Merawat Tabob, Hewan yang Disakralkan oleh Masyarakat Kepulauan Kei

Merawat Tabob, Hewan yang Disakralkan oleh Masyarakat Kepulauan Kei
info gambar utama

Perburuan tabob atau penyu belimbing merupakan tradisi bagi Suku Nufit, di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara. Tabob merupakan hewan yang disakralkan bagi masyarakat di sana.

Menurut Laurensius Rahawarin, anggota saniri (lembaga adat) Desa Ohoidertutu memercayai perburuan tabob ini terkait sejarah nenek moyang orang Nufit yaitu Tabi dan Tabai yang memenangi perang melawan Raja Badmar di Kaimana, Papua Barat.

Sebagai imbalan karena memenangi perang, Badmar memberikan mereka tabob. Mereka kemudian membawa tabob kembali ke Nufit, dipelihara, dibudidayakan, dan dikonsumsi dagingnya oleh masyarakat.

Fenomena Ubur-ubur Serbu Hutan Mangrove Nguling Pasuruan, Berbahayakah?

Pada waktu lama, warga Nufit percaya tabob adalah makanan pusaka mereka, warisan dari nenek moyang yang dapat diburu sebanyak mungkin tanpa perlu takut akan punah. Sehingga perburuan terjadi secara masif.

“Tahun 1980-an warga bisa ramai-ramai berburu tabob, dan sekali berburu, bisa sampai 30 tabob. Kemudian pada tahun 2007 lalu warga penuh berburu sampai dapat 50 ekor,” ujar Norbertus Rahawarin, warga Ohoidertutu yang dimuat Kompas.

Dilarang dijual

Nobertus mengungkapkan walau perburuan tabob telah jadi tradisi, warga Nufit melarang hewan sakral itu dijual. Tabob hanya untuk dikonsumsi bahkan pemotongan hewan ini dilakukan secara bersama-sama.

Saat pemotongan, warga lain yang tidak ikut mencari tabob langsung ikut membantu memotong dagingnya tanpa harus dikomando. Mereka pun berhak atas sebagian daging tabob tersebut.

“Bahkan tidak jarang daging itu juga dibagi kepada warga di desa lain,” tambah Norbertus.

Landak Jawa yang Terancam karena Mitos Kesaktian Batu Mustika

Perburuan tabob yang sudah menjadi tradisi ini pada masa sekarang memang mulai berkurang. Pasalnya mulai ada kesadaran dari masyarakat Nufit bahwa tabob yang adalah hewan sakral bisa saja punah.

Dikatakan oleh Norbertus, pada beberapa tahun terakhir jumlah tabob yang diburu dibatasi, setiap musim tabob yang diburu hanya satu atau dua ekor saja. Di Ohoiren, perburuan tabob bahkan sudah tidak ada lagi.

“Kami tidak ingin tabob yang menjadi bagian dari budaya kami punah. Saat ini tabob hanya untuk dilihat saja, tidak untuk diburu,” paparnya.

Melindungi tabob

Kepala Desa Ohoiren kala itu, Polinaris Januarin menjelaskan kesadaran masyarakat untuk muncul setelah pemerintah bersama organisasi World Wildlife Fund (WWF) menyosialisasikan terancamnya populasi tabob sejak tahun 2003.

Mengacu pada data WWF, penurunan populasi tabo di kawasan Pasifik terlihat dari menurunnya jumlah penyu betina yang bertelur di setiap peneluruan yakni Indonesia, Malaysia, Kosta Rika, dan Meksiko.

Apalagi tabob pun terancam oleh hal lain seperti sampah plastik yang sering dianggap sebagai ubur-ubur dan rawai tuna yang digunakan kapal penangkap ikan tuna. Pada 2005, penyu yang ditangkap akibat rawai tuna sekitar 6.400 sampai 19.200 ekor per tahun.

Owa Jawa, Primata Zona Asiatis Bersuara Nyaring yang Langka dan Terancam Punah

Karena itulah pada 2010, pemerintah Maluku Tenggara telah menetapkan tabob sebagai ikon pariwisata. Hal ini agar menjadi daya tarik wisata layaknya komodo yang berada di Nusa Tenggara Timur.

“Tabob menjadi keunikan Maluku Tenggara, sehingga dijadikan ikon untuk menarik wisatawan, sama dengan komodo di Nusa Tenggara Timur,” kata Kepala Seksi Promosi Dinas Pariwisata Maluku Tenggara Budhi Toffi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini