Mengenal Budaya Tuturan pada Suku Jawa

Mengenal Budaya Tuturan pada Suku Jawa
info gambar utama

Suku menjadi salah satu bagian dari keanekaragaman yang ada di Indonesia. Tercatat ada 1.340 suku bangsa di tanah air, Jawa adalah populasi yang mendominasi. Setiap suku identik dengan berbagai macam adat dan kebudayaan yang khas. Begitu pula dengan suku Jawa yang terkenal dengan aturan kesopanan, tata krama, dan kelembutannya. Hal ini juga menjadi ciri khas yang paling menonjol di antara suku-suku lain.

Namun, bukan berarti suku lain tidak memiliki sopan-santun. Hanya saja, memang sudah menjadi tuntutan dari generasi terdahulu bahwa masyarakat suku Jawa harus menetapkan standar paling tinggi terhadap nilai-nilai kesopanan, atau dalam bahasa Jawa disebut unggah-ungguh. Terlebih pada orang tua. Contohnya, berjalan membungkuk saat melewati mereka dan mencium tangannya saat berkunjung atau tidak sengaja bertemu.

Oleh karena itu, suku Jawa memiliki ketentuan berbeda yang mengatur setiap generasi untuk menghormati yang lebih tua. Aturan ini dikenal dengan istilah "tuturan".

Baca juga: Keramatnya Watu Bobot Jepara, Penyeimbang Tanah Jawa Pemberian Para Dewata

Di negara Barat, dalam keseharian masyarakatnya bebas menggunakan panggilan apa saja. Tidak ada sapaan khusus meski pada orang yang lebih tua. Berbeda dengan Indonesia yang memang memiliki aturan tersebut. Itu sebabnya, masyarakat di sini sudah tidak asing lagi dengan sapaan yang membatasi antara usia kaum muda dengan yang lebih tua. Seperti panggilan "kakak" untuk perempuan atau laki-laki yang usianya lebih dari Kawan GNFI. Atau "om" dan "tante" untuk orang yang usianya sama dengan orang tua.

Nah, tuturan sendiri kurang lebih juga memuat aturan dalam menentukan sapaan yang ditujukan kepada anggota keluarga atau saudara. Perbedaannya, secara umum orang yang lebih tua dilihat dari segi usia, sedangkan pada tuturan Jawa diukur berdasarkan garis silsilah orang tua.

Agar lebih memudahkan Kawan GNFI memahami tuturan dalam suku Jawa, begini contohnya:

Aturan untuk kita dalam memanggil sepupu dilihat dari orang tua siapa yang lebih tua. Jika orang tua berstatus sebagai anak pertama, maka seluruh sepupu harus memanggil Kawan GNFI dengan sebutan "kakak".

Sebaliknya, jika orang tua merupakan anak terakhir, maka tidak akan ada yang memanggil Kawan GNFI sebagai "kakak" melainkan "adik", karena mengikuti garis keturunan orang tua, Kawan GNFI ikut bertstatus sebagai yang paling kecil.

Tuturan lebih luas dari pada itu. Tidak hanya berputar pada hubungan antar sepupu saja, melainkan seluruh generasi. Pada suku Jawa sendiri terdapat 18 keturunan yang disebut "trah". Dengan demikian, "kunci" dari tatanan tuturan mengikuti dari trah pertama.

Baca juga: Orang Jawa Dilarang Gelar Hajatan di Bulan Suro, Apa Alasannya?

Bagi keluarga yang masih taat mengikuti budaya tuturan ini, pasti memahami bagaimana riweuh-nya jika sudah berkumpul dengan keluarga besar. Karena Kawan GNFI bisa menjumpai balita yang dipanggil "kakak" oleh saudara yang menyandang usia dewasa. Bahkan ada juga seseorang yang berusia dua puluhan, tapi dipanggil dengan sebutan "kakek" atau "nenek".

Lain dari pada itu, perlu diketahui bahwa tuturan bukan sekadar sapaan, melainkan juga mengatur seseorang dalam memperlakukan yang lebih tua.

Misalnya begini, meski kakak sepupu Kawan GNFI berusia lebih muda, wajib hukumnya untuk tetap memperlakukan dia layaknya orang tua yang harus dihormati. Namun, bukan berarti dia dibebaskan untuk bersikap semena-mena. Pada intinya kedua pihak tetap harus saling menghormati.

Mungkin, masyarakat di luar suku Jawa akan memiliki banyak pertanyaan terkait tuturan. Namun, apapun sukunya dan bagaimanapun aturan yang terdapat di dalamnya, bukan tugas kita untuk mencari cela. Satu hal yang pasti, sebuah aturan ditetapkan untuk mencapai tujuan yang baik.

Sama halnya dengan tuturan, budaya ini dibentuk untuk menghormati yang lebih tua. Dengan adanya tuturan, garis silsilah akan lebih terjaga sehingga setiap generasi tidak keliru dalam mengenali saudara-saudaranya.

Tuturan diatur sebagai bentuk menjaga kesopanan terhadap yang tua. Jadi, orang yang paling tua beserta keturunannya akan tetap dianggap sebagai yang paling tua oleh generasi lain. Tuturan juga merupakan bentuk identitas tata krama pada masyarakat suku Jawa. Maka, jika orang tua mendapati anaknya yang tidak memanggil saudara sesuai dengan aturan tuturan, diyakini akan kualat.

Apakah Kawan GNFI berasal dari suku Jawa dan menerapkan tuturan di keluarga? Atau Kawan GNFI berasal dari suku lain namun mempunyai aturan yang kurang lebih sama? Ceritakan pendapat Kawan agar pengetahuan kita semua pada suku dan budaya semakin bertambah.

Sumber referensi:

https://indonesiabaik.id/infografis/sebaran-jumlah-suku-di-indonesia

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/09/22/nama-silsilah-keluarga-dalam-budaya-jawa-trah-keturunan

https://www.bps.go.id/news/2015/11/18/127/mengulik-data-suku-di-indonesia.html

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NS
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini