Viktor Frankl dan Kebutuhan Manusia akan Makna Hidup

Viktor Frankl dan Kebutuhan Manusia akan Makna Hidup
info gambar utama

Manusia berbeda dengan hewan atau makhluk lainnya. Jika hewan hidup untuk makan, kawin, punya anak dan akhirnya mati, semua itu tidak menjadi masalah pada mereka. Fase ini juga terjadi pada manusia. Secara biologis manusia menjalani fase itu pula.

Akan tetapi, apakah manusia sekadar menjalani fase hidup saja dan sudah tidak punya masalah? Apakah ada manusia yang hidup hanya untuk makan dan kawin saja? Di balik makan dan kawinnya itu, manusia memiliki semesta yang melatarbelakangi makan makanan apa, makan dengan cara apa, atau kawin dengan maksud apa.

Dengan kata lain, apa yang ada dibalik pengalaman makan dan kawin itu adalah hal yang melatarbelakangi mengapa manusia hidup dan menjalani fase hidupnya itu. Apa yang mendorong ia menjalani fase itu adalah disebut sebagai makna,

Makna adalah fitur unik yang dimiliki manusia. Makna muncul sebab manusia dapat berpikir. Dengan makna, manusia memiliki alasan untuk menjalani hidupnya sehari-hari, termasuk dalam melakukan berbagai kegiatan dan memilih apa yang akan dilakukannya.

Lantas, bagaimana jika manusia hidup tanpa makna? Tentu manusia tidak dapat hidup tanpanya. Viktor Frankl, seorang psikiater, menceritakan betapa pentingnya makna hidup dalam pengalamannya menjadi seorang tahanan kamp konsentrasi Nazi Jerman ketika Perang Dunia II.

Baca juga: Makna Multikulturalisme dari Makanan Tradisional Pecel

Kisah Frankl di Kamp Konsentrasi

Frankl adalah seorang Yahudi yang lahir di Austria. Selayaknya semua Yahudi yang tinggal di wilayah yang dikuasai Nazi Jerman, ia menjadi orang nomor satu yang ingin dimusnahkan Nazi dalam peristiwa Holocaust. Walaupun begitu, sebenarnya Frankl sudah mendapatkan paspor dan visa ke negara lain. Namun di saat-saat terakhir, ia membatalkan keberangkatannya karena ia tidak ingin meninggalkan orang tuanya.

Singkat cerita, Frankl tertangkap dan masuk beberapa kamp konsentrasi, salah satunya Auswitcz yang terkenal mematikan itu. Di situ Frankl mengalami malnutrisi dan menjalani kerja paksa yang tidak mudah. Sehari-hari ia melihat kematian dan itu menjadi sesuatu yang biasa.

Sebagai seorang psikiater, Frankl mengamati kondisi teman-temannya di tempat yang seakan-akan tidak ada harapan lagi untuk hidup. Ia mengamati, bahwa mereka yang tidak memiliki lagi makna untuk hidup cenderung sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Sementara itu, mereka yang dapat memaknai penderitaannya itu cenderung dapat tetap hidup.

Karenanya, adalah hal aneh, ketika dalam situasi apapun semua tindakan dihalalkan demi bertahan hidup dan harapan akan esok hari sudah tiada, masih ada segelintir orang yang memegang teguh moralitas.

Misalnya, Frankl melihat ada tahanan yang masih percaya pada Tuhan atau rela berkorban menyisakan jatah makanannya yang sedikit untuk mereka yang sekarat. Frankl pun juga mengalaminya, ia merasa istrinya ada di sampingnya ketika sedang melakukan kerja paksa.

Di situ, ia merasa istrinya lah yang menguatkan dirinya, sekalipun sang istri ditahan di komplek kamp yang berbeda. Setelah perjuangan panjang menunggu pembebasan, Frankl selamat dari tragedi kelam itu.

Baca juga: Ongkek, Sesaji Masyarakat Tengger yang Penuh Makna dan Tak Bisa Sembarangan Dibuat

Memperkenalkan Logoterapi

Pengalaman Frankl inilah yang menjadi dasar teorinya tentang dorongan hidup dan makna pada manusia. Ia menuliskannya di dalam buku best seller internasional berjudul Man’s Search for Meaning yang terbit pada tahun 1946. Di dalam buku, psikiater terkenal itu menekankan berkali-kali tentang pentingnya memiliki makna hidup untuk menciptakan kondisi mental yang sehat.

Manusia yang kehilangan makna dan tidak memiliki tujuan hidup akan mengalami depresi dan keputuasaan dalam hidup. Oleh karena itu, Frankl menawarkan metode terapi yang ia sebut sebagai logoterapi. Dengan logoterapi, seorang terapis mencoba menuntun kembali pasien menemukan kembali makna hidupnya.

Menuntun di sini bukan seperti seorang motivator yang cenderung mendorong orang memiliki makna seperti yang ia inginkan dengan kemampuan retoris yang ia miliki. Sebagai penuntun, seorang terapis hanya sebatas membimbing pasiennya menemukan kembali makna hidupnya.

Oleh karena itu, penting sekali untuk Kawan menemukan makna hidupnya! Hanya dengan makna, seseorang dapat menjalani kehidupannya dan punya tujuan hidup. Jika Kawan sedang mengalami kondisi yang sulit, jangan sungkan pula menghubungi bantuan profesional, ya!

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

LG
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini