Dibalik Batik Gedog Tuban yang Keluarkan Warga dari Jeratan Kemiskinan

Dibalik Batik Gedog Tuban yang Keluarkan Warga dari Jeratan Kemiskinan
info gambar utama

Batik gedhog Tuban merupakan tenunan dari helaian semangat dan goresan kerja keras rakyat. Selembar kain gedhog bercerita tentang daya melepaskan diri dari cengkeraman lapar sekaligus menunjukkan kemandirian warga terhadap pangan dan sandang.

Hal inilah yang dialami oleh Kaspi dan para petenun di Desa Gaji, Kerek, Kabupaten Tuban. Mereka tak tahu persis tahun berapa mereka lahir, juga tak pernah mengenyam pendidikan formal dan tunabaca huruf latin, namun melek baca Alquran.

Kisah Tanah Betawi yang Pernah Jadi Pusat Industri Batik di Indonesia

Namun dengan tenun, Kaspi bisa menghidupi keluarganya selain bekerja sebagai penanam jagung, kacang tanah dan kapas. Pasalnya tak selamanya hasil panen memuaskan karena hama kerap menyerang.

“Pada saat itulah, tanaman kapas menjadi penyelamat. Dia bisa memintal kapas menjadi benang lalu menenunnya menjadi kain di sela-sela waktunya ke ladang,” ucap Mohammad Hilmi Faiq dan Sri Rejeki dalam Batik Tuban: Ora Obah Ora Mamah yang dimuat Kompas.

Andalan para ibu

Apa yang dilakukan oleh para perempuan di Kerek yang setia berkecimpung dalam dunia tenun dan batik ini dipandang sebagai wujud cinta kepada budaya. Selain ada faktor ekonomi yang menguntungkan sehingga mereka merasa perlu tradisi dipertahankan.

“Ada juga faktor kenyaman dengan keterampilan yang diwariskan sejak dulu,” kata Myrtati Dyah Artaria, antropolog dari Universitas Airlangga, Surabaya.

Disebutkan oleh Myrtati, pembuatan kain gedhog ataupun batik rata-rata menjadi pekerjaan sampingan dan andalan penghasilan tambahan dari kaum ibu di Kerek. Ketika waktu luang atau sepulang dari ladang dan mengurus anak.

Cerita Batik yang Jadi Simbol Eksistensi Masyarakat Betawi di Ibu Kota

“Itu mereka lakukan puluhan tahun, setidaknya sejak masa penjajahan Belanda dan Jepang,” jelasnya.

Salamah salah seorang petenun menceritakan saat Jepang masuk ke Indonesia, banyak warga kesulitan sandang sehingga hanya bisa memakai baju dan celana dari karung bekas beras atau gula.

Tetapi warga Kerek saat itu masih bisa memakai kain gedhog yang lebih nyaman dan mewah. Harganya, jelas Salamah, saat itu juga cukup mahal. Satu selendang Gedhog bisa ditukar dengan 5-6 ekor ayam.

Identitas

Rens Heringa dalam Nini Towok Spinning Wheel: Cloth and The Cycle of Life In Kerek, Java mengungkapkan bahwa batik gedhog identik dengan masyarakat Kerek. Bahkan menjadi status sosial bergantung pada pola batiknya.

Selain itu keterampilan batik ini hanya diturunkan kepada kaum perempuan. Biasanya para perempuan ini telah diizinkan memintal, menenun, atau membatik setelah bersuami. Dahulu tidak semua perempuan bisa mempraktekkan semua keahlian itu.

Batik Sumari, Karya Orang Batu yang Menarik Perhatian Masyarakat Dunia

Tetapi sejak di sekolah, membatik sudah masuk dalam materi ajar. Walau begitu untuk menenun mulai jarang digeluti karena membutuhkan ketekunan tinggi mengingat prosesnya yang panjang dari memintal benang.

“Ibu saya yang mengajari memintal sampai menenun. Saya bisa sedikit-sedikit membatik. Kata ibu saya, menyulap kapas jadi kain itu menjadi penyelamat hidup,” kata Kaspi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Rizky Kusumo lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Rizky Kusumo.

Terima kasih telah membaca sampai di sini