Asal Mula Pengemis yang Lahir dalam Tradisi Sedekah Pakubuwono X

Asal Mula Pengemis yang Lahir dalam Tradisi Sedekah Pakubuwono X
info gambar utama

Hari Sabtu tanggal 30 November 2019 di Ibukota Jakarta, publik dikejutkan oleh Suku Dinas Sosial DKI yang menemukan seorang pengemis di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Operasi rutin yang dilakukan kali ini menangkap seorang pengemis yang bisa dikatakan tajir, bernama Mukhlis yang kemudian diamankan di Panti Sosial.

Mukhlis si pengemis tajir ini memiliki uang sebesar Rp194,5 juta, dan sebelumnya dirinya juga sudah pernah diamankan pada tahun 2016. Peristiwa ini saat itu menarik para pewarta dan menjadi headlines news pada waktu itu dengan fenomena pengemis tajir.

Sementara itu, nama Baim Wong juga tengah menjadi sorotan usai menolak membantu bapak-bapak yang diketahui bernama Suhud Arif. Saat itu Suhud dianggap Baim sebagai pengemis, meski dia bekerja sebagai penjual buku juz amma.

Sejarah Hari Ini (21 Desember 1957) - Kantor Telepon Otomat Solo Dibuka Kembali

"Apa? Jangan, tidak ada ngemis-ngemis begitu,” kata Baim Wong dalam video yang beredar.

Tak mengindahkan wajah kakek yang memelas, Baim Wong justru mengabaikannya dan mendatangi tukang ojek online yang tengah mangkal di sekitar rumah Baim Wong.

Dia kemudian memberi para tukang ojek online tersebut sejumlah uang di hadapan kakek tersebut.

“Tuh kayak dia tuh kerja. Kerja nih ngasih duit, jangan ngemis. Masa ngemis, ngikutin, malu-maluin aja, ngejar-ngejar minta duit,” hardik Baim.

Bersedekah dalam tradisi Nusantara

Bila berkaca ke belakang, praktik bersedekah sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu, yakni pada masa Hindu dan Buddha di Nusantara yaitu pada abad ke-5 Masehi. Praktik derma yang sudah menjadi budaya Hindu dan Buddha ini disebut dengan dana yaitu pemberian atau ritual memberi sesuatu pada orang-orang suci.

"Pada masa Majapahit, pemberian dari raja untuk alasan-alasan politis maupun agama merupakan suatu kebiasaan yang ditemukan pada periode pra-Islam, sedekah ini diberikan kepada pendeta dan masyarakat," jelas Resianita Carlina dalam artikel berjudul Pengemis dalam Tradisi Paku Buwono X Tahun 1893-1939.

Tindakan bederma dihargai sebagai perbuatan yang mulia dalam agama Hindu dan Buddha, dan dianjurkan untuk dilakukan tanpa mengharapkan balas budi dari pihak yang menerimanya.

Sejumlah pujangga Abad Pertengahan mengemukakan bahwa tindakan berderma sebaiknya dilakukan dengan srada (rasa percaya), yang diartikan dengan berniat baik, riang gembira, menyambut si penerima derma, dan bederma tanpa anasuya (mencari-cari kesalahan si penerima).

"Para cerdik pandai Hindu ini menyiratkan bahwa kedermawanan akan sangat efektif bilamana dilakukan dengan senang hati, suatu "keramahtamahan tanpa ragu-ragu", di mana berderma menafikan kelemahan-kelemahan jangka pendek serta keadaan si penerima dan menggunakan cara pandang jangka panjang," ucapnya.

Sejarah budaya filantropi atau bersedekah ini masih terus berjalan sampai masuknya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para pedagang muslim pada abad ke-7 Masehi. Dalam agama Islam kita mengenal adanya rukun Islam.

Zakat termasuk salah satu dari lima rukun Islam, sumbangan ini bisa diberikan pada siapa saja yang dirasa membutuhkan, termasuk juga memberikan zakat dan sedekah pada non-muslim sebagai strategi dakwah Islam.

Perjalanan Ke Masa Lampau Di Masa Kini Eks Pabrik Gula Colomadu

Agama Islam mulai dikenal dan dianut di Pulau Jawa melalui metode dakwah Islam yang dipelopori oleh Walisongo dengan cara mengasimilasikan kebudayaan Nusantara dengan Islam sehingga mudah diterima.

"Pada masa itu ada peristiwa di mana Raden Said atau yang lebih dikenal dengan Sunan Kalijaga ini pernah merampok hasil bumi dan membagikannya pada orang yang membutuhkan," jelas Resianita.

"Walisongo juga mengajarkan pengikutnya agar senantiasa bersedekah. Hal ini dibuktikan dengan adanya prasasti wasiat Sunan Gunung Jati yang bertuliskan ingsun Titip Tajug lan Fakir Miskin yang berarti, Aku titipkan masjid dan fakir miskin," tambahnya.

Resianita mencatat pentingnya sedekah juga dilakukan oleh Raden Patah, Raja Kesultanan Demak dalam mendakwahkan agama Islam dengan acara mengundang masyarakat ke Masjid dengan pertunjukan gamelan.

Saat itu di halaman Masjid, masyarakat datang berbondong-bondong untuk melihat pertunjukan sambil menunggu jatah sedekahan atau pemberian makanan yang dibagikan.

Tradisi sedekah nampaknya juga dijunjung oleh kerajaan Pajang, hal ini terlihat dengan masih adanya tradisi selametan yang masih dijalankan baik di Kerajaan Pajang, Mataram Surakarta dan juga Yogyakarta.

