Pasca Pandemi dan Pernikahan Dini, Berkontribusi dalam Merusak Masa Depan Anak

Pasca Pandemi dan Pernikahan Dini, Berkontribusi dalam Merusak Masa Depan Anak
info gambar utama

World Health Organization (WHO) mendefinisikan pernikahan dini sebagai pernikahan yang dilakukan oleh pasangan atau salah satu pasangan masih dikategorikan anak-anak atau remaja yang berusia di bawah 19 tahun. Menurut United Nation Children’s Fund (UNICEF), pernikahan usia dini adalah pernikahan yang dilaksanakan secara resmi ataupun tidak resmi dan dilakukan sebelum usia 18 tahun.

Berdasarkan kebijakan perkawinan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, usia minimal perkawinan bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Batas usia ini merupakan pembaruan atas kebijakan sebelumnya pada tahun 1974, yang mana memberi keleluasaan bagi laki-laki berusia 19 tahun dan bagi perempuan berusia 16 tahun.

Dalam penerapannya, terutama pada masa pandemi Covid-19, regulasi terkait pernikahan dini masih banyak meloloskan pasangan mempelai berusia di bawah 19 tahun. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kebijakan dispensasi nikah yang dalam kondisi mendesak, dapat memberikan peluang dalam persetujuan pengajuan hak menikah.

Dispensasi adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah, meski belum mencapai batas minimum usia pernikahan (Yasin, 2019). Dikutip dari laman Media Indonesia, pernikahan dini dianggap sebagai jalan keluar dalam permasalahan ekonomi. Orang tua yang salah persepsi, berpendapat bahwa dengan menikahkan anaknya, tanggungan perekonomian dapat berkurang dengan menyerahkan perwalian si anak kepada suaminya.

Rendahnya tingkat pendidikan, faktor geografis, insiden hamil di luar nikah (married by accident), pengaruh kuat adat istiadat dan agama, media massa, hingga minimnya akses terhadap informasi kesehatan reproduksi menjadi faktor yang berpengaruh dalam terjadinya pernikahan dini (Saubari, 2020).

Fenomena Pernikahan Dini dan Konsekuensi Kesehatan Mental, Inilah Solusinya

Realitas data yang dilansir dari UNICEFmenunjukkan dalam skala nasional pada tahun 2019 terdapat sebanyak 23.700 permohonan dispensasi pernikahan diajukan dan 97% di antaranya dikabulkan. Sedangkan, pada tahun 2020 jumlahnya terus meningkat menjadi 34.000 diajukan dan 97% di antaranya dikabulkan. Berdasarkan data Pengadilan Agama Jawa Tengah, terjadi peningkatan dispensasi nikah sebesar 286,2% (Permana, 2019).

Persentase tersebut menunjukkan kenaikan dispensasi nikah sebanyak 1016 perkara, yang mana menunjukkan bahwa jumlah pengajuan dispensasi pernikahan di Indonesia masih tergolong tinggi, sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah perkawinan di bawah usia 19 tahun.

Padahal, masa remaja dan anak-anak merupakan masa yang rentan akan risiko kehamilan akibat pernikahan dini. Pelakunya, terkhusus bagi perempuan, dapat mengalami keguguran, persalinan prematur, berat badan lahir rendah (BBLR) pada bayi, kelainan bawaan, mudah terjadi infeksi, anemia pada kehamilan, keracunan kehamilan, dan kematian (Syalis, 2020).

Secara mental, seorang perempuan yang mengandung di usia terlalu dini dapat mengalami kecemasan, ketidakstabilan emosional bahkan hingga mengalami Intermitten Explosive Disorder (IED), depresi berat, halusinasi, dan tidak menutup kemungkinan untuk memunculkan dorongan bunuh diri. Selain itu, belum adanya kesiapan mental pasangan yang menikah akibat kehamilan di luar nikah dapat menyebabkan kekerasan dalam rumah tangga.

Kurangnya Pendidikan Seks di Masyarakat

Pendidikan seksual atau edukasi seks merupakan kegiatan pengajaran terkait kesehatan reproduksi. Pendidikan seksual dilakukan dengan tujuan dapat menyadarkan khalayak tentang pentingnya kesehatan reproduksi, sehingga berbagai tindak pelecehan seksual dan penyakit menular dapat dicegah. Pasalnya, perbincangan seputar seks masih dipandang sebagai hal yang tabu, apalagi jika subjeknya berkenaan dengan anak. Tidak sedikit orang tua yang justru enggan memberikan edukasi seks kepada anaknya (Limbong, 2020).

Kesan kurang sopan dan rasa malu menjadi pembatas antara satu orang dengan lainnya untuk membahas substansi yang menyangkut seksualitas. Pada dasarnya pendidikan seks merupakan hal yang penting untuk diberikan guna menghindarkan masyarakat dari seks bebas, kehamilan di luar nikah, hingga penyakit menular seksual sehingga kesehatan tubuh dapat terjaga secara menyeluruh (Prawira, 2016).

Sayangnya, sebagian orang seorang menutup mata akan pentingnya hal ini.Bagi anak-anak, pendidikan seks dapat diibaratkan sebagai tameng, di mana dalam masa tumbuh kembangnya, mereka akan menjumpai berbagai hal baru baik itu benar ataupun salah.

Penanggulangan Terhadap Maraknya Kasus Pernikahan Dini Kepada Seluruh Anak di Indonesia

Ketiadaan pendidikan seks pada anak justru memberi peluang bagi keingintahuan mereka yang pada akhirnya terjawab dengan cara yang tidak sesuai norma. “(Pendidikan seks yang benar) bisa selamatkan anak dari pelecehan dan penyimpangan seksual,”tegasdr. H. Boyke Dian Nugraha, seksolog ternama di Indonesia.

Bertolak dari kurangnya pendidikan seks, pergaulan bebas, kehamilan di luar nikah, kasus aborsi, dan penularan penyakit akibat hubungan seksual menjadi dampak yang rentan menyerang siapa saja. Di tambah dengan data bahwa 84% remaja di Indonesia yang masih belum mendapatkan pendidikan seks, menunjukkan gentingnya pendidikan seks yang ada di Indonesia (Putri, 2016).

Dilansir dari alodokter.compendidikan seks untuk anak juga sebaiknya diberikan secara bertahap. Mulai dari mengenali alat kelamin, hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan terhadap alat kelamin anak, cara merawat organ reproduksi, dan cara menyikapi tanda-tanda pubertas seperti mimpi basah dan menstruasi.

Dengan demikian, anak-anak akan lebih mengenal tubuhnya serta terhindar dari pergaulan bebas, yang merupakan ujung pangkal terjadinya pernikahan dini. Proteksi yang tepat pada anak, selayaknya juga harus dikenali dan didalami oleh orang tua, sehingga komunikasi terkait organ reproduksi dan pendidikan seks dapat dilakukan tanpa menimbulkan kesan tabu. Maka dari itu, seharusnya pendidikan seks sejak dini sudah harus dilakukan agar anak-anak bisa terhindar dari bahaya pornografi.

Referensi: news.republika.co.id | kalsel.kemenag.go.id

Syalis, E. R., & Nurwati, N. N. (2020). Analisis Dampak Pernikahan Dini Terhadap Psikologis Remaja. Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial, 3(1), 29-39.

Yasin, N. (2020). DISPENSASI KAWIN BAGI CALON PENGANTIN DIBAWAH UMUR PADA PASAL 7 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DITINJAU MENURUT SADD AL-DZARI’AH Analisis terhadap Penetapan Hakim Pengadilan Agama Rengat Kelas IB Tahun 2018 (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

VS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini