Tradisi Tortor dan Kultur Orang Batak dalam Melestarikan Lingkungan

Tradisi Tortor dan Kultur Orang Batak dalam Melestarikan Lingkungan
info gambar utama

#LombaArtikelPKN2023 #PekanKebudayaanNasional2023 #IndonesiaMelumbunguntukMelambung

Kawan GNFI, efek Global Warming yang melanda dunia tidak terkecuali Indonesia tentu mengakibatkan sejumlah implikasi. Seperti naiknya temperatur di lingkungan kerja dan tempat tinggal kita masing-masing. Seperti dilansir Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (bmkg.go.id) suhu luar ruangan yang dahulu normalnya kita rasakan antara 26 hingga 33 derajat celcius, sekarang di Bulan Oktober 2023 beberapa daerah sudah ada yang menyentuh 40 derajat celcius. Luar biasa panas bukan?

Tidak cukup sampai disitu, ada pergeseran periode musim. Dahulu, lazimnya kita sama-sama merasakan jika musim kemarau di negara kita yang beriklim tropis terjadi antara Bulan April hingga September. Sementara musim penghujan berlangsung mulai Bulan Oktober hingga Bulan Maret setiap tahunnya di bumi nusantara. Namun karena dampak El Nino, kekeringan melanda sejumlah wilayah nusantara. Debit air menipis sehingga banyak daerah di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi serta daerah lain terjadi kekeringan. Dan hujan pun belum kunjung tiba di pertengahan Bulan Oktober ini.

Nah, di tengah-tengah fenomena pemanasan global yang kian marak dewasa ini, bolehlah kita sedikit selayang pandang pada konsepsi dan tradisi suku Batak di Sumatera Utara dalam mengelola serta memelihara lingkungan hidup.

Dukung Sustainable Education, Stanford University Berencana Investasi di IKN Nusantara!

Tari Tortor Batak

Dalam kehidupan yang semakin kompleks dewasa ini dimanapun kita tinggal, kita sadar bahwa peran lingkungan dan air adalah penting bagi kita. Tidak terkecuali pada masyarakat suku Batak di Sumatera Utara. Di masyarakat batak, sejak zaman leluhur sudah ditanamkan tradisi dan nilai agar kita bisa hidup harmonis tidak hanya dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam dan lingkungan.

Tradisi ini salah satunya adalah tari Tortor. Yaitu Tarian khas masyarakat Batak yang dibawakan pada saat acara dan momentum tertentu, lazimnya diiringi alunan gondang (alat musik gendang) khas Batak. Tari Tortor biasa dilangsungkan saat momen dan pesta besar seperti pesta pernikahan, pesta ulang tahun kelahiran, pesta ucapan syukur atas panen maupun Tari Tortor yang dibawakan untuk terhindar dari bencana dan untuk melestarikan alam dan lingkungan. Nah kawan GNFI, Tari Tortor yang dibawakan sejumlah pemuda-pemudi Batak dengan menggunakan atribut selendang ulos, tudung kain khas Batak yang dikenakan di kepala serta ornamen khas batak dengan tujuan supaya dijauhkan dari bencana alam disebut Tari Tortor Pangurason.

Tortor Pangurason dibawakan untuk menghormati leluhur dengan maksud menguras atau mengeluarkan sejumlah hal negatif dan buruk pada suatu keadaan serta kondisi. Misal agar suatu desa terhindar dari bencana alam, terhindar dari malapetaka, kekeringan dan lain sebagainya. Diyakini pula, jika tradisi tarian Tortor Pangurason ini bisa memperlancar dan meningkatkan produksi panen pada sawah ladang maupun di lahan peternakan mereka.

Terutama di zaman sekarang dimana bangsa kita memasuki musim kemarau panjang. Kekeringan melanda, dan hujan belum kunjung tiba. Masyarakat Batak di pelbagai desa di Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Asahan maupun di Kabupaten Simalungun biasa melangsungkan ritual tari Tortor Pangurason ini. Meskipun secara jumlah frekuensinya sudah agak berkurang mungkin akibat kemajuan dan perkembangan modernisasi zaman.

Namun menurut hemat penulis, Tari Tortor Pangurason seyogianya harus tetap digalakkan sebagai sebuah kearifan lokal yang patut dan wajib dilestarikan di zaman modern. Selain sebagai wujud kearifan lokal, tari Tortor Pangurason juga bisa dilihat sebagai sebuah pesona pariwisata yang bisa menarik minat wisatawan domestik maupun mancanegara.

Deretan Fakta Virus Nipah yang Penting untuk Diketahui: Waspada tapi Jangan Parno!

Bondar, irigasi air penyedia manfaat bagi orang banyak

Sejak zaman nenek moyang orang Batak dahulu, kita ditanamkan suatu nilai yang mengatur hubungan kita dengan Tuhan, sesama dan alam. Keteraturan hidup akan membawa kemakmuran kepada manusia yang ditentukan oleh keharmonisan Makrokosmos dengan Mikrokosmos, yaitu hubungan alam dengan manusia. Keteraturan hubungan dengan alam disini salah satunya adalah menjaga harmoni dengan kelestarian air pada lingkungan.

Nah kawan, saluran irigasi sumber air warga bagi orang banyak khususnya di wilayah desa biasa disebut Bondar (baca Boddar) oleh masyarakat Batak.

Generasi ompung (kakek nenek) kita sejak dahulu sudah menanamkan nilai agar kita sebagai generus penerus wajib hukumnya untuk memelihara dan melestarikan Bondar ini. Tidaklah heran, karena Bondar inilah penyedia air bagi masyarakat di lingkungan untuk mandi, mencuci, memasak maupun untuk mengairi tanaman dan sebagai air minum hewan ternak. Lantas bagaimana cara kita memelihara Bondar? Minimal bagi kita generasi muda batak ya cukup mudah ya kawan, yaitu dengan tidak membuang sampah sembarangan ke dalam Bondar.

Picture of village irigation @freepik.com
info gambar

Selain itu biasanya ada warga atau pegiat desa setempat yang ditugaskan sebagai Mantari Bondar. Lantas apa pula itu Mantari Bondar?

Mantari Bondar artinya adalah "Menteri" atau pejabat setempat yang dipercayakan warga untuk menjaga dan melestarikan saluran irigasi air. Seperti menjaga aliran air pada Bondar dari kerusakan, aliran air agar lancar dan jangan sampai tersumbat. Semua demi kemaslahatan dan kebermanfaatan bagi publik.

Bahkan biasa kita temui juga masyarakat lintas pedesaan seperti di Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Asahan, Kabupaten Simalungun maupun di Kabupaten Tapanuli Utara (Taput) menjalin perjanjian atau kesepakatan dalam memelihara suatu Bondar Aek Halian (Saluran Irigasi Air) yang melintasi beberapa desa sekaligus.

Hukum tradisional memang bukanlah hukum formal selevel Undang-Undang, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan lain sebagainya. Namun, produk hukum tradisional lahir secara historis sebagai sebuah kearifan lokal nenek moyang yang patut kita lestarikan.

Sehat untuk Semua: Masyarakat Badui Kini Bisa Berobat Tanpa Pusing soal Biaya

Untuk menjadi bangsa yang unggul khususnya menyongsong Indonesia Emas pada Tahun 2045, zaman memang semakin menantang dan kompetitif, namun perkembangan zaman jangan menggerus budaya dan nilai-nilai kearifan lokal khususnya dalam pelestarian lingkungan hidup kita. Komitmen, integritas dan profesionalitas harus dikedepankan untuk menjaga alam tanpa harus meniadakan nilai luhur para leluhur.

Senada dengan salah satu konsep dan filosofi arsitektural organik modern dunia barat yang berbunyi "When Luxury Meet Greenery". Artinya bahwa Proses Pembangunan dan Modernisasi tidak selamanya harus membabat hutan dan lahan serta mengorbankan alam yang hijau. Jika kita mempunyai komitmen dan integritas kuat pada nilai kearifan lokal, maka pembangunan tidak harus mengorbankan alam dan lingkungan yang wajib kita jaga. Ayo! kita mulai langkah dari sekarang, demi alam lestari berkelanjutan yang kelak akan dinikmati anak cucu kita.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI, dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DT
KO
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini