Dari Wadas, Kita Belajar

Ahmad Cholis Hamzah

Seorang mantan staf ahli bidang ekonomi kedutaan yang kini mengajar sebagai dosen dan aktif menjadi kolumnis di beberapa media nasional.

Dari Wadas, Kita Belajar
info gambar utama

Demokrasi di Indonesia mengalamai masa naik-turun. Setelah kemerdekaan, Indonesia mengalami pemilihan secara demokratik tahun 1955, namun dipimpin Ir. Sukarno seorang Presiden yang otoriter dan dinobatkan menjadi presiden seumur hidup, memanggilnya pun dengan kata “Paduka Yang Mulia”.

Kepemipinannya juga diwarnai dengan kekerasan, musuh-musuh politiknya dipenjara. Setelah itu, rezim berganti dengan dipilihnya Soeharto menjadi presiden yang mulai berusaha membangun ekonomi setelah terpuruk pada zaman Soekarno.

Berbagai pembangunan nasional dijalankan dengan tahapan-tahapan perencanaan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita. Tidak dapat dimungkiri rencana pembangunan itu menghasilkan banyak hal, namun kepemimpinan rezim Orde Baru (Orba) selama lebih dari 30 tahun itu juga diwarnai dengan kekerasan-kekerasan.

Ketika saya menjadi aktivis mahasiswa tahun 70-an, saya menyaksikan perjalanan pemerintahan Orba yang militeristik. Hampir seluruh aparatur negara baik itu bupati, wali kota, gubernur, kepala dinas, bahkan rektor di seluruh Indonesia dipimpin oleh pejabat dari militer atau polisi.

Bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian untuk tugas skripsi atau disertasi, harus mendapatkan izin dari kantor Sosial Politik (Sospol) yang ketuanya rata-rata berpangkat kolonel. Organisasi mahasiswa yang menyelenggarakan acara pelatihan harus juga mendapatkan izin dari pihak aparat keamanan yang selalu mengirim personel-personel nya berpakain preman untuk memonitor acara mahasiswa itu.

Media yang mengkritik pemerintah, maka pimpinan redaksinya langsung dipanggil penguasa militer dan diperintahkan menghapus pemberitaan yang dianggap negatif.

Memang, saat itu kita sering mendengar bahwa hal itu dilakukan pemerintah Orba demi keamanan dan pembangunan nasional. Bagi siapapun yang melanggar aturan, maka dengan dalih 'demi pembangunan nasional', maka akan ditangkap bahkan dengan cara kekerasan.

Salah satu contoh penggunaan kekerasan zaman Orba itu terjadi di Jawa Tengah pada tahun 1985. Kala itu pemerintah merencanakan membangun waduk baru untuk pembangkit tenaga listrik berkekuatan 22,5 megawatt yang dapat menampung air untuk kebutuhan 70 hektare sawah di sekitarnya.

Waduk ini dinamakan Waduk Kedung Ombo, yang pembangunannya memakan biaya 156 juta dolar AS yang dibiayai oleh Bank Dunia. Lain itu ada 25,2 juta dolar AS dari Bank Exim Jepang dan APBN. Masa pembangunan waduk kemudian tuntas pada 1989.

Waduk mulai diairi pada 14 Januari 1989, menenggelamkan 37 desa dan 7 kecamatan di 3 kabupaten, yaitu Sragen, Boyolali, serta Grobogan.

Sebanyak 5.268 keluarga kehilangan tanahnya akibat pembangunan waduk ini. Beberapa media mengabarkan bahwa pemerintah pusat melalui Mendagri menyatakan ganti rugi tanah Rp3.000 per meter persegi, tapi ternyata penduduk dipaksa menerima Rp250 per meter persegi. Warga yang bertahan dikabarkan mengalami intimidasi, teror, kekerasan, dan penangkapan.

Tragedi berdarah pada masa Orba juga terjadi di Sampang, Madura, ketika pemerintah membangun Waduk Nipah terjadi pada 25 September 1993.

Proses pembebasan tanah menjadi pemicu empat nyawa warga melayang karena tembakan aparat TNI. Waduk ini kemudian dibangun di atas tanah seluas 527 hektare di 3 desa di Kecamatan Banyuantes, yakni Desa Montor, Nagasareh, dan Tebanah.

Warga sontak meenolak pembangunan itu, karena di samping karena ganti ruginya yang kecil, juga karena makam para leluhurnya hilang.

Pada zaman reformasi ini, demokrasi ingin ditegakkan dengan menghindari cara-cara kekerasan dari pihak aparat keamanan seperti pada kasus Kedung Ombo dan Nipah di atas. Namun kenyataannya lain, penggunaan kekerasan oleh aparat terjadi lagi.

Kondisi di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Jawa Tengah, memanas pada Selasa (8/2/2022). Adanya penolakan dari sejumlah warga terhadap pembangunan proyek Bendungan Bener itu menyebabkan kericuhan. Akibatnya, sebanyak 64 Warga Desa Wadas diamankan polisi.

Alasan warga Wadas tolak proyek Bendungan Bener adalah karena khawatir akan dampak lingkungan yang dimungkinkan akan terjadi. Untuk dalih pengukuran tanah polisi, TNI bersenjata lengkap dan Satpol PP 'menyerbu' Desa Wadas, mengejar dan menangkap warga.

Padahal, saat ini cara-cara kekerasan sejatinya tak lagi dilakukan, mengingat dunia semakin transparan seperti gelas kaca bening, di mana semua orang di negeri ini maupun luar sana dapat mengetahui apa-apa yang terjadi.

Negara–negara maju yang memiliki tradisi demokrasi sejak lama, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa juga terkadang ada tindak kekerasan, namun hukum ditegakkan, media dan masyarakat bebas mengontrol tindakan pemerintah yang salah, komunikasi dibangun sebagai sarana untuk saling bertukar ide dan gagasan secara santun.

Karena itu dialam demokrasi ini, pendekatan dengan cara komunikasi semua pihak itu lebih baik ketimbang pendekatan kekerasan atau 'security approach'.

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Penulis aktif menulis di Koran Jawa Pos, Surya, dan rutin menulis di GNFI. Beberapa tulisannya acapkali dimuat/dikutip Koran Malaysia dan Thailand. Penulis yang juga tersohor sebagai akademisi sekaligus profesional di kota kelahirannya, Surabaya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Ahmad Cholis Hamzah lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Ahmad Cholis Hamzah.

Tertarik menjadi Kolumnis GNFI?
Gabung Sekarang

AH
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini