Mengenal Cara Kerja Istiwa, Jam Kuno yang Diandalkan sebagai Penanda Salat

Mengenal Cara Kerja Istiwa, Jam Kuno yang Diandalkan sebagai Penanda Salat
info gambar utama

Waktu azan di Masjid Langgar Agung, Magelang terkadang berbeda dengan masjid yang berada di sekitarnya. Hal ini karena penunjuk waktu atau jam yang digunakan adalah istiwa atau jam yang berpatokan pada sinar matahari.

Dimuat dari Detik, jam ini berupa lempengan tembaga atau kuningan yang ditekuk serupa setengah lingkaran, kemudian di atasnya dipasang sebuah benda semacam paku. Pada lempengan itu terukir angka yang menunjukkan waktu.

Pada saat matahari menyinari jarum, bayangannya akan jatuh pada angka tersebut. Jam matahari ini kerap berbeda dengan jam biasa, tergantung dengan musim. Perbedaan tersebut berkisar antara 5 hingga 30 menit lebih cepat dibanding waktu biasa.

Pengelola Masjid Langgar Agung, KH Ahmad Nur Shodiq menuturkan, dirinya memasang dua jam sebagai pembanding waktu. Digunakan jam istiwa tersebut, membuat jamaah kadang tertinggal. Pasalnya, masyarakat sekitar berpedoman pada jam biasa.

“Pernah suatu ketika istiwa dan jam biasa selisih 30 menit, pas sudah azan jamaahnya belum ada yang datang sama sekali,” kata Ahmad yang diwartakan Detik.

Legenda Akek Antak, Jejak Islamisasi di Bangka Belitung dan Kearifan Lingkungan

Berawal dari Solo

Di Jawa Tengah, istiwa ini termasuk salah satu dari tiga yang ada. Dua lainnya ada di Masjid Agung Kauman Kota Magelang dan Masjid Raya Solo. Saat itu memang belum ada jam digital seperti yang ada sekarang ini sebagai patokan waktu.

Sekretaris Masjid Agung Solo, Abdul Basid Rochmad mengatakan jam istiwa dibuat pada 1784. Sedangkan Masjid Agung dibangun sekitar 1763-1768 pada masa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang dipimpin oleh Raja Paku Buwono (PB) III.

“Saat dulu belum ada jam analog seperti sekarang, muncullah ide nenek moyang terdahulu untuk menciptakan jam ini sebagai penunjuk waktu sholat,” katanya yang diwartakan Solopos.

Meski usianya sudah sekitar seratus tahun lebih, tapi kondisi jam istiwa masih bagus, kokoh, bersih serta terawat. Untuk menjaga agar terjaga dan tidak rusak, jam istiwa diletakkan di atas tembok dan ditutup dengan kaca bening.

“Hingga kini jam istiwa masih kita gunakan untuk menentukan waktu sholat dzuhur dan sholat ashar,” paparnya.

Dikatakannya penggunaan jam istiwa dikomparasikan atau dicocokan dengan waktu shalat yang ditunjukkan berdasarkan Greenwich Mean Time (GMT) yang menjadi patokan utama. Ada selisih sekitar 20 menit antara GMT dengan jam istiwa.

Bedug, Simbol Akulturasi Antara Budaya China Dan Islam

Cara kerja

Dengan dilengkapi pandom atau jarum yang posisinya dipasang horizontal mengarah utara-selatan, bayang-bayang dari jarum itu mempunyai arah jatuh dan memiliki arti waktu tertentu, seperti saat menunjukkan angka 12 siang.

Karena mengandalkan sinar matahari, jam istiwa di masjid tersebut hanya berfungsi sebagai penanda waktu Zuhur, Ashar, dan Maghrib. Sedangkan untuk waktu Subuh, kata Basid dilihat dari menara Masjid Agung Solo.

“Matahari sudah terbit dari ufuk masuk waktu Subuh,” imbuhnya.

Disebutkan penunjuk waktu kuno itu berbentuk cekung setengah silinder. Pada cekungan terdapat garis-garis disertai angka satu hingga 12. Terdapat pula relief tulisan Jawa pada sisi bawah jam istiwa yang artinya angka 1784.

Banyak jemaah yang penasaran dan mengamati jam istiwa itu, sebagian dari mereka asing dengan benda yang tertutup kaca dan berwarna biru itu. Mereka mengaku cukup kagum dengan para leluhur yang bisa membuat benda yang begitu informatif.

“Baru pertama kali lihat jam istiwa, setelah baca keterangannya ternyata ini sebagai penunjuk waktu sholat. Bagus juga ya orang zaman dahulu bisa membuat benda yang informatif,” katanya.

Perpustakaan Ulama Pertama di Indonesia Diresmikan

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

RK
SA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini