Kato Nan Ampek: Cara Bertutur Kata dalam Budaya Minangkabau

Kato Nan Ampek: Cara Bertutur Kata dalam Budaya Minangkabau
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbung untuk Melambung

Bahasa merupakan salah satu aspek penting dalam pembentukan budaya dari sekelompok manusia.

Dengan bahasa, manusia bisa saling berkomunikasi antara satu sama lain, sehingga bisa terjadi pertukaran ide maupun pikiran dari kedua individu tersebut.

Rina Devianti lewat artikelnya, "Bahasa Sebagai Cermin Kebudayaan" yang terbit dalam Jurnal Tarbiyah menuliskan setidaknya terdapat empat fungsi utama dari bahasa dalam sebuah kebudayaan.

Keempat fungsi tersebut di antaranya sebagai sarana pengembangan, sarana pembinaan, jalur pemeliharaan dan penerus, serta sarana inventarisasi dari sebuah kebudayaan yang ada.

Sama seperti kebudayaan, sebuah bahasa bisa terbentuk berkat kesepakatan bersama dari sebuah masyarakat.

Meskipun demikian, terkadang komunikasi antar satu manusia dengan yang lainnya bisa tidak berjalan lancar begitu saja.

Keberadaan dua individu dengan pola pikir yang berbeda bisa membuat sebuah perkataan antara satu sama lain tidak saling mengerti dan memahami maksud yang ingin disampaikan.

Oleh sebab itu, setiap orang mesti memahami bagaimana cara berkomunikasi dan bertutur kata secara baik dan benar, agar maksud yang ingin disampaikan bisa diutarakan dengan sempurna.

Baca juga: Kesaktian Tradisi Ruwatan untuk Tangkal Bahaya dari Batara Kala

Dalam kebudayaan Minangkabau, cara bertutur kata antar sesama ini dikenal dengan kato nan ampek.

Kato nan ampek ini mengatur setiap orang Minangkabau agar bisa memposisikan diri sesuai dengan lawan bicaranya ketika berkomunikasi.

Bahkan, Edial Yuspita dalam artikelnya, "Kato Nan Ampek: A Professional Counseling Communication Model Based on Minangkabau Cultural Values" yang terbit di Indonesian Journal of Creative Counseling menyebutkan bahwa kato nan ampek merupakan model komunikasi yang mengedepankan etika dan estetika.

Lantas, bagaimana cara bertutur kata dalam budaya Minangkabau seperti yang diatur dalam kato nan ampek?

Cara bertutur kata dalam sebuah komunikasi
info gambar

1. Kato Mandaki

Cara bertutur kata pertama yang diatur dalam kato nan ampek adalah kato mandaki.

Secara harfiah, kato mandaki bisa diterjemahkan sebagai kata mendaki.

Artinya, cara ini digunakan untuk bertutur kata kepada orang yang lebih tua atau dituakan, seperti orang tua, kakek dan nenek, hingga guru.

Hal yang digaris bawahi dalam penerapan kato mandaki adalah penggunaan tutur kata yang penuh dengan etika kesopanan, serta menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua.

2. Kato Manurun

Kato manurun (kata menurun) merupakan kebalikan dari penerapan kato mandaki.

Cara bertutur kata yang satu ini biasanya digunakan ketika berbicara kepada orang yang lebih muda, seperti orang tua ke anak, guru ke murid, atau kakak kepada adiknya.

Kato manurun biasanya diterapkan dengan menggunakan tutur kata yang penuh kelembutan dan kasih sayang, agar lawan bicara yang lebih muda bisa nyaman ketika berkomunikasi dengan kita.

Baca juga: Tradisi Molabot Tumpe, Cermin Persaudaraan dari Panen Burung Maleo di Banggai

3. Kato Mandata

Kato mandata (kata mendatar) merupakan cara bertutur kata terhadap teman sebaya yang berusia sama atau sepantaran.

Bisa dibilang, kato mandata merupakan bahasa sehari-hari yang bisa ditemui ketika kita sedang berkumpul bersama teman-teman lainnya.

Penerapan kato mandata ketika bertutur kata biasanya memunculkan komunikasi yang penuh rasa persahabatan, saling mendukung, kegembiraan, dan fleksibel tergantung situasi antar sesama.

Penggunaan kato mandata ini diharapkan bisa semakin merekatkan hubungan antara seseorang dengan teman-teman terdekatnya, tanpa perlu melukai perasaan satu sama lain.

4. Kato Malereang

Cara bertutur kata terakhir yang diatur dalam kato nan ampek adalah kato malereang (kata melereng).

Kato malereang adalah cara berkomunikasi khusus yang digunakan seseorang ketika berbicara kepada sosok yang cukup dihormati, seperti tokoh agama, tokoh adat, dan sejenisnya.

Selain itu, kato malereang biasanya juga digunakan ketika berbicara kepada keluarga yang tidak memiliki hubungan darah secara langsung, seperti mertua, menantu, dan ipar.

Penyampaian komunikasi dalam kato malereang biasanya tidak disampaikan secara langsung begitu saja, tetapi diutarakan dengan menggunakan petatah petitih, seperti kata perumpamaan, kiasan, maupun sindiran.

Hal ini bertujuan agar lawan bicara tidak tersinggung dengan perkataan yang disampaikan ketika berkomunikasi dengan dirinya.

Baca juga: Tapak Masyarakat Rampasasa, Benarkah Keturunan Hobbit dari Flores?

Itulah empat cara bertutur kata dalam budaya Minangkabau yang diatur lewat penggunaan kato nan ampek.

Semoga penerapan kato nan ampek ini bisa terus terjaga di tengah masyarakat, agar komunikasi antar setiap individu bisa terus terjaga dan tidak menimbulkan perselisihan antar sesama.


Referensi:
- Rina Devianti, "Bahasa sebagai Cermin Kebudayaan" dalam Jurnal Tarbiyah, vol.24, no. 2, 2017, hal. 226-245.
- Edial Yuspita, "Kato Nan Ampek: A Professional Counseling Communication Model Based on Minangkabau Cultural Values" dalam Indonesian Journal of Creative Counseling, vol. 1, no. 1, 2021, hal. 8-14.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

IA
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini