Batu Keramat dan Tenun Jadi Daya Tarik Kampung Adat Namata di Pulau Sabu

Batu Keramat dan Tenun Jadi Daya Tarik Kampung Adat Namata di Pulau Sabu
info gambar utama

Indonesia dikenal dengan keragaman adat dan budayanya. Negara kepulauan ini terdiri dari berbagai suku bangsa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke dengan keunikannya masing-masing. Menurut sensus penduduk oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah suku bangsa di Tanah Air sekitar 1.340.

Dengan lebih dari seribu suku bangsa, bisa dibayangkan betapa kayanya budaya yang ada di Indonesia. Rasanya, perjalanan mengenal dan mempelajari kebudayaan dari setiap suku pun butuh waktu yang amat panjang.

Namun, jika Anda termasuk orang yang tertarik pada adat dan budaya, salah satu hal yang bisa dilakukan ialah mengunjungi desa atau kampung adat yang ada di setiap daerah. Di sana, tentunya Anda bisa melihat langsung keunikan yang ada, mulai dari kehidupan sehari-hari masyarakat setempat, tradisi yang dilakukan sejak zaman dahulu dan masih dipertahankan hingga kini, aturan-aturan adat, dan sebagainya.

Selama ini, ada beberapa kampung adat yang sudah cukup populer dan mendapat banyak kunjungan dari wisatawan. Namun, ada pula kampung adat yang namanya belum terlalu akrab di telinga masyarakat Indonesia, terutama yang daerah asal dan domisilinya jauh dari tempat tersebut.

Salah satu kampung adat unik yang wajib dikunjungi ialah Kampung Adat Namata di Kabupaten Sabu Raijua, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kampung ini berada di Pulau Sabu atau biasa disebut dengan nama Sawu. Lokasinya terletak di sebelah selatan perairan Laut Sawu di sebelah timur Pulau Sumba dan sebelah barat Pulau Rote. Penduduk setempat menyebut pulau ini sebagai Rai Hawu.

Berikut beberapa hal menarik yang bisa Anda temukan di Kampung Adat Namata:

Kepercayaan jingtiu

Dari sisi budaya dan keagamaan, masyarakat di Kampung Adat Namata memiliki sebuah kepercayaan adat yang disebut jingtiu. Jingtiu sendiri merupakaan sapaan tertinggi yang dipahami sebagai sesuatu yang keramat. Nama tersebut dipercaya dapat membakar hingga menghancurkan seseorang dalam sekejap bila disebut sembarangan. Pada praktiknya, dalam pengungkapan nama Tuhan, jingtiu merumuskan satu nama dengan bahasa yang lebih halus untuk menyebut Tuhan dengan kata Deo.

Bagi masyarakat yang sudah memeluk agama yang sudah diakui di Indonesia berpendapat bahwa jingtiu merupakan sekelompok orang tak mengenal Tuhan. Namun, pada acara kebudayaan, nyatanya mereka masih mengungkapkan rasa syukur dan berdoa kepada Tuhan.

Masyarakat di Pulau Sabu masih memegang teguh adat istiadat dan kepercayaan jingtiu ini pun digambarkan memuja dewa-dewa para leluhur. Sekitar tahun 1970, agama mulai dikenal masyarakat setempat dan kini sudah banyak yang memeluk agama Katolik dan Protestan. Perlahan, jingtiu pun mulai ditinggalkan.

Tenun Sabu | @drfrey7 Shutterstock
info gambar

Mengenal 4 Ragam Wastra Tradisional khas Pulau Dewata

Tenun Pulau Sabu

Memasuki Kampung Adat Namata, pengunjung akan diminta mengenakan pakaian adat berupa kain atau sarung motif Sabu. Tak perlu khawatir bila tidak membawanya sendiri sebab di sana pun terdapat penyewaan kain yang bisa digunakan selama berkegiatan di kampung adat.

Salah satu jenis tenun Sabu paling terkenal adalah si hawu atau sarung, higi huri atau selimut, serta naleda atau selendang. Penggunaan kain tenun di Kampung Adat Namata bertujuan untuk menghormati adat istiadat setempat.

Tenun Sabu dibuat dari material benang yang direntangkan pada langa agar mudah diikat. Pengikatan benang dilakukan sesuai motif yang telah dibuat pada pola. Untuk pewarnaan kain menggunakan pewarna alami yang diambil dari dedaunan.

Untuk warna, tenun Sabu biasanya terdiri biru atau hitam dari racikan nila, merah dari mengkudu, dan kuning dari kunyit. Soal motif, umumnya berupa bentuk flora, fauna, dan geometris yang disusun berderet dalam jalur teratur pada selembar kain.

Penggunaan tenun Sabu termasuk sederhana. Kain bisa dilipat di pinggang dan sisanya dilipat ke arah depan untuk memperlihatkan motif ikatan. Kurang lebih, mirip dengan penggunaan sarung pada umumnya. Biasanya jika ada acara malam, masyarakat setempat menambahkan aksen dengan memakai selendang.

Mengenali Berbagai Tantangan dan Upaya Membangun Desa Wisata Berkelanjutan di Indonesia

Batu yang tak boleh disentuh

Kampung Adat Namata didirikan oleh seorang tokoh terkenal Sabu Raijua pada zaman dahulu yaitu Robo Aba. Ia memiliki empat orang anak dan konon anak keempat inilah yang menjadi awal mula terbentuknya empat suku besar di sana.

Di kampung adat tersebut, tercatat memiliki beberapa pemangku adat berbeda. Di antaranya ada Deo Rai (Kepala), Pulod’o (Dewa Matahari), Rue (Dewa Penyakit), Bekka Pahi (Dewa Bumi), Maukia (Dewa Kesuburan), dan Kenuhhe (Dewa Laut).

Memasuki wilayah kampung, pengunjung dapat melihat rumah adat Sabu dengan suasana peradaban zaman megalitik. Di sana terdapat banyak bongkahan batu yang mempunya daya magis.

Setiap batu memiliki nama dan fungsi masing-masing. Ada batu yang merupakan singgasana pemangku adat tertinggi, batu penentu kemenangan dalam perang, bahkan sampai ada batu yang biasa digunakan dalam ritual untuk mendapatkan jodoh.

Ada satu batu yang disebut Rue, yang khusus digunakan dalam ritual orang meninggal dunia akibat kecelakaan, jatuh dari pohon, bunuh diri, atau terbakar.

Karena setiap batu diyakini masyarakat setempat memiliki daya magis yang kuat, pengunjung pun selalu diingatkan untuk tidak sembarangan menginjak, menyentuh, bahkan ada dua batu di ujung-ujung kampung yang tidak boleh difoto. Jika dilanggar maka bisa mendatangkan penyakit atau hal-hal buruk yang tak diinginkan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

Terima kasih telah membaca sampai di sini