Damar Malam, Tradisi Selikuran Masyarakat Islam Cirebon

Damar Malam, Tradisi Selikuran Masyarakat Islam Cirebon
info gambar utama

Pada hari Minggu 9 Mei 2021, bulan Ramadan telah memasuki hari ke-27. Pada 10 hari terakhir ini dianjurkan untuk meningkatkan ibadah untuk mengharapkan kemuliaan malam Lailatul Qadar.

Pada malam ke 27, masyarakat juga merayakan dengan berbagai tradisi. Tradisi ini sebagai pengingat agar masyarakat mempersiapkan diri untuk beribadah secara maksimal.

Salah satu tradisi keagamaan (Islam) yang unik dan masih cukup bertahan di tengah gempuran arus modernisasi adalah tradisi malam likuran di bulan Ramadan.

Tradisi malam likuran adalah sebuah tradisi masyarakat Islam Indonesia dalam meramaikan bulan Ramadan dengan cara menyalakan damar malam, lampu cangkok/colok, tepatnya di malam ganjil di sepertiga terakhir di bulan Ramadan.

Tradisi menyalakan damar malam sejenis obor yang terbuat dari bilahan bambu di lilit kain dan celupan malam (pewarna batik) menjelang ibadah puasa berakhir hingga kini masih dilakukan sebagian masyarakat Cirebon. Banyak pengrajin batik di cirebon. Jadi tidak susah mendapatkan bahan baku malam yang digunakan untuk membuat damar malem.

Selain itu biasanya masyarakat dapat memperoleh dari para penjual bunga yang ada di pasar-pasar di sekitar Cirebon. Para pedagang menjual damar malam dengan harga Rp1.000 hingga Rp2.000 setiap ikat.

Selepas maghrib anak-anak kecil usia 7 tahun hingga belasan keluar rumah sambil menyalakan “damar malam” yang diletakkan di sudut-sudut rumah sambil menyanyikan yel-yel: damar malam selikure (damar malam tanggal dua puluh satu Ramadan) damar malam telulikure (damar malam tanggal dua puluh tiga), dan seterusnya.

Damar malam harus dinyalakan dengan hati-hati. Bila gegabah, bahan malam yang terbakar akan menetes dan bisa melukai kulit tangan. Tradisi menyalakan damar malam ini dilakukan sesudah berbuka puasa atau sesaat setelah Maghrib tiba. Damar malam itu akan padam dengan sendirinya saat memasuki waktu salat tarawih, atau selepas Isya.

Tradisi turun temurun

Tidak diketahui secara persis kapan dan siapa yang memulai tradisi malam likuran ini di Nusantara. Namun, uraian Hamka (1982) mengenai penyalaan api di malam likuran adalah simbol petunjuk hidayah Islam yang diajarkan oleh Syekh ‘Ainul Yaqin atau yang lebih dikenal dengan Sunan Giri.

Saat itu pelita-pelita pada mulanya dipasang di Masjid Giri. Karena itu jika dilihat dari segi pelaku yang merayakan tradisi ini, merupakan bagian dari tradisi masyarakat Islam di Indonesia.

Sementara itu di Cirebon, tradisi yang turun temurun ini sudah ada sejak Islam. Setelah dinyalakan biasanya damar malam tersebut akan diletakkan pada sudut rumah atau sudut halaman rumah.

"Kegiatan Malam Selikuran ala warga Cirebon ini juga diselenggarakan dalam rangka menyambut datangnya malam Lailatul Qadar, atau Malam Seribu Bulan, yang diyakini akan hadir pada tanggal-tanggal ganjil di Bulan Suci," ucap Dewi yang akrab di sapa Wiwiek salah satu warga Desa Gesik, Kecamatan Tengahtani Kabupaten Cirebon, dikutip dari portaljabar.

Perayaan malam likuran di satu daerah di Nusantara berbeda dengan daerah lainnya. Kendati pun secara ekspresi perayaan berbeda-beda, pada hakikatnya tujuan perayaan malam likuran di beberapa daerah di Nusantara tidak berbeda; yakni meramaikan malam ganjil di bulan Ramadan.

Seperti di Wonogiri, sebagaimana dalam Sartono (2000:4), disebutkan bahwa tradisi perayaan di malam likuran di sana dilakukan dengan menaruh sebuah ting (lampu kecil) yang berbentuk rupa-rupa, seperti ikan, kapal, dan lain sebagainya. Banyak suara gaduh yang disebabkan bunyi petasan yang disulut, dan pada malam itu diadakan selametan.

Selain itu orang Gorontalo juga memiliki tradisi Tumbilotohe atau lazim menyebutnya dengan "Malam pasang lampu". Tradisi ini dilakukan pada tiga malam terakhir menjelang perayaan Idul Fitri dengan menyalakan lampu dari minyak sebagai tanda untuk melepas Ramadhan.

Menurut sejarah, konon tradisi ini sudah berlangsung sejak abad ke-15, dimana pada masa itu lampu penerangan masih minim, untuk meneranginya masyarakat dahulu membuat lampu penerang berbahan wamuta atau seludang yang dihaluskan dan diruncingkan lalu kemudian dibakar.

Di tahun-tahun berikutnya alat penerangan tersebut mulai menggunakan tohetutu atau damar, yakni semacam getah padat yang akan menyala apabila dibakar dan bertahan cukup lama.

Mulai ditinggalkan oleh masyarakat

Tradisi yang biasa disebut malam selikuran ini masih dilaksanakan oleh sebagian masyarakat pada malam ganjil bulan Ramadan. Namun, saat ini tradisi tersebut sudah hampir punah.

Seperti penelitian Nur Syam di kawasan Pesisir Tuban mengatakan bahwa tradisi malam likuran dikenal dengan tradisi colokan, yaitu kebiasaan membuat colok yang terbuat dari kain yang ditalikan di kayu-kayu kecil yang dicelupkan ke minyak tanah dan ketika waktu magrib tiba dibakar di sudut-sudut rumah. Sayangnya tradisi ini di beberapa daerah sudah hilang dan diganti selamatan biasa di rumah-rumah. (Nur Syam, 2005: 182)

Hal ini tidak berbeda jauh dengan yang terjadi di Cirebon. Pasalnya, banyak anak - anak jaman sekarang yang tidak tahu bahwa setiap bulan ramadan ada tradisi Damar Malam.

Seiring dengan hadirnya listrik dan maraknya gadget (internet),serta petasan / kembang api, tradisi ini sudah mulai ditinggalkan masyarakat Cirebon.

Bahkan untuk mendapatkan damar malam tidak lagi mudah. Tidak seperti dulu hampir di semua pasar menyediakan damar malam.

"Dulu semua pasar pasti ada dan menjual damar malam, sekarang sih rada susah dan hanya ada di pasar plered kabupaten cirebon harganya pun sudah lumayan," terang Wiwiek.

Karena itu pihak Keraton Kanoman masih tetap menjaga tradisi ramadan dari tahun ke tahun. Pelestarian budaya leluhur menjadi tanggung jawab bagi penerus keluarga di masa yang akan datang.

Keluarga keraton Kanoman beserta warga sekitar dan perwakilan desa-desa bersilaturahmi, berdoa bersama, sekaligus bertawasul untuk para leluhur dan juga berdoa untuk keselamatan umat. Hal ini sudah dilakukan pada malam ganjil sebelumnya yakni 21, 23, dan 25 Ramadan untuk menyambut Lailatul Qodar.

Kagiatan tersebut diadakan sore hari ba'da ashar yang diadakan di Bangsal Paseban yang dipimpin langsung oleh Pangeran Patih Raja Muhammad Qodiran yang mewakili Sultan Raja Emirudin.

"Selain pitu likuran ada juga tradisi bakar damar di malam hari dengan pengharapan bahwa malam lailatul qodar lebih cerah, mendapatkan malam spesial di antara malam seribu bulan," ucap Ratu Arimbi Nurtina.

Baca juga:

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini