 dari tahun 2018 sebesar 64,48 menjadi 66,6 pada 2019. Perbaikan yang cukup signifikan adalah pada dimensi gizi dan perumahan yang meliputi cakupan sanitasi dan air minum.
''Kemajuan dan capaian selama 3 tahun terakhir Ini harus diapresiasi karena hal ini tidak akan terjadi tanpa kerja keras seluruh pihak, dari tingkat pusat hingga daerah dan desa,'' terang Bambang.
Peraturan Presiden demi Menurunkan Kasus Stunting
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Bappenas, Subandi Sardjoko mengatakan diperlukan kerja sama lintas sektor dengan dukungan berbagai kementerian dan lembaga untuk mencapai target penurunan stunting di angka 14 persen.
''Permasalahan stunting di Indonesia terjadi hampir di seluruh wilayah dan kelompok sosial ekonomi. Potensi kerugian ekonomi mencapai 2-3 persen PDB atau Rp 260-390 triliun per tahun,'' jelas Subandi.
Maka dari itu, pemerintah terus menekankan agar setiap proyek intervensi tidak sebatas hanya dikerjakan, tetapi harus dipastikan bahwa program itu telah berjalan sesuai rencana. Penajaman intervensi yang dimaksud meliputi jumlah target yang jelas, kualitas yang sesuai standar dan diterima seluruh sasaran, dan dikonsumsi sasaran sesuai ketentuan.
''Jadi bantuan yang diberikan tidak hanya sekadar diterima, tetapi juga harus dikonsumsi (delivered), dan terpenuhi jumlahnya (responsible),'' paparnya.
Saat ini, kata Subandi, Pemerintah tengah menyiapkan rancangan Peraturan Presiden untuk menurunkan angka stunting yang mencakup konvergensi penanganan di tingkat pusat, provinsi, hingga desa. Perpres ini nantinya mengkoordinasikan pelbagai sumber daya sehingga intervensi penurunan stunting benar-benar sampai ke masyarakat.
Ia menambahkan, beberapa hal lain yang perlu didorong di antaranya sistem monitoring evaluasi anggaran agar tepat sasaran, pembangunan dashboard untuk mengamati capaian penurunan angka stunting di masing-masing daerah, serta komitmen serius dari kepala daerah, baik gubernur, bupati dan walikota.
''Tantangan yang kita hadapi saat ini tidaklah mudah, terlebih dalam situasi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Butuh kolaborasi lintas sektor, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, termasuk swasta dan NGO,'' pungkas Subandi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News