"Tradisi selametan ini selain bermakna ungkapan rasa syukur kepada yang mahakuasa, rupanya bisa meringankan rakyat dengan makan-makanan yang ada," jelasnya.

Pengemis dalam tradisi sedekah Pakubuwono X

Pasca terbelahnya kerajaan Mataram Islam dengan ditandainya Perjanjian Giyanti tahun 1755. Tradisi Bersedekah tetap berlanjut ke dua kerajaan Besar di Ngayogkarta dan Surakarta.

Tradisi untuk bersedekah dan memberi makan orang-orang miskin ini berlanjut di Keraton Surakarta yang ketika itu dipimpin oleh Pakubuwono (PB) X (1893-1939 Masehi).

Selama menduduki jabatan sebagai raja, PB X memiliki kebiasaan yang patut untuk ditiru sebagai seorang pemimpin. Kebiasan PB X adalah memberikan sedekah kepada kaum fakir miskin pada hari kamis.

Dari situlah muncul sebutan bagi orang-orang yang menerima pemberian dari PB X dengan nama wong kemisan, secara perlahan sebutan itu menjadi wong ngemis. Sebutan itu kemudian dipersingkat dan diakui dalam bahasa Indonesia menjadi kata pengemis.

Dahulu kata pengemis tidak dikenal sebagai konotasi kata peminta-minta. Kata pengemis baru muncul setelah pertama kali muncul dalam Koran Bromartani pada tahun 1895.

Pakubuwono X, Raja Pemilik Mobil Pertama di Indonesia

Istilah ini bermula ketika laporan Raden Samingoen Nitiprodjo seorang wartawan Bromartani meliput kegiatan PB X yang suka memunculkan diri pada Kamis sore untuk bersiap mengaji pada Jumat Malam, dirinya berangkat dari Keraton-nya jalan kaki menuju ke Masjid Gede Solo.

"Selama perjalanan ini dia dirubungi banyak orang yang menyembah, dalam perjalanan seringkali pengiringnya yaitu: abdi dalem para Bupati Keraton, Tumenggung Keraton dan Lurah Keraton membagikan kepingan," catat Raden Samingoen.

Dalam pembagian inilah disebut sedekah Sinuwun. Dalam perjalanan istilah ini disebut Raden Samingoen sebagai kemisan dari sinilah kemudian muncul istilah ngemisan atau pengemis untuk mencari berkah.

Sementara itu berdasarkan Serat Sri Karongron Jilid III disebutkan bahwa pada hari kamis siang sang raja keluar mengelilingi keraton untuk melihat keadaan rakyatnya. Ketika mendengar suara dari kereta yang dinaiki raja, rakyat bergegas keluar rumah dan segera berbaris disepanjang jalan menanti raja menyebar uang sebagai sedekah dari sang raja.

"Para kawula atau orang-orang diperkampungan yang rumahnya dipinggir jalan besar. Setiap sudah mendengar suara kereta, dikira pasti sang raja. Segeralah mereka keluar dan berjongkok dipinggir jalan membawa obor yang diacungkan menanti uang disebar," tulis dalam catatan itu.

Tradisi udhik-udhik yang dipertahankan

Pengemis sebenarnya sudah ada sejak puluhan tahun lalu, bahkan menurut staf Keparak dan Mondrobudaya Keraton Surakarta Hadiningrat, KRMH Notowijoyo, keberadaan mereka tidak terlepas dari Keraton.

"Dahulu ngemisan bukan untuk mencari kehidupan tetapi mencari berkah dari orang yang dianggap mulia, kini ngemisan malah dianggap mencari kehidupan dan kegiatan peminta-minta belaka," ucapnya.

Jadi sebutan wong ngemis tambah KRMH Notowijoyo, bagi telinga orang Jawa terutama masyarakat Solo pada waktu itu sudah biasa. Biasanya tradisi ini tidak terlepas dalam prosesi menyebar udhik-udhik, sebagai tanda dimulainya perayaan Sekaten.

Grebeg Sudiro: Bukti Nyata Harmonisnya Antar Etnis di Surakarta

Hal ini merupakan simbol upaya dari seorang pemimpin untuk selalu berusaha menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya. Udhik-udhik tersebut terdiri dari uang receh dan juga beras kuning.

Selain itu tradisi udhik-udhik akan muncul saat perayaan jumeneng yaitu kirab memutari kota Solo dan disetiap perempatan raja memberi udhik-udhik. Jadi hanya saat jumenengan (hari penobatan raja) saat raja akan naik kereta dan memberikan sedekahnya.

"Jadi tidak seperti zaman dahulu yang mana masyarakat akan duduk secara rapi namun untuk saat ini masyarakat yang datang untuk udhik-udhik ini tidak peduli mereka berkecukupan atau tidak, motivasinya sudah berbeda dengan dahulu bahkan mereka yang sudah mengikuti di jalur sebelumnya juga akan menyegat pada jalur lain," ucap KRMH Notowijoyo.

Memang dalam proses perkembangannya kemisan-kemisan itu tidak hanya melekat dalam kaitannya dengan PB X dan semacam kirab udhik-udhik itu, namun sudah lebih banyak berkembang. Hal ini menarik masyarakat khususnya masyarakat yang berkehidupan ekonomi rendah.

"Dalam proses kelanjutannya setiap hari kamis itu dijadikan momentum bagi mereka termasuk ketika sesudah Pakubuwono X mangkat atau wafat. Para peminta-minta itu rutin dan sampai sekarang masih menggunakan hari kamis sebagai momentum, mencari berkah," pungkasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini