Mengenal Konsep Fast Fashion dan Dampaknya Pada Lingkungan Hidup

Mengenal Konsep Fast Fashion dan Dampaknya Pada Lingkungan Hidup
info gambar utama

Tren fesyen selalu berubah dari waktu ke waktu. Ditambah lagi, industri fesyen dunia mengenal empat musim untuk mengeluarkan koleksi terbarunya, dari musim semi, musim panas, musim gugur, hingga musim dingin. Setiap rilis, tentunya akan merepresentasikan mode yang cocok untuk musim tersebut, dari mulai desain hingga material yang digunakan.

Sebagai negara tropis, Indonesia memang hanya punya dua musim, yaitu musim panas dan musim hujan. Namun, menyoal mode, tidak membatasi para penggiat fesyen di Tanah Air untuk tetap mengikuti tren dari negara empat musim.

Dalam waktu sesingkat-singkatnya, selalu ada yang baru di dunia mode. Pada akhirnya hal ini mendorong orang-orang untuk terus berbelanja demi mengikuti tren meski sebenarnya tidak benar-benar membutuhkannya. Apalagi saat ini mendapatkan produk-produk fesyen semakin mudah, bahkan bisa diakses dari genggaman tangan lewat belanja daring.

Kini, isu fast fashion tengah ramai diperbincangkan berkaitan dengan kesadaran akan lingkungan. Sebab, meski mungkin masih banyak yang belum menyadarinya, industri fesyen seringkali tidak memperhatikan dampak pada lingkungan.

Apa itu fast fashion?

Sebelum membahas dampak industri mode pada lingkungan, mari mengenali apa yang dimaksud dengan fast fashion. Pada dasarnya, fast fashion adalah istilah yang digunakan oleh industri tekstil dengan produksi pakaian secara massal dan berganti model dalam waktu singkat. Tak hanya itu, penggunaan bahan bakunya pun kurang berkualitas sehingga memang tidak akan awet.

Konsep fast fashion pun berjalan karena memenuhi permintaan pasar dengan memproduksi pakaian dalam jumlah banyak dan waktu cepat. Istilah ini pun sangat mendukung gaya hidup konsumtif di mana seseorang bisa mendapatkan tampilan penuh gaya dengan harga murah. Karena harga murah dan model pakaian yang bersifat mengetren sesaat, orang pun tidak banyak pertimbangan untuk berhenti menggunakan pakaian lama dan terus menggantinya dengan yang baru sesuai tren terkini.

Tidak sulit mengenali produk-produk fast fashion, di antaranya memiliki banyak model, selalu mengikuti tren terbaru, berganti model dalam waktu singkat, kebanyakan diproduksi di negara berkembang, dan penggunaan bahan baku kurang berkualitas dan tidak tahan lama.

Fast fashion memang menjadi isu besar saat ini. Bila kita kembali ke zaman dahulu sebelum masa revolusi industri, produk fesyen adalah sesuatu yang mahal. Mengingat produksinya pun perlu dikerjakan secara detail, bahkan belum ada mesin-mesin canggih seperti sekarang ini. Karena termasuk barang mewah, tak semua kalangan mampu membelinya.

Pada tahun 1980-an, kemunculan zaman revolusi industri beriringan dengan majunya teknologi. Saat itu, teknologi mesin jahit mulai muncul untuk memproduksi fast fashion. Kemudian, produk fesyen pun dapat menjangkau semua kalangan.

Ilustrasi | @Wirestock Creators Shutterstock
info gambar

Manfaatkan Ribuan Botol Bekas, Museum Plastik di Gresik Gaungkan Kepedulian Lingkungan

Dampak fast fashion pada lingkungan

Sungguh tak dapat dimungkiri lagi bahwa industri tekstil dan pakaian telah mencemari lingkungan di dunia. Menurut World Wild Life (WWF), pembuatan satu buah kaus dari bahan katun setidaknya menggunakan 2.700 liter air. Produksi pakaian secara massal ini tentunya ada kaitannya dengan ketersediaan air di dunia.

Penggunaan air dan energi dalam jumlah besar memang memberikan dampak nyata pada lingkungan, ditambah dengan menipisnya sumber energi tak terbarukan dan emisi gas rumah kaca, yang pada akhirnya turut berkontribusi pada perubahan iklim.

Pencelupan tekstil juga menjadi pencemar air terbesar kedua di dunia. Sisa air dari proses pencelupan ini seringkali dibuang ke parit atau sungai begitu saja. Dalam fast fashion banyak menggunakan serat sintetis seperti poliester, nilon, dan akrilik, yang sayangnya butuh waktu hingga ratusan tahun untuk terurai.

Berdasarkan laporan dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2017 memperkirakan bahwa 35 persen dari semua mikroplastik di lautan berasal dari pencucian tekstil sintetis seperti poliester.

Poliester merupakan salah satu bahan baku yang banyak digunakan dalam industri fast fashion. Ia terbuat dari bahan baku fosil. Saat dicuci, ia akan menimbulkan serat mikro yang meningkatkan jumlah sampah plastik. Kemudian, bahan katun juga biasanya dicampur dengan air dan pestisida dalam jumlah banyak. Ini jelas membahayakan para pekerja, menciptakan tekanan besar pada sumber air, dan menurunkan kualitas tanah.

Berdasarkan laporan “A New Textiles Economy: Redesigning Fashion’s Future” dampak negatif dari industri tekstil akan meningkat drastis pada tahun 2050. Jika tahun 2015 limbah minyak dari produksi tekstil adalah 98 juta ton, maka prediksinya di tahun 2050 akan meningkat hingga 300 juta ton.

Industri ini juga sering menggunakan pewarna tekstil murah dan berbahaya. Dampaknya adalah pencemaran air dan berisiko pada kesehatan manusia. Kemudian, mereka juga berkontribusi pada penurunan populasi hewan karena memanfaatkan kulit binatang sebagai bahan baku dan nantinya dicampur dengan bahan-bahan kimia.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dian Afrillia lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dian Afrillia.

DA
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini