Hari Anak Nasional 2023: Lindungi Anak Indonesia dari Bullying!

Hari Anak Nasional 2023: Lindungi Anak Indonesia dari Bullying!
info gambar utama

Nasional - Jatuh di tanggal 23 Juli 2023, Hari Anak Nasional menjadi momentum bagi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) RI untuk berkampanye mengangkat tema "Anak Terlindungi, Indonesia Maju"

Melansir laman resmi KemenPPPA, tema tersebut berfokus pada 4 subtema krusial guna melindungi masa depan anak sebagai generasi yang berkualitas. Salah satu di antaranya adalah usaha mewujudkan lingkungan yang aman dari kekerasan untuk anak dengan tagline #BeraniKarenaPeduli guna mendorong anak menjadi agen perubahan dalam menyuarakan hak-haknya

Anak Indonesia adalah aset negara ini. Masa depan mereka dimulai ketika menjejakkan kaki di bangku sekolah. Namun, realita di institusi edukasi tersebut ternyata tidak selalu se-utopis bayangan orang tua.

Tren kekerasan berbentuk bullying masih memainkan peran yang signifikan di sekolah. Seorang anak yang berekspektasi untuk menikmati euforia kebahagiaan di masa muda terpaksa menderita kekerasan hidup yang mengerikan dari interaksi mereka dengan teman sekolah. Tanpa disadari, inner child seorang anak yang terluka membentuk pengalaman mental traumatis yang terus-menerus menghantui ketika mereka beranjak dewasa.

Data UNICEFdi tahun 2022 mencatat bahwa 21% anak Indonesia berusia 13-15 tahun yang masuk ke dalam kategori Generasi Z kelahiran tahun 1996-2012 masih mengalami fenomena kekerasan ini.

Ironisnya 45% dari mereka mengatakan bahwa bentuk kekerasan justru dilakukan oleh peer group atau teman-teman mereka di sekolah dalam bentuk cyberbullying via media digital sebagai pola yang dominan terjadi di era ini. Tidak hanya sekali, pola tersebut justru beberapa kali dialami anak dalam satu bulan, membentuk sebuah rutinitas yang kontinu dan dinormalisasi dalam realitas anak Indonesia.

Darurat Bullying di Negeri Ini

Mengutip data UNICEF, kasus pengaduan bullying ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencapai 4.124 aduan di sepanjang bulan Januari-November 2022.

Meskipun menurun 30,7% dari tahun sebelumnya yang sempat melonjak di angka 5.953 aduan, tetapi jumlah ini masih terbilang tinggi dengan bentuk pengaduan paling banyak dilaporkan terkait anak sebagai korban perundungan seksual dan perundungan berupa kekerasan fisik dan/atau psikis

“Indonesia sudah darurat bullying. Kasus ini masih banyak terjadi di berbagai jenjang pendidikan. Namun kenyataannya, masih banyak juga satuan pendidikan yang kurang agresif dalam pencegahan maupun penanganan kasus perundungan,” ungkap Cindy Rahma Budiman, seorang pakar Psikologi Universitas Diponegoro.

Dalam wawancaranya, Cindy mengatakan masih perlu adanya turun tangan pemerintah untuk menetapkan suatu kebijakan secara komprehensif untuk meminimalkan adanya kasus perundungan di berbagai tempat.

Faktor krusial yang mengindikasikan angka bullying masih masif di Indonesia adalah karena belum adanya Undang-Undang yang secara spesifik mengatur fenomena ini di masyarakat.

Dengan begitu, masih banyak orang yang mengabaikan dan menganggap ‘angin lalu’ sehingga kejadian tersebut memiliki kemungkinan untuk terulang kembali karena tidak adanya dasar hukum yang dapat memberikan hukuman “pasti” secara tegas kepada pelaku bullying.

Baca Juga: India Stop Ekspor Beras, RI Tak Kena Imbasnya?

Mengancam Masa Depan Anak Indonesia

Tidak main-main, berbagai bentuk bullying memiliki dampak signifikan bagi anak. Cindy mengklaim bahwa semua bentuk bullying memberikan dampak buruknya masing-masing dan memiliki faktor risiko yang berbeda-beda pula.

Media sosial mengizinkan setiap orang untuk dapat berkomentar secara bebas dan terbuka. Hal tersebut tentunya memiliki dampak negatif, salah satunya adanya cyberbullying yang mengakibatkan korban mendapatkan komentar atau pesan agresif yang menyakiti hati mereka.

Tidak jarang bahkan korban mengantongi ancaman yang dari pelaku perundungan. Perilaku tersebut dapat memicu perasaan terisolasi, depresi, kecemasan, dan pengalaman traumatis yang berkepanjangan pada korban.

“Bentuk perundungan secara fisik dapat mengakibatkan trauma yang berkepanjangan pula karena pelaku perundungan sudah mencelakai korban secara langsung,” tandas Cindy.

Seperti halnya pada perundungan lainnya, Cindy mengklaim bahwa di perundungan seksual korban akan mengalami trauma berkepanjangan secara psikologis karena merasa dirinya lebih rendah daripada orang lain dan tidak layak untuk siapapun.

Hal tersebut berkaitan dengan komentar buruk dari pelaku yang menjatuhkan harga diri korban, bahkan kejadian terburuknya, si pelaku dapat melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap korban.

Efek jangka panjang dari bullying memang berbahaya dan untuk memulihkan perasaan traumatis tersebut tidaklah mudah karena membutuhkan waktu yang cukup lama agar dapat berdamai dengan masa lalu. Apabila tidak dapat mengatasinya secara mandiri, korban perlu untuk dibantu tenaga profesional yang dapat menangani permasalahan psikologis korban bullying akibat pengalaman masa lampaunya,” saran Cindy.

Pemilihan opsi psikiater atau psikolog sebagai fasilitator profesional pun harus dilakukan berdasarkan urgensi kebutuhan korban. Peran keduanya berbeda, meskipun sama-sama dapat membantu pengobatan gangguan mental dengan mendiagnosis cara kerja otak, emosi, perasaan dan pikiran pasien.

Psikolog dapat memberikan bantuan berupa konseling psikoterapi yang bertujuan memulihkan kondisi psikis, sedangkan psikiater biasa hanya meresepkan obat-obatan medis untuk mengatasi gangguan mental dan kejiwaan seseorang yang sudah berada pada level kompleks dan serius.

Baca Juga: 40 Persen Transaksi Ekonomi ASEAN Dikuasai Indonesia

Dunia Pendidikan dan Keprihatinan Terhadap Kontrol Sosial

Tingginya angka bullying menjadi salah satu indikasi dari lemahnya sistem kontrol sosial negeri ini. Selain guru yang gagal melakukan usaha preventif dan mengembangkan pendidikan karakter bagi anak, cara penanganan sekolah terhadap kasus yang menyangkut korban maupun pelaku seringkali berlaku bias secara akademis demi menjaga reputasi institusi di mata publik.

Sekolah punya kecenderungan menanggapi kasus ini dengan mempertemukan kedua orang tua dari pihak korban maupun pelaku. Padahal seharusnya ada pendampingan lebih dengan melakukan konseling bersama tenaga psikolog profesional sebagai upaya mitigasi untuk melindungi psikologis anak agar tidak terbawa trauma,” kata Cindy.

Sekolah seharusnya lebih terbuka untuk bekerja sama dengan lembaga Pusat Pelayanan Keluarga (Puspaga) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia. Melalui usaha kolaboratif ini, anak dapat leluasa untuk berkonsultasi dan speak up dengan tenaga psikolog profesional.

Selain itu, perlu diperhatikan pula hubungan antara guru dan siswa sehingga setiap siswa dapat merasa aman ketika terjadi perselisihan antar siswa karena adanya mediasi atau campur tangan dalam proses berdamai dari pihak sekolah melalui guru yang terlibat dalam kasus ini.

“Peran orangtua juga penting untuk mencegah terjadinya perilaku perundungan anak dengan teman sebayanya. Mereka sudah seharusnya dapat mengawasi dan mengendalikan perilaku anak ketika menghadapi teman sebayanya yang memiliki perbedaan pada tiap individu dengan memberi pendidikan karakter dari rumah,” imbuh dia.

Pendidikan dan penyebaran informasi mengenai cyberbullying juga akan membantu mengajarkan anak tentang etika dan moral online, serta mendorong pemahaman bahwa komentar negatif yang disebarkan melalui media sosial itu memberikan dampak buruk pada setiap individu, terutama bagi korban.

Sudah saatnya masa depan anak Indonesia dilindungi dari segala bentuk kekerasan di negeri ini.

***

Referensi:

  • *wawancara dilakukan secara pribadi
  • https://data.unicef.org/topic/child-protection/violence/peer-violence/
  • https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/84/4551/pedoman-hari-anak-nasional-tahun-2023

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

CH
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini