Mengenal Marga Serampas: Tradisi dan Pengetahuan Lokal para Pelestari Alam

Mengenal Marga Serampas: Tradisi dan Pengetahuan Lokal para Pelestari Alam
info gambar utama

Masyarakat gelisah melihat hutan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) digunduli. Pembakaran hutan terjadi di mana-mana. Puncaknya terjadi ketegangan sosial antara penduduk lokal dan pendatang.

Pendi masih mengingat konflik yang terjadi pada tahun 1993, ketika ribuan warga pendatang dari daerah tetangga merambah hutan-hutan perawan di Kecamatan Jangkat, Merangin, Jambi untuk dijadikan hamparan kebun kopi.

“Kami sempat menggelar sidang adat. Hasilnya bulat, mereka harus meninggalkan wilayah hutan kami,” ujar Ishak yang dimuat dari Kompas.

Masalah Sampah di TN Kerinci Seblat dan Dampaknya pada Sektor Wisata

Masyarakat setempat masih meyakini kehidupan akan senantiasa terjaga dengan menghormati hutan beserta seluruh penghuninya. Hal inilah yang menjadi bagian dari peradaban Serampas yang lekat dengan alam rimba.

Persoalan memulangkan perambah pendatang bukan hal mudah, pasalnya telah terjadi jual-beli lahan dalam hutan adat. Warga kemudian menelusuri siapa yang bermain dalam praktik jual beli lahan tersebut.

Rupanya ada warga lokal terlibat. Sidang adat kembali digelar dengan menghadirkan warga tersebut. Dijelaskan oleh Ishak, orang tersebut mengaku telah menjual lahan karena membutuhkan uang untuk membiayai sekolah anaknya.

Karena itulah para tetua adat sepakat membeli kembali lahan asalkan para pendatang meninggalkan hutan yang berada dalam pengaturan hukum adat Serampas. Sejak itu tidak ada lagi pendatang yang boleh membeli tanah di sana, dan konflik berakhir.

“Kami tak ingin menjajah. Kami juga tak mau dijajah,” tegas Ishak.

Para pelestari hutan

Masyarakat adat membatasi pembaruan dengan masyarakat luar. Bila ada pemuda yang menikah dengan perempuan dari luar wilayah, mereka harus keluar dari Serampas. Sebelum pergi, mereka harus mengembalikan seluruh tanah warisan.

Hal ini agar sumber daya setempat sepenuhnya dalam kendali adat. Hal ini karena Masyarakat meyakini kehidupan akan senantiasa terjaga dengan menghormati hutan beserta seluruh penghuninya.

Misalnya cerita Kepala Desa Rantau Kermas, Usman Ali yang ketika kebingungan mencari jalan pulang meminta pertolongan harimau dalam hutan untuk menunjukan jalan. Tak lama, Las, panggilan akrabnya mendapati jejak-jejak harimau.

Daftar Gunung di Indonesia yang Sudah Resmi Dibuka Setelah Lebaran

Dirinya pun mengikuti jalan tersebut yang membawanya pulang ke desa. Kejadian itu semakin menguatkan keyakinan masyarakat bahwa, ketika menghormati alam, seluruh isi hutan itu akan turut memelihara kehidupan mereka.

Alutral B Serampas menyatakan hukum adat melarang masyarakat menebang kayu di hulu sungai dan di lembah yang curam. Mereka percaya karena hal itu bisa mengakibatkan erosi. Kayu-kayu yang ditebang dari hutan tidak boleh untuk diperjualbelikan.

Biasanya hanya untuk konsumsi sendiri dan kayu bakar. Jika ingin membuka ladang semua kayu boleh ditebang kecuali cempedak, manggis, durian, petai, pohon sri. Alasannya karena ini adalah tanaman peninggalan nenek moyang.

Ketua Lembaga Tiga Beradik (LTB), Gusdi Warman menyatakan masyarakat sudah melakukan usaha-usaha konservasi seperti Rimbo Gano dan Lubuk Larangan yang sama sekali tak boleh dikelola sebagai kebun.

“Artinya pemerintah perlu mempertimbangkan hutan adat sebagai hak kelola masyarakat sebab mereka terbukti memiliki kemampuan melestarikan hutan,” ucapnya yang dimuat Mongabay Indonesia.

Mengatur kepemilikan tanah

Disebutkan oleh Altural soal kepemilikan tanah juga diatur dalam adat. Setiap warga dibatasi maksimal memiliki 2 hektare lahan dalam waktu satu tahun. Tanah tersebut wajib ditanami. Setiap orang juga dilarang memiliki rumah lebih dari satu buah.

Lembaga adat juga melarang masyarakatnya menjual tanah kepada orang luar. Bila ketahuan, orang yang menjual maupun yang membeli akan diusir dari Serampas. Tanah yang diperjualbelikan akan diambil alih desa atau anak nagari.

Warga yang menjual kayu dari dalam hutan terkena denda seekor ayam dan segantang beras. Warga yang membuka ladang dalam hutan larangan di denda 20 gantang beras dan seekor kambing.

Harum Kopi Arabika di Kaki Gunung Tertinggi Sumatera

“Warga menyandarkan penghidupan dengan mengelola satu hektare lahan per keluarga. Lahan ditanami padi dan sayuran,” jelas Irma Tambunan dalam Kearifan Serampas Menjaga Peradaban.

Direktur Mitra Aksi Hambali menilai sistem peradaban dan kearifan lokal marga Serampas masih utuh, hal ini dalam konteks pengelolaan alam dan hubungan masyarakat. Kondisi desa yang terisolir memperkecil interaksi dengan dunia luar.

“Pembangunan yang minim menyentuh mereka rupanya menguatkan komunitas ini bertahan menjalani kehidupan dengan kearifan lokal,” tegasnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini