Dian Oerip: Milenial yang Berhasil Mengenalkan Wastra Nusantara di Kancah Dunia

Dian Oerip: Milenial yang Berhasil Mengenalkan Wastra Nusantara di Kancah Dunia
info gambar utama

#WrittingChallengeGNFI #BanggaKaryaAnakBangsa

Kain tradisional atau yang biasa disebut dengan istilah wastra merupakan salah satu bagian penting dalam budaya banyak suku di Indonesia. Perkenalan masyarakat Indonesia dengan wastra ini terjadi sejak sekitar abad ke-2, ketika pengaruh Hindu mulai masuk. Karena letaknya yang strategis, Indonesia yang dulu bernama nusantara ini menjadi persinggahan bangsa lain yang ada di sekitarnya.

Ada dua peradaban yang masuk ke Indonesia, yakni dari Barat dan Utara. Dari Barat kedatangan bangsa India yang membawa budaya Hindu dan Buddha yang memberi cukup banyak nuansa bagi budaya nusantara. Para pendatang yang kebanyakan singgah untuk berdagang memang memberi pengaruh budaya yang berinteraksi dan kemudian diadaptasi oleh budaya lokal.

Wastra adalah kain tradisional Indonesia yang memiliki simbol dan makna khusus sesuai dengan mantra tradisi masyarakat lokal, seperti ukuran, warna, dan visual. Indonesia memang kaya ragam wastra, seperti batik (Jawa), tenun ikat Sumba (NTT), tenun Siak (Riau), Maduaro (Lampung), Karawo (Gorontalo), dan lain-lain.

Tentunya kain tradisional ini hanya ada di Indonesia. Maka, keberadaan wastra ini harus menjadi salah satu fokus masyarakat dalam melestarikan kebudayaan lokal. Seperti yang dilakukan oleh salah satu generasi milenial Indonesia saat ini, ia berhasil memperkenalkan wastra nusantara hingga ke mancanegara.

Ia bernama Dian Errakumalasari atau biasa dipanggil “Dian Oerip”. Dian merupakan wanita asli Ngawi, Jawa Timur yang memiliki hobi keliling Indonesia dan fotografi. Ketika menjalankan hobinya, Dian melihat berbagai kebudayaan yang ada di Indonesia.

Dian berpikir bahwa kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam ini sangat keren dan masyarakat dunia harus mengetahui keberadaan kebudayaan ini. Berkat kecintaannya dengan travelling dan fotografi, Dian berhasil memperkenalkan wastra nusantara hingga ke Negeri Paman Sam, Amerika Serikat.

Dian mengenalkan kain wastra dengan mengkombinasikan wastra nusantara dan model fashion terkini. Dengan memakai semua kain nusantara dari Sabang sampai Merauke, menyatukan ibu-ibu penenun dari berbagai pelosok negeri guna memperjuangkan perjalanan ibu-ibu penenun di seluruh nusantara.

Dengan begitu, Dian juga bisa turut membantu meningkatkan perekonomian ibu-ibu penenun tersebut. Dalam pembuatan baju-bajunya, Dian sangat menjunjung tinggi perjuangan para penenun. Hal itu bisa dilihat ketika Dian menerapkan minim potong kain pada proses pembuatan produknya.

Tak heran jika baju-baju karya Dian ukurannya besar-besar. Hal itu dilakukan untuk menghargai usaha para penenun karena harga kain tenun yang cukup mahal. Menurut Dian, banyak warga Indonesia yang belum sadar jika kita kaya akan kain dan tidak ada negara lain yang mempunyai kain sekeren wastra Indonesia.

Dalam podcast YouTube milik “Jinawidotcom”, Dian menyebutkan bahwa ada tiga hal yang membuat wastra harus diketahui oleh warga Indonesia dan layak menjadikan wastra sebagai kain yang istimewa. Pertama, motifnya banyak menceritakan kain setempat. Setiap daerah di Nusantara mempunyai cerita sendiri di setiap helai kain wastra.

Kedua, pewarnaannya. Indonesia negara dengan seribu pulau sehingga kaya akan warna alam. Faktor geografis memperngaruhi warna alam kain tersebut. Contohnya warna biru di Kalimantan memiliki makna yang berbeda dengan warna biru di Sulawesi dan tentu saja hal ini tidak ada di negara lain.

Ketiga, proses pembuatannya. Dalam menenun memerlukan ekstra kesabaran dan ketelitian. Kebanyakan penenun, menenun cerita kehidupannya sendiri. Mereka menenun seperti berdoa dan sembahyang sehingga ada doa di setiap helai kain tenun yang mereka buat.

Berkat ketiga hal tersebut, mulai dari segi filosofi yang sangat mendalam sampai proses pembuatannya membutuhkan keahlian khusus dan waktu yang lama. Tak heran jika harga kain wastra cukup menguras kantong. Namun, hal itu tentunya bukan menjadi masalah bagi para pecinta budaya dan para kolektor untuk membeli karya-karya Dian Oerip tersebut.

Dalam wawancaranya di podcast YouTube tersebut, Dian juga menjelaskan alasan mengapa dia menggunakan kata “Oerip” sebagai nama brandnya. Hal itu rupanya mempunyai makna tersendiri, kata “Oerip” dalam bahasa Jawa mempunyai arti “Hidup”.

Dian ingin agar karya-karyanya dan tenun-tenun dari ibu-ibu penenun tetap hidup dan lestari. Berkat ketekunannya, ia sudah melakukan perjalanan kultural ke pelosok-pelosok daerah pengrajin wastra di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Bali, Sumbawa, Sumba Timur, dan NTT.

Dian juga melakukan berbagai festival dan fashion show di berbagai negara, seperti Belgia, Belanda, Yunani (Athena), Vietnam, dan lain-lain. Terhitung Dian sudah mengunjungi sedikitnya 30 negara untuk mengenalkan wastra nusantara di kancah dunia. Sungguh prestasi yang layak menjadi anutan generasi milenial.

Menurut Dian, masyarakat Indonesia terutama anak muda zaman sekarang harus ikut serta dalam melestarikan kebudayaan bangsa. Sudah cukup banyak negara lain yang mencoba untuk mengakui budaya milik Indonesia.

Dalam melakukan proses penenunan, para penenun kekurangan bahan hingga memaksa mereka untuk membeli dari negara lain, yang membuat motif tenun asal Kalimantan berhasil dijiplak oleh negara tersebut. Bahkan, pemerintahnya pun telah mengenalkan karya jiplakannya itu di berbagai negara.

Tentunya kita tidak ingin hal seperti itu terjadi lagi. Dengan demikian para generasi muda dapat memperkaya pengetahuannya tentang kebudayaanya sendiri. Setidaknya dapat diantisipasi pembajakan kebudayaan yang dilakukan oleh negara-negara lain.

Persoalan yang sering terjadi dalam masyarakat adalah terkadang tidak merasa bangga terhadap produk atau kebudayaannya sendiri. Kita lebih bangga terhadap budaya-budaya impor yang sebenarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagai orang Timur.

Budaya lokal mulai hilang dikikis zaman, oleh sebab masyarakat khususnya generasi muda yang kurang memiliki kesadaran untuk melestarikannya. Akibatnya, kita baru bersuara ketika negara lain sukses dan terkenal dengan budaya yang mereka ambil secara diam-diam.

Budaya nasional harus menjadi bagian dari aset bangsa Indonesia yang dapat mendatangkan pendapatan bagi masyarakat dan negara. Tentunya, perlu ada suatu kesadaran secara nasional dan dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Indonesia pada semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Dian Oerip menjadi salah satu contoh bahwa ada generasi milenial sekarang yang masih peduli dengan budaya Indonesia, hingga memperkenalkannya ke mancanegara. Tentu ia layak dicontoh oleh generasi muda lainnya agar ikut menjaga dan melestarikan aset bangsa yang sangat berharga, jangan sampai aset tersebut hilang dicuri oleh negara lain.

REFERENSI: Channel Youtube: Jinawedotcom | Buletin Air Kita Edisi 2, Dian Oerip = Jalur Wastra, Jombang | Liliweri. Alo, 2007, Makna Budaya dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta, LkiS.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AO
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini