Janji: Suatu Hari Nanti

Janji: Suatu Hari Nanti
info gambar utama

Liburan Natal tahun ini, papa mengajakku mengunjungi salah satu suku pedalaman di provinsi. Sebenarnya, itu saran mama agar membawaku ke Badui setelah aku menyampaikan bahwa ada tugas liburan untuk membuat esai tempo hari. Karena memang waktu papa terlalu padat untuk memenuhi janjinya mengajakku ke Bali, destinasi wisata yang dipilih akhirnya masih seputar wilayah Banten.

Untuk orang yang baru pertama kali ke sana, aku tidak menyesal, toh mataku dimanjakan oleh pemandangan alam yang luar biasa. Walau waktu tempuh dari Tangerang ke Terminal Ciboleger begitu membuat penat, belum lagi dihadapkan dengan akses jalanan yang bergelombang, ditambah perjalanan naik turun gunung dari terminal menuju Badui Dalam yang harus ditempuh dengan berjalan kaki, tetapi pesona budaya dan nuansa perkampungan adat di sana begitu terasa. Apalagi, ketika memasuki kawasan kampung Cibeo, hiruk pikuk kota metropolitan seolah tenggelam oleh keheningan hutan.

Aku juga berkenalan dengan Wapak, anak dari pemilik rumah yang kami singgahi untuk menginap lima hari empat malam. Usianya sebaya denganku, atau mungkin satu dua tahun di atasku. Di sana, aku mengajarinya aksara, sehingga dia menjadi girang tidak terkira tatkala bisa mengeja namaku dengan terbata. Sebaliknya, aku diajaknya berkeliling kampung, mencari kayu bakar, bermain air di sungai, bahkan menjahili kakak perempuannya yang dengan tekun sedang belajar menenun.

Aku bahagia. Melupakan rutinitas mandi pagi dan sore, bebas berlarian ketika hujan datang, dan tidak lagi dimarahi mama karena makan menggunakan tangan. Ah, mama sepertinya dengan sadar dan tanpa paksaan membiarkanku menuntaskan hasrat bermain, tertawa lepas, menghabiskan waktu liburan dengan tenang, sebelum akhirnya kembali berinteraksi dengan buku-buku.

Hingga akhirnya, perpisahan itu tiba.

Perpisahan itu tiba
info gambar

Aku berusaha keras menahan tangis. Berulang kali mama memintaku untuk menunduk menyampaikan ucapan terima kasih. Papa juga memaksa menyelipkan beberapa lembar uang ke tangan olot-nya (sebutan bapak bagi masyarakat suku Badui) Wapak. Sementara aku terus membisu, diam membeku. Berat rasanya berpisah dengan rutinitas kebebasan ini. Apalagi Wapak begitu menyenangkan diajak bermain. Begitu mengasyikan diajak belajar.

“Aku akan menunggumu di kota. Datanglah! Sehingga kita bisa menciptakan dunia yang kita suka.” Tuntutku sambil menyerahkan kartu nama papa secara diam-diam, yang tak lupa kububuhi tanda tangan: biar sedikit lebih keren. Dia mengangguk, berjanji dan menyilangkan jari. Lalu berdiam diri. Adapun kami, kembali.

Baca juga: Cerita Rakyat dari Jawa Tengah: Kisah Timun Mas

Ya, aku kembali. Memakai seragam dan berangkat ke sekolah, menceritakan pengalamanku di depan kelas, mendapatkan nilai tertinggi, belajar, ujian, dan naik kelas. Begitu seterusnya. Sudah hampir lima tahun berlalu, tetapi Wapak tidak pernah berkunjung. Kini aku memasuki tahun terakhir di SMA, dua kali mendapatkan kelas akselerasi. Walau kehidupan remajaku dipenuhi romansa, tetap saja bayangan Wapak yang mengingkari janji selalu menghantui. Dua kali aku mengikuti darmawisata sekolah untuk mengunjungi Badui Luar. Namun kunjungan itu sangat singkat, sehingga aku tak menemukan waktu luang untuk berkunjung ke Badui Dalam secara diam-diam. Selain karena jaraknya yang jauh dan melelahkan. Hal itu membuatku semakin gila melampiaskannya dengan belajar, menyendiri, terbuai oleh buku.

Sampai suatu hari, ketika aku pulang sekolah, seorang pemuda dengan memakai baju serbaputih yang dilengkapi ikat kepala, berdiri di ruang tamu rumahku dan memperhatikan setiap jengkal foto yang terpajang. Aku berdeham, membuatnya sontak berbalik. Satu dua detik kuperhatikan raut wajah yang melebihi usianya: berkerut, hitam terpanggang panasnya terik hutan. Lima detik kurasakan ujung mataku berair, tanganku bergetar. Dia datang. Dia menuntaskan janjinya.

“Wapak!” pekikku sambil berhambur merangkulnya. Dia nyata. Benar-benar Wapak. Tubuhnya kekar dan keras, lebih tinggi sekitar lima sentimeter dariku. Aku mendekapnya semakin dalam, sengaja berlama-lama untuk meneruskan haru, melempaskan rindu. Akhirnya bertemu.

Kami mengobrol banyak hal, terutama keterlambatannya memenuhi janji. Diceritakan bahwa ia baru diizinkan ke kota untuk menjajakan madu dan kain. Sehingga, ketika akhirnya ia mendapatkan restu, segera saja alamat yang tertera di kartu nama ialah tempat yang pertama kali dituju: tentu dengan bantuan orang-orang yang dengan fasih membaca aksara.

Namun, karena alamat itu merujuk pada perusahaan papa, ia sempat mendapatkan masalah. Ia tidak diterima oleh petugas keamanan dan terpaksa mendekam semalaman di sel tahanan atas tuduhan pemaksaan bertemu pemilik perusahaan sehingga membuat kegaduhan. Mendengar hal tersebut, papa menemuinya di sel tahanan dan langsung menyadari tanda tanganku di kartu nama yang dibawa oleh Wapak. Terang saja papa bertanya beberapa hal hingga teringat anak kecil yang menjadi temanku ketika liburan di Badui lima tahun lalu. Maka, dengan mudah urusan penahanan diselesaikan dan Wapak diantar menuju rumahku.

Pada saat itu pikiranku meracau, memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa dengan mudah menemui Wapak. Agar aku bisa dengan mudah merasakan kembali aroma kehidupan yang bebas. Hingga pada akhirnya imajinasiku terhenti pada satu keputusan: Badui harus menjadi tempat yang mudah digapai. Jika demikian, pikirku, pertemuanku dengan Wapak bisa dijadwalkan tanpa banyak waktu dan tenaga yang dikeluarkan.

Hatiku seketika bertekad, mulai sekarang dan seterusnya, belajarku bukan lagi soal tuntutan papa dan mama, bukan lagi soal pelampiasan kekecewaan, melainkan untuk mewujudkan dunia yang kusuka. Dengan potensinya, kubayangkan Badui menjadi dunia yang menghubungkan kota dan desa, dengan jalanan rapi, mulus, dan rata. Sehingga bisa kupakai untuk mengunjungi Wapak kapan saja. Di sana, kuberdayakan potensi budaya dan wisata hingga terdengar ke mancanegara, agar anak-anak desa bisa menikmati usahanya, agar putra-putra bangsa bisa mendapatkan keadilan secara merata, dan nama baik negara menjadi harum sepanjang masa.

Kemudian tentu saja, aku dan Wapak berada di dalamnya: bermain dan belajar bersama, menciptakan dunia yang kami suka.

“Aku berjanji. Mungkin tidak hari ini, tetapi nanti. Namun, walaupun letih kamu menanti, lelah kamu mengabdi: percayalah bahwa akan aku tepati. Aku akan berusaha. Bantulah aku dengan doa. Kita wujudkan dunia yang kita suka bersama-sama.”

. Akhirnya janji itu terpatri, ditandai dengan penyilangan jari kami.

“Ya. Aku sangat menantikannya. Terima kasih, A-ru-ga-le-o!”

Aku tersenyum. Aku menangis. Lalu tertawa. Akhirnya dia bisa mengeja namaku dengan sempurna.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

KK
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini