Maraknya Calo Tiket Coldplay: Bukti Gagalnya Pemerintah dalam Mengatasi Praktik Percaloan

Maraknya Calo Tiket Coldplay: Bukti Gagalnya Pemerintah dalam Mengatasi Praktik Percaloan
info gambar utama

Selama satu bulan terakhir, masyarakat dihebohkan dengan kabar bahwa Coldplay akan menggelar konser di Indonesia, tepatnya di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta Pusat pada tanggal 15 November 2023 mendatang. Kabar tersebut tentu menimbulkan euforia yang cukup besar, utamanya di kalangan para penggemar Coldplay. Banyak masyarakat yang rela mengorbankan waktu bahkan uang dengan jumlah yang tidak sedikit untuk bisa membeli tiket.

Tidak sampai di situ, masyarakat yang bukan merupakan penggemar Coldplay juga ikut memanfaatkan momentum ini. Bagaimana tidak, selama masa penjualan tiket periode pertama pada tanggal 17 Mei 2023, banyak calo yang membeli tiket untuk dijual kembali dengan harga berkali-kali lipat lebih mahal. Situasi yang telah dipaparkan di atas menunjukkan adanya kontradiksi bahwa tiket yang seharusnya jatuh di tangan para penggemar Coldplay, justru lebih banyak jatuh di tangan calo.

Melihat fenomena calo yang sangat meresahkan dan tidak kunjung hilang, terdapat indikasi bahwa fenomena tersebut telah menjadi fenomena yang mendarah daging, khususnya di kalangan masyarakat Indonesia dari golongan menengah ke bawah. Dalam situasi seperti ini, timbul pertanyaan yang memang patut dipertanyakan sedari dulu, yakni bagaimanakah pemerintah sebagai stakeholder melalui aparat yang berwenang mengatasi praktik percaloan?

Apakah sudah ada peraturan yang secara jelas mengatur hukuman dan sanksi bagi calo? Fenomena calo yang tidak kunjung hilang dan telah mendarah daging menjadi menarik untuk dianalisis melalui perspektif politik dan hukum menggunakan teori kepastian hukum. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis respon pemerintah atas praktik percaloan di Indonesia dalam kerangka hukum.

Peran Perempuan dalam Kelestarian Tradisi Bertenun di Minangkabau

Sejarah Praktik Percaloan di Indonesia

Apabila ditelisik sejarahnya, praktik percaloan sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1950. Praktik percaloan bermula dari adanya calo tiket bioskop. Pada tahun 1950, banyak bermunculan bioskop baru di Surabaya setelah pada zaman penjajahan Jepang, bioskop dialihfungsikan sebagai alat propaganda. Diketahui bahwa ketika itu, banyak produksi film yang ditujukan untuk membangkitkan semangat nasionalisme masyarakat Indonesia, seperti halnya film Darah dan Doa karya Usmar Ismail.

Begitu pula dengan film-film Hollywood dan action yang tidak kalah populer, seperti halnya film Lullaby of Broadway karya David Butler dan Adios Djanggo karya Ferdinando Baldi. Beberapa film tersebut sukses membuat calon pembeli rela mengantre selama dua hingga empat jam untuk bisa mendapatkan tiket.

Situasi yang telah dipaparkan di atas menjadi faktor utama penyebab terjadinya praktik percaloan. Terjadinya praktik percaloan bermula dari adanya ketimpangan antara jumlah kursi yang tersedia dalam bioskop dengan jumlah calon pembeli. Calon pembeli yang telah antre berjam-jam merasa kecewa saat tiket habis terjual ketika hanya terdapat kurang dari sepuluh antrean.

Bahkan, saat penayangan salah satu film populer, loket bioskop tidak membuka penjualan tiket di sore hari, meskipun terdapat jadwal penayangan di waktu tersebut. Tidak berhenti di situ, beberapa pengelola bioskop ternyata juga ikut serta menyukseskan jalannya praktik percaloan ini. Calo tiket bekerja sama dengan pengelola bioskop untuk melakukan penjualan tiket secara ilegal. Nantinya komisi yang dihasilkan dari penjualan tiket akan dibagi dua.

Respon Pemerintah atas Praktik Percaloan

Pemerintah telah membuat peraturan yang berisi hukuman dan sanksi bagi calo tiket yang melakukan penipuan. Sesuai peraturan yang berlaku, calo tiket yang melakukan penipuan dengan melarikan uang calon pembeli atau menjual tiket palsu kepada calon pembeli masuk ke dalam kategori tindak pidana. Peraturan yang mengatur hal tersebut di antaranya terdapat dalam Pasal 378 KUHP Tentang Penipuan, UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan Peraturan Menparekraf Nomor PM.74/HK.501/MPEK/2020 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penjualan Tiket Acara Hiburan.

Secara eskplisit, peraturan tentang hukuman dan sanksi penjualan tiket palsu juga termuat dalam Pasal 263 Ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa “Diancam dengan pidana yang sama (penjara paling lama enam tahun), barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat tersebut menimbulkan kerugian”.

Pahami dan Penuhi Kebutuhan Nutrisi Harian Tubuh, Jangan Asal Kenyang!

Namun, di lain sisi, tidak ada peraturan yang secara jelas mengatur hukuman dan sanksi bagi calo tiket ‘biasa’. Biasa dalam konteks ini berarti calo hanya sekadar menjual tiket dengan harga yang fantastis tanpa adanya unsur penipuan. Calo tiket juga baru dapat ditindak secara hukum apabila terindikasi melakukan penguasaan besar-besaran (monopoli).

Oleh karenanya, calo yang menjual kembali tiket-tiketnya dengan harga yang fantastis dan di luar nalar sekalipun belum bisa dikatakan melanggar hukum apabila tidak terindikasi melakukan penipuan atau monopoli. Di samping itu, belum ada peraturan yang bisa menjerat para calo yang membeli tiket dengan kartu identitas asli (KTP atau SIM). Selama tiket dibeli dengan menggunakan kartu identitas asli, maka praktik percaloan pada prinsipnya sah-sah saja untuk dilakukan.

Tanpa adanya peraturan yang mengatur secara jelas hukuman dan sanksi bagi calo tiket ‘biasa’, hampir dapat dipastikan bahwa praktik percaloan justru akan semakin subur. Para calo menganggap dirinya tidak akan dikenakan hukuman dan sanksi sepanjang ia menjual tiket dengan cara yang wajar.

Hal ini sejalan dengan Teori Kepastian Hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch. Gustav Radbruch memulai dengan pandangan bahwa masyarakat dan ketertiban memiliki hubungan yang erat bagaikan dua sisi mata uang. Masyarakat membutuhkan terwujudnya ketertiban dalam kehidupan. Ketertiban tersebut hanya bisa diwujudkan oleh hukum. Dengan adanya hukum, masyarakat cenderung bertindak sesuai ketentuan. Begitu pula sebaliknya. Tanpa adanya hukum, masyarakat tidak memiliki ketentuan yang baku dalam bertindak sehingga cenderung semena-mena.

Maraknya calo tiket Coldplay menunjukkan bahwa praktik percaloan masih tumbuh, bahkan berkembang secara masif hingga saat ini. Hal tersebut dapat terjadi karena ketidakjelasan peraturan yang mengatur hukuman dan sanksi bagi calo. Peraturan yang ada terkesan masih abu-abu, di mana hukuman dan sanksi yang telah ditetapkan dalam UU, KUHP, dan Peraturan Pemerintah hanya diberlakukan bagi calo yang melakukan penipuan atau monopoli.

Sementara itu, calo yang menjual kembali tiket-tiketnya dengan harga yang fantastis dan di luar nalar sekalipun tidak akan dikenakan hukuman dan sanksi apabila tidak terindikasi melakukan penipuan atau monopoli. Praktik percaloan yang telah terjadi sejak tahun 1950 dan tidak kunjung hilang menjadi bukti gagalnya pemerintah dalam mengatasi praktik percaloan.

Kenali Ciri Fobia Badut, Tokoh Jenaka yang Digemari Anak-Anak!

Atas dasar itu, dibutuhkan langkah konkret dari pemerintah untuk segera mengambil tindakan guna mengatasi praktik percaloan yang sangat meresahkan ini. Langkah yang diambil dapat berupa langkah antisipatif dan represif. Langkah antisipatif dapat berupa pemberian sosialisasi oleh pemerintah kepada vendor konser tentang bagaimana mekanisme pembelian tiket yang sekiranya aman dari calo.

Sementara itu, langkah represif dapat berupa pembuatan peraturan, tidak hanya untuk calo yang melakukan penipuan atau monopoli, tetapi juga calo yang melipatgandakan harga tiket dengan tidak wajar, misalnya mengambil keuntungan di atas 50% dari harga asli. Pemerintah dapat pula mencontoh langkah yang diambil negara lain. Salah satu contohnya adalah Amerika Serikat yang membentuk lembaga Federal Trade Commision (FTC). FTC merupakan lembaga perlindungan konsumen yang juga memiliki layanan pengaduan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DK
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini