Larung Ageng di Pantai Sembukan, Wonogiri: Memaknai Sejarah dan Spiritualitas

Larung Ageng di Pantai Sembukan, Wonogiri: Memaknai Sejarah dan Spiritualitas
info gambar utama

Apakah kawan pernah mendengar istilah Larung Ageng? Istilah Larung Ageng cukup populer dalam budaya kejawen sebagai wujud syukur atas kehidupan yang diberikan oleh alam semesta.

Larung Ageng dapat ditemukan di beberapa daerah di pulau Jawa, khususnya pada kelompok masyarakat yang masih menganut budaya kejawen. Masyarakat seringkali mengaitkan Larung Ageng dengan hal-hal mistis yang menyertainya.

Dilansir dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, Larung Ageng adalah sebuah upacara ritual yang dilaksanakan di Pantai Sembukan, Wonogiri. Larung Ageng memiliki keterkaitan erat dengan sejarah perang gerilya yang dilakukan oleh Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa di Desa Sawit, Paranggupito.

Perang gerilya yang dilakukan oleh Raden Mas Said diawali oleh perjanjian yang dilakukan oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta dengan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Secara tidak langsung, perjanjian tersebut sangat menguntungkan bagi VOC yang dapat lebih mudah menguasai wilayah Yogyakarta dan Surakarta.

Larung Ageng: Sejarah Spiritualitas Raden Mas Said

Raden Mas Said yang merasa dirugikan dan VOC yang dianggap telah mencampuri terlalu dalam urusan internal Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, mendorong Raden Mas Said untuk melakukan perlawanan. Perlawanan yang dilakukan oleh Raden Mas Said terjadi di wilayah Surakarta hingga meluas ke wilayah Wonogiri.

Pengejaran terhadap Raden Mas Said dilakukan oleh VOC hingga tiba di desa Sawit, Paranggupito. Desa yang berada tepat di pinggir laut selatan.

Di suatu malam, Raden Mas Said berjalan ke pinggir pantai laut selatan dengan sebuah alasan. Raden Mas Said bertujuan untuk meminta petunjuk kepada Kanjeng Gusti Ratu Kencana Sari atau Kanjeng Ratu Kidul.

Tak Hanya untuk Salat, Masjid Agung Demak Dulunya Berfungsi untuk Hal Penting Ini

Raden Mas Said pun melakukan semedi di sebuah pesanggrahan di atas bukit yang saat ini dikenal dengan Gunung Bendera. Pada hari ketiga, tepatnya pukul 01.30, malam Jumat Pon di bulan Suro 1848, keinginan Raden Mas Said terkabul.

Setelah itu, Raden Mas Said kembali ke Surakarta dan mendirikan Puro Mangkunegaran, beserta Kadipaten Mangkunegaran. Raden Mas Said mendapatkan gelar sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara I.

Sebagai wujud syukur atas keberhasilannya melawan VOC, Raden Mas Said memberikan persembahan kepada Kanjeng Gusti Ratu Kencana Sari dengan melarungkan sesaji ke laut selatan. Hingga saat ini, upacara ritual tersebut masih rutin dilakukan.

Pendopo Pantai Sembukan © Leonardo Kusuma
info gambar

Larung Ageng: Pemaknaan Spiritualitas dan Wujud Kebudayaan

Larung Ageng di Pantai Sembukan memiliki makna dan tujuan yang menyertainya. Sebagai upacara ritual, Larung Ageng diadakan untuk memohon keselamatan dan kemakmuran bagi bangsa dan negara.

Terdapat beberapa artefak kebudayaan yang menyertai Larung Ageng, seperti sesaji dan wayang kulit. Ketiga artefak kebudayaan tersebut menjadi bagian dari rangkaian Larung Ageng yang dilaksanakan di Pantai Sembukan hingga saat ini.

Larung Ageng dilaksanakan pada pergantian malam tahun baru Islam atau malam 1 Suro yang diikuti oleh kerabat Puro Mangkunegaran, perangkat Kabupaten Wonogiri, perangkat Kecamatan Paranggupito, dan seluruh masyarakat Paranggupito dari berbagai elemen. Dalam acara ini, sesaji terdiri dari kepala kerbau yang saat ini diganti dengan kepala sapi karena sudah langka dan berbagai hasil bumi, seperti ketela, kelapa, kacang-kacangan, dan sebagainya dalam bentuk gunungan.

Sesaji yang telah disiapkan, dilarung atau dihanyutkan ke laut pantai selatan sebagai persembahan. Rangkaian Larung Ageng diakhiri dengan pementasan wayang kulit.

Larung Ageng memiliki makna spiritualitas sebagai upacara ritual yang memiliki tujuan untuk kesejahteraan banyak orang. Larung Ageng menjadi sebuah wujud kebudayaan yang berakar dari semangat perjuangan Raden Mas Said dalam melawan VOC.

Sehingga, Larung Ageng tidak dapat terlepas dari kepentingan bersama, bukan hanya pribadi maupun kelompok. Larung Ageng mengandung nilai-nilai kebudayaan yang dapat diterima dan dilestarikan oleh masyarakat hingga saat ini.

Markas Besar Oelama, Tempat Ulama Susun Strategi untuk Perang 10 November

Larung Ageng: Manfaat dan Nilai-Nilai Kebudayaan

Sebagai salah satu wujud kebudayaan, Larung Ageng memiliki nilai-nilai kebudayaan yang masih relevan hingga saat ini. Sehingga, Larung Ageng dapat memberikan manfaat bagi masyarakat di berbagai sektor.

Dalam konteks pribadi, Larung Ageng memberikan ruang bagi masyarakat untuk senantiasa bersyukur dan berdoa, khususnya bagi penganut Kejawen. Para penganut Kejawen dapat terlibat secara langsung dalam upacara ritual ini sebagai bentuk syukur atas kepercayaannya.

Dalam konteks sosial, Larung Ageng memiliki nilai gotong royong, di mana masyarakat memiliki berbagai peran dalam mempersiapkan upacara ritual Larung Ageng. Larung Ageng melibatkan seluruh masayarakat dari berbagai elemen.

Mulai dari kerabat Puro Mangkunegaran hingga seluruh masyarakat Dusun Paranggupito. Dalam menyiapkan rangkaian Larung Ageng, seperti persiapan sesaji, pembersihan lokasi, pesiapan pertunjukan wayang kulit, dan sebagainya, dilaksanakan dengan bergotong royong.

Dalam konteks ekonomi, Larung Ageng memberikan manfaat bagi para pedagang karena mampu membuka lahan untuk berjualan berbagai barang. Para pedagang diperkenankan untuk berjualan selama rangkaian upacara ritual Larung Ageng dilaksanakan.

Antusiasme dari masyarakat untuk ikut terlibat dalam Larung Ageng turut mendorong perekonomian masyarakat, khususnya bagi para pedagang. Secara tidak langsung, hal ini juga menunjukkan semangat gotong royong dalam masyarakat

Dalam konteks pariwisata, Larung Ageng menjadi daya tarik bagi para wisatawan untuk datang dan menyaksikan langsung rangkaian upacara ritual Larung Ageng. Bagi wisatawan, Larung Ageng menjadi salah satu atraksi budaya yang menarik dan unik.

Selain itu, daya tarik bagi wisatawan juga turut mendorong perekonomian masyarakat. Eksistensi Pantai Sembukan juga tetap terjaga karena kehadiran para wisatawan.

Larung Ageng memiliki berbagai manfaat yang saling mendukung di berbagai sektor. Larung Ageng memberikan pengaruh besar dalam aspek kepercayaan, sosial, ekonomi, hingga pariwisata di masyarakat.

Pelestarian nilai-nilai kebudayaan dalam Larung Ageng hingga saat ini menjadi fondasi yang kuat untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Sebagai salah satu warisan budaya takbenda Indonesia, Larung Ageng di Pantai Sembukan harus mendapatkan perhatian dan keterlibatan dari seluruh elemen masyarakat.

Kisah Perjalanan Bung Karno ke Tanah Suci yang tak Hanya Demi Gelar Haji

Referensi:

https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?newdetail&detailTetap=1551

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

LK
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini