Pak Mantos, Sang Pelayan Kesehatan Masyarakat

Pak Mantos, Sang Pelayan Kesehatan Masyarakat
info gambar utama

Mentari bersinar cukup cerah sore itu kala saya dan rombongan peserta Summer Course 2022 menginjakkan kaki di Puskesmas Pengasih II, Kabupaten Kulonprogo. Selepas hampir sejam menempuh perjalanan dari kampus Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (FKKMK UGM), akhirnya tibalah kami di tujuan. Baru sekejap sejak turun dari bus, sembari menurunkan barang-barang bawaan, kami dihampiri seorang pria paruh baya berseragam Puskesmas.

“Langsung naik ke aula pertemuan saja, sudah ditunggu Bu Kepala,” ujarnya mempersilakan kami semua.

Kami serempak mengikuti langkah kaki pria tadi. Ia membawa kami menuju sebuah ruangan yang telah siap dengan barisan kursi yang berjajar rapih. Kami hanya bertujuh kala itu, lalu mengapa kursi yang tersedia begitu banyak?

“Tadi baru ada kunjungan dari dinas Jawa Timur, baru saja usai,” terang pria tadi seolah mengerti pertanyaan yang menggelayuti benak kami.

Ia lantas mempersilakan kami duduk dan meminta undur diri sebentar. Tak lama berselang, lelaki tadi kembali memasuki ruangan bersama seorang wanita dan seorang pria berkaca mata. Ketiganya lantas duduk di kursi paling depan sisi sebelah kanan dengan posisi tegak lurus dari barisan kursi yang kami duduki.

Ternyata, wanita serta lelaki berkacamata tadi adalah Ibu Kepala Puskesmas yang didampingi Kasubag Tata Usaha. Singkatnya, ketiga punggawa Puskesmas tadi memperkenalkan diri kepada kami sembari menyambut kehadiran kami semua. Alhasil, kami pun tahu identitas ketiganya.

Lelaki paruh baya tadi bernama Pak Mantos—sanitarian, Kepala Puskesmas yakni dr. Salamah, serta Pak Sri Harjanto sang Kasubag TU. Sesuai arahan dr. Salamah, selama kegiatan Summer Course ini, Pak Mantos akan menjadi supervisor kami.

Usai prosesi welcoming yang berlanjut jahe break, kami diantarkan ke rumah yang akan kami diami selama sepekan ke depan. Saya mendapat sebuah ruangan besar untuk menjadi kamar semenjana. Agaknya, status saya sebagai satu-satunya lelaki dalam rombongan membuat pemilik rumah menghadiahkan kamar khusus bagi saya.

“Lumayan, blessing in disguise,” pikir saya dalam benak.

Tanpa butuh waktu lama, entah mengapa kami langsung bisa akrab dengan pemilik rumah, yakni Pak Is dan Bu Sar. Pak Is adalah seorang pensiunan pegawai kecamatan, sedang Bu Sar adalah analis laboratorium di Puskesmas Pengasih II. Usut punya usut, ternyata keduanya memang rutin menerima peserta Summer Course sejak warsa 2013. Karenanya, mereka telah terbiasa dan mudah membangun chemistry.

“Kami senang dengan kehadiran mahasiswa. Rumah kami menjadi tak sepi lagi,” ungkap Bu Sar saat makan malam.

Esok harinya, selepas menandaskan sarapan nasi goreng mahakarya Bu Sar, kami bersiap untuk menjalani kegiatan. Sesuai jadwal yang telah dirilis Pak Mantos, agenda hari ini adalah penyuluhan penyakit kronis, Posyandu balita, bulan imunisasi anak sekolah (BIAS), serta pemberantasan saran nyamuk (PSN).

Saat sesi briefing di Puskesmas, Pak Mantos menyarankan agar kami bertujuh dipecah untuk setiap kegiatan. Kami sepakat dengan beliau.

Veren dan Mery memilih mengikuti BIAS. Lintang dan Piyarat bergabung dengan Posyandu balita, sedangkan Hamidah dan Akash mengikuti penyuluhan penyakit kronis. Tak ada yang memilih PSN, yang berarti opsi itu jatuh kepada saya. Saya tak berkecil hati, toh saya pikir ini terdengar menarik.

Kami pun langsung bergerak bersama masing-masing field supervisor. Kebetulan, saya didampingi Pak Mantos sendiri. Beliau membawa saya menuju kantor Kelurahan Margosari.

“Sebelum PSN, kita koordinasi dulu, Mas. Nanti saya kenalkan dengan Pak Lurah Margosari,” terang beliau.

“Siap, Pak,” jawab saya penuh semangat. Sepanjang perjalanan kami mengobrol haha hihi seputar ini dan itu. Menurut saya, Pak Mantos adalah pribadi yang asyik serta ringan bergaul dengan siapa saja. Tak terkecuali saya yang baru sehari ini kami berkenalan cukup intens.

Tibalah kami di Kelurahan Margosari. Setelah sedikit bercakap dengan Pak Danang—Lurah Margosari, kami perlu menunggu cukup lama hingga para undangan rawuh.

“Di desa, sistemnya begini, Mas. Undangan jam sekian, sampai jam segini belum hadir semua,” dahi Pak Mantos berkernyit.

Butuh beberapa puluh menit untuk memastikan para warga dan pejabat hadir. Sekitar pukul setengah sepuluh, Pak Mantos membuka acara dan memberikan pengarahan. Tepat pukul sepuluh, para warga dan pejabat yang hadir telah mendapat jatah setiap daerah RT yang harus dikunjungi.

Daerah yang disasar hari ini adalah Padukuhan Kembang. Padukuhan ini terdiri atas enam RT. Saya bersama Pak Mantos kebagian RT 15. Menurut penuturan Pak Mantos, Padukuhan ini merupakan daerah rawan terjangkit demam berdarah.

“Sini kasusnya yang paling tinggi, Mas. Tahun kemarin ada 18 dan ada yang meninggal,” jelasnya.

Saya mengangguk-angguk seakan paham. Di dalam hati, saya mencoba berempati. Betapa nggrantesnya duka Pak Mantos selaku sanitarian yang bertanggung jawab atas kesehatan masyarakatnya.

Rumah demi rumah kami jajaki satu persatu. Kata Pak Mantos, tidak perlu semua rumah didatangi. “Cukup sampling saja,” imbaunya.

Kami mendata sepuluh rumah di RT 15 tersebut. Dari hasil pengamatan kami, ditemukan tiga rumah yang kedapatan ada sarang jentiknya. Ketiganya ditemukan di dalam rumah, mayoritas berada di bak mandi yang jarang dikuras oleh pemiliknya.

“Rutin dikuras nggih, Mbak. Bahaya ini,” saran Pak Mantos.

Sepanjang pengecekan ini, saya merasa kagum dengan pribadi Pak Mantos. Beliau sosok yang terlihat begitu dekat dengan masyarakat. Meski agenda kami sebenarnya hanya melakukan pengecekan jentik, beliau dengan cermat bahkan memastikan para warga telah divaksin dan tidak mengidap penyakit tertentu. Tak heran bila sambutan masyarakat begitu hangat ketika beliau datang. Beberapa bahkan menawari untuk makan bersama.

“Bonus kerjaan saya, Mas. Dapet saudara baru,” ujarnya sumringah.

Tak berhenti di sini, dalam kegiatan-kegiatan selanjutnya, Pak Mantos terus menunjukkan perangainya dekat dengan rakyat. Statusnya sebagai pegawai tak membuatnya berjarak dengan masyarakat.

“Saya seneng dekat dengan mereka,” bebernya.

Saya sempat bertanya kepada beliau soal perjalanannya menjadi penyuluh kesehatan yang ternyata telah berjalan hingga 20 tahun lebih. Ia bercerita bahwa banyak asam garam perjuangan yang telah ia teguk. Pengorbanan energi, pikiran, hingga finansial merupakan hal biasa baginya.

“Yang penting banyak bersyukur,” prinsipnya.

Beliau adalah figur penyuluh kesehatan yang tahu makna di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung. Di hadapan masyarakat, ia cakap memadukan pendekatan persuasif-sugestif untuk membuat mereka peduli akan kesehatan.

Kedekatan itu membuatnya jeli akan ide brilian yang ia tawarkan kepada para pejabat. Tak pelak, terbangunlah sinergi harmonis antara pemerintah dengan rakyat.

Saya merasa bersyukur sekali bertemu dengan sosoknya. Lewat beliau, benderang sinar pengorbanan, perjuangan, dan ketulusan itu berpendar menerangi hari-hari saya di Kulonprogo.

Sumber: Dikembangkan dari catatan pribadi penulis selama mengikuti kegiatan Summer course FK-KMK UGM 2022 di Kapanewon Pengasih, Kabupaten Kulonprogo, DIY.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MM
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini