Hutan Keramat, Pelestarian Mitos untuk Melindungi Alam dari Keserakahan Manusia

Hutan Keramat, Pelestarian Mitos untuk Melindungi Alam dari Keserakahan Manusia
info gambar utama

Perubahan iklim yang terjadi dewasa ini disinyalir akibatk oleh tingkah manusia itu sendiri, di samping umur bumi yang makin menua. Manusia yang makin banyak menimbulkan kebutuhan hidup yang makin banyak pula.

Kebutuhan akan air, udara, dan sumber kehidupan lain yang harus dikonsumsi secara bersama. Belum lagi meningkatnya kualitas hidup manusia menimbulkan meningkatnya kebutuhan.

Rentetan kebutuhan hidup ini memberi konsekuensi akan komersialisasi sumber daya alam. Menebang hutan, menjadikan hutan lindung sebagai hutan produksi, menempati daerah penyangga hutan menjadi contoh keserakahan manusia.

Apresiasi untuk Penjaga Hutan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia

Berkebalikan dengan hal tersebut, sesungguhnya banyak konsep yang ditawarkan kearifan lokal agar bisa hidup secara harmoni dengan alam. Kearifan ini telah termanifes sebagai jalan hidup dan bila dilakukan akan memberikan kesejahteraan.

“Tetapi dari sisi sebaliknya, bila manusia telah rakus dalam memanfaatkan alam maka alam dapat memunculkan keganasannya dan menjadi malapetaka bagi manusia,” tulis Drs Sartini dan Drs Syafiq Effendhy dalam jurnal ilmah bertajuk Mitos-Mitos Situs Sakral Alami dan Fungsinya Bagi Pengembangan Etika Lingkungan.

Sartini menyebut salah satu kearifan lokal yang muncul adalah adanya situs-situs sakral alami. Situs-situs ini berkaitan dengan religi, ritual, dan pandangan hidup masyarakat yang sangat mendukung konservasi dan sikap arif terhadap lingkungan.

Pandangan-pandangan tradisional tersebut dapat dilihat pada masyarakat tradisional, baik di lingkungan pegunungan maupun pantai. Banyak contoh bisa ditemukan di dalam negeri misalnya Suku Anak Dalam Jambi, Baduy, Dayak, dan beberapa yang lain.

Mitos situs sakral alami

Situs sakral alami masih banyak terdapat di berbagai negara, salah satunya Indonesia yang masih memilikinya di berbagai daerah, khususnya daerah yang masih terdapat masyarakat tradisional.

Sebagai contoh masyarakat Baduy dan sekitar Jawa Barat (Jabar), masyarakat Kampung Naga, masyarakat Suku Anak Dalam di Jambi, dan lainnya. Di berbagai wilayah di belahan dunia lain sekitar Asia dan Afrika juga masih ditemukan eksistensinya.

Masyarakat yang mempunyai situs sakral alami ini biasanya memiliki mitos-mitos tertentu akan wilayah yang mereka tempati. Selanjutnya, atas dasar kepercayaan tersebut masyarakat melakukan ritual-ritual tertentu.

Sartini menyebut kebanyakan dari adanya mitos,ritual, dan kepercayaan masyarakat tersebut akan berakibat positif bagi pengembangan konservasi biodiversitas yang ternyata banyak dilakukan oleh masyarakat tradisional.

Misalnya mitos Onggoloco yang dipercaya oleh masyarakat Beji, Ngawen, Gunung Kidul dan sekitarnya. Mitos yang dipercayai masyarakat berawal dari kedatangan orang-orang Majapahit karena tekanan Kerajaan Demak.

Para pendatang ini merupakan sekelompok keluarga yang terdiri antara lain seorang ibu, Roro Resmi dan dua anaknya Onggoloco dan Gadhingmas yang kemudian menetap di Wilayah Duren Beji Gunung Kidul sampai hutan Wonosadi.

Perjuangan mereka untuk menguasai tempat itu harus dilakukan dengan berjuang melawan penguasa makhluk halus yang bernama Gadhung Mlathi. Setelah Gadhung Mlathi takluk, dirinya diperbolehkan tinggal di hutan tetapi harus bersedia membantu masyarakat.

Hari Pohon Sedunia: Pameran Cerita dari Hutan #DiruangMaya Diluncurkan

Pada akhir masa tuanya, Onggoloco bersemedi dan moksa. Masyarakat sekitar hutan Wonosadi percaya akan kemampuan spiritual Onggoloco. Mereka juga percaya wasiat atau pesan yang disampaikan sebelum menghilangnya Onggoloco.

Sebagian pesan adalah agar masyarakat menjaga hutan dan memelihara tanam-tanaman yang dapat difungsikan sebagai obat. Kekuatan para makhluk halus juga dipercaya melindungi hutan dari kegiatan merusak.

Di kawasan Gunung Halimun, masyarakat juga mempercayai bahwa hutan merupakan sebuah titipan. Hutan ini diakui oleh mereka sebagai hutan keramat. Menurut pandangan mereka, hutan leuweung titipan merupakan lahan cadangan bagi anak cucu kelak.

Sementara bagi masyarakat Toro, Sulawesi Tengah dikenal ada kawasan hutan keramat yang disebut Ngiki dan Wana. Ngiki ini merupakan kawasan hutan primer yang hanya ditumbuhi rerumputan dan lumut sedangkan Wana di dalamnya ada hewan dan tumbuhan langka yang berguna untuk obat.

Penduduk sekitar menganggap hutan ini keramat karena di dalamnya sering diadakan kegiatan spritual. Wilayah hutan ini tidak boleh diubah fungsinya oleh masyarakat. Misalnya menjadi hutan produktif. Karena hanya digunakan sebagai kegiatan spritual, hutan ini memiliki nilai konservasi tinggi.

Bagi masyarakat Baduy, Hutan Sasaka Domas juga termasuk yang paling disakralkan. Daerah ini menjadi tempat pemujaan, tidak boleh dikunjungi setiap waktu, termasuk orang Baduy sendiri.

Oleh karena itu, hutan keramat tersebut terhindar dari penebangan, pembukaan sawah dan kerusakan, serta memiliki fungsi sangat penting bagi tujuan konservasi, yakni konservasi jenis-jenis tumbuhan, fauna, perlindungan tanah, dan hidrologi air.

Di Bulu Kumba, Sulawesi Selatan (Sulsel) ada juga kepercayaan yang diyakini masyarakat Tanah Toa, Kajang bahwa hutan merupakan pusat kehidupan dan tempat bersemayan roh nenek moyang.

Dari konsep ini dapat diambil pengertian bahwa asal usul manusia Tanah Toa berasal dari kehidupan hutan. Manusia dan hutan mempunyai keterkaitan, karena itu mereka memiliki aturan yang tertuang dalam ajaran pasang.

Pasang tidak boleh diubah, larangan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk melestarikan, baik Ammatoa (pemimpin suku), lingkungan, dan budaya. Di sini ada pesan menjaga hutan beserta isinya, penebangan yang tidak terkendali akan merugikan, dan urusan penebangan hutan adalah tugas Ammatoa.

Sedangkan di wilayah Siberut Sumatra Barat (Sumbar), ada daerah yang juga dikeramatkan yaitu di dusun Rokdok. Kawasan ini dapat dikategorikan sebagai hutan sekunder, tetapi dikeramatkan dan tidak sembarang orang bisa masuk.

“Kawasan ini dianggap keramat karena menurut pengalaman masyarakat sekitarnya, wilayah ini mempunyai kegaiban-kegaiban,” ucap Sartini.

Situs keramat alami sebagai upaya konservasi

Secara umum situs keramat alami terdapat di lingkungan masyarakat yang masih memegang teguh aktivitas sosial budaya tradisional, kebanyakan komunitas ini tinggal di hutan atau gunung.

Namun menurut Sartini, baru ada sedikit perhatian kepada potensi konservasi tempat alami yang sakral ini. Padahal justru dampak dari sistem kuno yang tersebar luas di masyarakat dan area lindung berbasis religius ini sangat mendukung konservasi biodiversitas.

Karena itu harapannya area yang dilindungi negara dan berbasis masyarakat, terutama berbagai situs keramat alami, seharusnya dilihat sebagai bagian komplementer dari upaya pendekatan konservasi modern.

Cerita Berseminya Hutan Cogong Pasca Perambahan Selama Dua Dekade

“Oleh karena itu, aspek kultural dari eksistensi konservasi dan bio-diversitas menjadi kajian penting dalam pengembangan keilmuan dunia internasional,” bebernya.

Kajian Verschuun yang berjudul Sacred Natural Sites: Conserving Nature and Culture menunjukan bahwa situs keramat alami meskipun sekarang berada dalam ancaman dipercaya tetap dapat melindungi suatu kawasan atau wilayah warisan.

Dalam bukunya itu, Verschuun mencoba melihat adanya perubahan global yang mempengaruhi situs tersebut. Sehingga konservasi kultural dan biologis perlu memperhatikan pendekaan nilai-nilai budaya dan spritual dan sekaligus kepentingan secara ekonomi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
MI
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini