3 Hal yang Dapat Dipelajari dari 'Minke' Bumi Manusia

3 Hal yang Dapat Dipelajari dari 'Minke' Bumi Manusia
info gambar utama

Minke adalah ikon-nya Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kondang Indonesia yang akrab dipanggil Pram itu. Minke muncul dalam empat roman dalam Tetralogi Pulau Buru yang menjadi magnum opus-nya sastrawan kelahiran Blora, Jawa Tengah itu.

Membaca tetralogi itu menghadirkan kisah yang menarik pembaca kembali untuk merenungkan apa itu makna perlawanan sekaligus mendapatkan pengalaman membaca roman dengan storytelling yang lamban tapi indah di setiap sisi ceritanya. Hebatnya, empat roman yang memiliki total 1.000-an halaman ini dibuat ketika Pram sedang dipenjara sekaligus menjalani kerja paksa di Pulau Buru oleh Pemerintah Orba.

Sementara itu, Minke pada dasarnya adalah Tirto Adhi Soerjo, seorang Pahlawan Nasional yang didapuk menjadi Bapak Pers Indonesia. Sebagaimana Tirto di dunia nyata, Minke berjuang keras membela pribumi di bawah penindasan penjajahan Belanda. Ia melawan dengan menulis sebagai seorang wartawan. Radikalnya Minke disebabkan oleh pengalaman pahitnya menghadapi penindasan selama ia masih muda.

Berawal dari dipisahkannya Annelies, istrinya, dari Minke oleh hukum kolonial yang tidak mengakui pernikahan secara Islam. Penindasan itu berlanjut ketika Nyai Ontosoroh, mertua Minke, kehilangan rumah sekaligus perusahaannya yang ia urus ketika seorang Belanda yang mengambil paksa dirinya sudah tiada. Kesadaran untuk melawan Minke semakin bangkit ketika ia melihat berbagai penindasan yang dialami para pribumi terjadi di mana-mana, seperti warga pribumi yang tanahnya dirampas paksa untuk dibangun kebun tebu.

Perlawanan Minke selalu berbuah pahit. Tiada akhir dari setiap tetralogi yang memiliki akhir bahagia. Semuanya tragis. Perlawanan Minke hanya berbuah kekalahan, tetapi dia tetap melawan selagi mampu. Pada akhirnya, sebagaimana yang terjadi pada Tirto di dunia nyata, Minke meninggal di usia 37 atau 38 tahun. Empat roman yang merangkum kisah Minke adalah Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Perjuangan Minke memang pahit, tapi apa saja yang bisa dipetik dari semangat perjuangannya?

1. Pantang Menyerah

Minke adalah sosok yang pantang menyerah. Seperti yang sudah dijelaskan tadi, semua perjuangannya berbuah kegagalan. Walaupun begitu ia tetap bangkit lagi dan melawan karena ia paham bahwa ada mereka yang harus dibela dan ia sendiri juga tertindas.

Karena itu, Minke mengaku bahwa dirinya punya mimpi. Ketika para priyayi mengejeknya tidak waras dan sinting karena melawan secara sia-sia, Minke tetap teguh pada pendiriannya dan mendaku bahwa ia punya mimpi untuk membayangkan masyarakat yang adil di mana pribumi bisa merdeka.

Baca juga: Pramoedya, Bicara Karya dan Kepercayaan Penuhnya kepada Manusia

2. Semangat dalam Belajar

Minke bukan sosok aktivis yang langsung jadi. Pada awalnya, di Bumi Manusia, Minke adalah sosok yang naif dan tidak tahu apa-apa. Ia merasa bahwa negeri tempat ia tinggal memang seperti itu adanya: ada orang-orang Belanda yang berkuasa dan para pribumi mengalami diskriminasi. Akan tetapi, ketika ia sudah melihat dan merasakan penindasan itu sendiri, ia jadi belajar bahwa ia juga harus ikut melawan apapun yang terjadi karena ia memiliki rasa senasib dengan mereka yang tertindas.

Di sisi lain, Minke juga merupakan sosok yang terus mau menerima masukan. Ketika ia bingung ingin melawan dengan cara apa, ia dikenalkan teknik boikot oleh salah satu temannya. Ia jadi penasaran apa itu sebenarnya teknik boikot dalam sebuah protes sampai ia menerapkannya dalam proses perlawanan yang ia lakukan.

Selain itu, Minke juga orang yang mau menerima masukan dari teman-temannya. Misalnya, ketika ia dikiritik karena selalu menulis dengan bahasa Belanda, bahasa yang tidak dipahami oleh bangsa nya sendiri. Karena itu, ia didorong untuk menulis dengan bahasa Melayu, bahasa pasar yang dipahami sebagian besar bangsanya sendiri. Dengan bahasa Melayu, ia dapat menulis untuk bangsanya sendiri. Ini berdampak signifikan pada Minke, ia akhirnya menulis dengan bahasa Melayu dan menjadi suara untuk rakyatnya sendiri.

Baca juga: Sejarah Hari Ini (6 Februari 1925) - Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Angkatan '45

3. Adil Sejak Dalam Pikiran

Dalam Bumi Manusia, Jean Marais, seorang Prancis yang jadi teman Minke, menasehati Minke dengan kalimat terkenalnya “Adil sejak dalam pikiran.” Maksudnya adalah agar Minke menjadi seseorang yang berperinsip teguh dan adil, bahkan ketika itu masih ada di dalam pikirannya. Dengan adil sejak dalam pikiran, ia menjadi adil dalam tindakannya sehari-hari.

Hal itu diterapkan Minke, walaupun dengan cara yang tidak sempurna karena ia adalah manusia yang terus berkembang. Ia mengalami kesalahan terus-menerus. Kesalahan yang ia terus perbaiki. Pada akhirnya ia bersetia dengan prinsipnya, untuk terus adil sejak dalam pikirannya. Ia setia untuk terus membela para pribumi. Bahkan selepas diasingkan, ia tetap menolak untuk berkompromi dengan pemerintah kolonial.

Itulah tiga pelajaran yang dapat dipetik dari Minke-nya Pram. Memang Minke ini adalah sosok yang hebat, tetapi ia terus belajar dari kesalahan-kesalahannya untuk menjadi sosok yang agung. Pelajaran-pelajaran itulah yang harus dipetik oleh generasi sekarang.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

LG
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini